Oleh : KH Abdullah Gymnastiar Seseorang suatu ketika mengeluh ‘Saya sudah sering sekali mendengarkan ceramah, menyimak mubaligh yang menyampaikan kebenaran, dan mengkaji sendiri buku-buku tentang ajaran Islam. Akan tetapi, mengapa ketika saya menyampaikanya kepada orang lain, rasa-rasanya kata-kata ini selalu saja tidak cocok dengan yang ada di dalam kalbu? Dan yang Iebih menyedihkan lagi, mengapa kata-kata yang keluar dari lisan ini tampaknya seperti masuk ke telinga kanan keluar lagi dari telinga kiri? Sama sekali tidak menimbulkan kesan dan tidak pula berbekas di dalam pikiran maupun hati orang yang mendengarkannya.” Seandainya saja keluhan tersebut adalah yang juga kita pertanyakan selama ini, maka bisa jadi kata-kata berhikmah dari lman !bnu Atho’illah berikut ini sebagai jawabannya. “Cahaya (nuur) para ahli hikmah (ahli ma’rifat) itu,” tulisnya dalam kitab Al-Hikam, “selalu mendahului perkataan mereka. Karenanya, manakala telah mendapat penerangan dari cahaya tersebut maka sampailah kalimat yang mereka ucapkan itu.” Kalimat Ibnu Atho’illah di atas kurang lebih dapat diartikan, bahwa orang-orang yang telah mengenal Allah dengan baik selalu sadar bahwa kebenaran itu milik Allah. Akibatnya, kalau mau mengucapkan sesuatu, selalu hatinya terlebih dahulu berlindung kepada. Allah dari tipu daya syetan dan memohon kepada-Nya agar lidahnya dapat menjadi jalan kebenaran. Hal seperti inilah yang mungkin jarang dilakukan oleh kebanyakan orang. Biasanya kalau kita ingin menyampaikan sesuatu kepada orang orang lain, kita akan sangat sibuk merekayasa kata-kata yang akan diucapkan. Jarang kita lakukan ketika ingin berbicara, sibuk meminta pertolongan kepada Allah Azza wa JaIla. Padahal, yang mengetahui kebenaran hanyalah Allah. Benar menurut kita belum tentu benar menurut Allah. Oleh karena itu, ketika kita menghadapi persoalan seperti disebutkan di atas, maka ada beberapa hal yang mesti kita pertanyakan kepada diri sendiri. Pertama, ketika kita akan menyampaikan suatu kebenaran, pernahkah kita memohon pertolongan kepada Allah agar lisan ini dituntun dan dilindungi, sehingga mengandung hikmah? Kalau belum, maka mungkin inilah penyebab mengapa kata-kata yang kita ucapkan, kendati tak lepas dari dalil Al-Ouran dan Hadits, tetapi tidak pernah mengena dan menyentuh kalbu yang mendengarkannya. Kedua, sebagaimana kata Ibnu Atho’illah sendiri, ‘Tiap-tiap kalimat yang keluar pasti membawa corak bentuk hati (dari orang) yang mengeluarkannya.” Teko hanya mengeluarkan isinya. Bila di dalamnya berisi air kopi, maka yang dikeluarkannya past air kopi. Sebaliknya, bila teko tersebut berisi air bening dan jernih, maka pastilah yang dikeluarkannya pun air yang bening dan jernih pula. Mengapa kata-kata yang kita ucapkan kadang-kadang kurang meresap? Mungkin pertanyaan yang harus segera kita ajukan terhadap hati kita sendiri adalah: ikhlaskah kita menyampaikannya? Kalau hati ini sudah kurang keikhlasannya yang mendengarkan ikhlas, tetapi yang berbicara kurang ikhlas, maka hampir dapat dipastikan kata-kata kita tidak akan memiliki bobot. Di antara faktor penyebab mengapa kafa-kata kita kurang bisa menyentuh kalbu adalah karena kata-kata yang menyentuh kalbu itu bukanlah hasil rekayasa pikiran dan bukan pula buah rekaan lisan, melainkan wujud dari penataan dan kejernihan hati. Semakin hati kita terus menerus diusahakan ikhlas, tulus, dan penuh kasih sayang, maka kata-kata pun niscaya akan semakin memilki kekuatan menembus hati orang yang mendengarkannya. Sibuknya kita mengatur kata-kata, peribahasa, ataupun ungkapan-ungkapan yang indah-indah, tetapi kalau tidak bersumber dari hati yang jernih dan bening, maka hanya manis didengar telinga, namun sekali-kali tidak akan pernah menyetuh kalbu. Jadi, mengapa kata-kata yang keluar dari mulut ini sudah begitu luber dan tumpah ruah berbusa-busa, tetapi orang toh belum bergeming juga? Jawabnya, mungkin karena kita terlalu sibuk mengatur pikiran dan lisan, tetapi tidak sibuk mengatur hati. Padahal, Rasulullah SAW pernah bersabda, “Belum dinamakan lurus keimanan seseorang itu, sehingga lurus pula hatinya dan belum juga dinamakan lurus hatinya itu, sehingga luruslah lisannya …” (H.R. Ibnu Abiddunya dan Kharaiti) Oleh sebab itu, tidak usah heran orang orang yang bijak bestari dan mulia kalau berbicara, kata-katanya sedikit namun mempunyai kekuatan yang besar. Kunci kekuatan kata-kata mereka tiada lain adalah hati yang ikhlas. Karena, bila yang berbicara ikhlas dan yang mendengarkannya pun ikhlas, maka tak ubahnya laksana gelombang radio FM, suaranya akan lezat terasa di telinga dan lezat pula terasa di hati. Syeikh Ahmad Yasin adalah seorang ulama kharismatik dan mujahid besar yang sangat berpengaruh di kalangan kaum Muslimin dan pejuang Palestina. Siapakah Ahmad Yasin? Ternyata beliau secara syariat hanyalah seorang tua yang sekujur tubuhnya lumpuh, kecuali bagian kepala, akibat sebuah kecelakaan yang dialaminya dalam sebuah latihan perkemahan ketika akfif dalam organisasi Ikhwanul Muslimin, yang didirikan oleh Imam Hasan Al-Banna di Mesir. Akan tetapi, siapa pun akan merasa amat tajub dan terkagum-kagum bila mendengar bahwa beliau ternyata adalah tokoh penggerak lntifadah, sebuah gerakan perjuangan jihad melawan tentara Yahudi Israel. Tak hanya para orang tua, tetapi juga para remaja dan anak-anak turun ke jalan-jalan dengan senjata apa saja yang ada di tangan: ketapel, batu-batuan, ban bekas yang dibakar, dan lain sebagainya. Tanpa rasa takut dan bahkan dengan teriakan teriakan “Allaahu Akbar” mereka maju dan berlarian menyerang tentara, Yahudi yang notabene bersenjata lengkap. Syeikh Ahmad Yasin juga adalah ulama pendiri Hamas (Harakah al Muqawanah a- Islamiyah, Gerakan Perlawanan Islam) yang beranggotakan para mujahidin militan Palestina. Gerakan ini merupakan kekuatan utama dan kelompok mujahid paling berpengaruh serta mengakar di daerah Teo Barat dan Jalur Gaza, yang merupakan wilayah pendudukan Israel. Masya Allah! Secara syariat apalah artinya seorang Ahmad Yasin yang tubuhnya lumpuh total. Akan tetapi, kecerdasan otaknya, kekuatan imannya, ketajaman lisannya, dan yang terutama sekali keikhIasan hatinya demi menegakkan daulah Isiamiyah di bumi Palestina, telah mampu menggerakkan dan mengobarkan semangat dan kesadaran berpuluh ribu warga Muslim Palestina untuk berjihad di jalan Allah melawan kaum kuffar Yahudi. Kuncinva, sekali lagi, ternyata hati yang ikhlas, sehingga lisan ini menjadi sangat bermutu dan mempunyai bobot yang amat mengesankan. Karenanya, ketika seseorang datang kepada ulama ahli hikmah bernama Muhammad bin Wasi, lalu berkeluh kesah, “Mengapa hati orang-orang sekarang sepertinya tidak lagi mampu khusyuk dan air mata pun tak lagi bisa bercucuran manakala sedang berdoa, menyimak taushiyah, ataupun mendengarkan ayat-ayat AI-Quran dibacakan?”, Muhammad bin Wasi tanpa ragu menjawab, “Kemungkinan yang dernikian itu bermula dari engkau sendiri sebab bila nasihatmu keluar dari hati yang ikhlas, niscaya akan masuk ke dalam hati orang yang mendengarkannya. Sebalikinya, nasihati yang hanya berupa gubahan lidah dan buah rekaan pikiran belaka, maka ia akan masuk dari telinga kanan dan keluar dari telinga kiri.” Walhasil, siapa pun yang sangat merindukan dapat tersampaikannya kebenaran dari Allah dan dapat tersemainya nilai-nilai luhur ajaran Islam di daria setiap manusia, sehingga Islam benar-benar dapat dirasakan sebagai rahmatan lil ‘alamin, maka tidak bisa tidak harus selalu merenungkan setiap kata-kata nasihati yang pernah atau akan terlontar dari lisannya, dengan satu pertanyaan saja, “Apakah hati saya sudah ikhlas menyampaikannya?” Karena, “Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata-kata yang baik atau diam!” (H.R. Bukhafi-Muslim).”
Rabu, 21 Agustus 2013
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 comments:
Posting Komentar