Selasa, 17 September 2013

Karakteristik Rumah Tangga Islami

akad-nikah-erva-kurniawan-titik-rahayuningsih (1) Untuk menegakkan bangunan masyarakat Islami, penyangga utamanya adalah rumah tangga Islami. Apa sesungguhnya yang dimaksud dengan rumah tangga Islami? Apakah dengan semua anggota keluarganya beragama Islam lantas sudah disebut rumah tangga Islami? Kenyataannya, betapa banyak keluarga muslim yang tidak menampakkan kehidupan yang Islami. Rumah tangga Islami adalah sebuah rumah tangga yang didirikan di atas landasan ibadah yang di dalamnya ditegakkan adab-adab Islam, baik menyangkut individu maupun keseluruhan anggota rumah tangga. Mereka bertemu dan berkumpul karena Allah, saling menasehati dalam kebenaran dan kesabaran, serta saling menyuruh kepada yang makruf dan mencegah yang mungkar, karena kecintaan mereka kepada Allah. Mereka betah tinggal di dalamnya karena kesejukan iman dan kekayaan ruhani. Mereka berkhidmat kepada Allah swt dalam suka maupun duka, dalam keadaan senggang maupun sempit. Rumah tangga Islami adalah rumah yang di dalamnya terdapat iklim yang sakinah (tenang), mawadah (penuh cinta), dan rahmah (sarat kasih sayang). Perasaan itu senantiasa melingkupi suasana rumah setiap harinya. Seluruh anggota keluarga merasakan suasana “surga” di dalamnya. Baiti jannati, demikian slogan mereka sebagaimana yang diajarkan oleh Rasulullah saw. Subhanallah! “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (QS Ar-Ruum 30:21) Prinsip-prinsip dasar rumah tangga bisa disebut Islami dapat dijelaskan secara singkat sebagai berikut. Pertama, Tegak di Atas Landasan Ibadah Rumah tangga Islami harus didirikan dalam rangka beribadah kepada Allah semata. Artinya, sejak proses memilih jodoh, landasannya haruslah benar. Memilih pasangan hidup haruslah karena kebaikan agamanya, bukan sekedar karena kecantikan atau ketampanan wajah, kekayaan, maupun atribut-atribut fisikal lainnya. Proses bertemu dan menjalin hubungan hingga kesepakatan mau melangsungkan pernikahan harus tidak lepas dari prinsip ibadah. Prosesi pernikahannya pun, sejak akad nikah hingga walimah, tetap dalam rangka ibadah, dan jauh dari kemaksiatan. Sampai akhirnya, mereka menempuh bahtera kehidupan dalam suasana ta’abudiyah (peribadahan) yang jauh dari dominasi hawa nafsu. Kedua, Nilai-Nilai Islam dapat Terinternalisasi Secara Kaffah Internalisasi nilai-nilai Islam secara kaffah (menyeluruh) harus terjadi dalam diri setiap anggota keluarga, sehingga mereka senantiasa komit terhadap adab-adab Islami. Untuk itu, rumah tangga Islami dituntut untuk menyediakan sarana-sarana tarbiyah yang memadai, agar proses belajar, mencerap nilai dan ilmu, sampai akhirnya aplikasi dalam kehidupan sehari-hari bisa diwujudkan. Ketiga, Hadirnya Qudwah yang nyata Diperlukan qudwah (keteladanan) yang nyata dari sekumpulan adab Islam yang hendak diterapkan. Orang tua memiliki posisi dan peran yang sangat penting dalam hal ini. Sebelum memerintahkan kebaikan atau melarang kemungkaran kepada anggota keluarga yang lain, pertama kali orang tua harus memberikan keteladanan. Keempat, Masing-Masing Anggota Keluarga Diposisikan Sesuai Syariat Dalam rumah tangga Islami, masing-masing anggota keluarga telah mendapatkan hak dan kewajibannya secara tepat dan manusiawi. Suami adalah pemimpin umum yang bertanggung jawab terhadap kelangsungan hidup rumah tangga. Istri adalah pemimpin rumah tangga untuk tugas-tugas internal. Kelima, Terbiasakannya Ta’awun dalam Menegakkan Adab-Adab Islam Berkhidmat dalam kebaikan tidaklah mudah, amat banyak gangguan dan godaannya. Jika semua anggota keluarga telah bisa menempatkan diri secara tepat, maka ta’awun (tolong-menolong) dalam kebaikan ini akan lebih mungkin terjadi. Keenam, Rumah Terkondisikan bagi Terlaksananya Peraturan Islam Rumah tangga Islami adalah rumah yang secara fisik kondusif bagi terlaksananya peraturan Islam. Adab-adab Islam dalam kehidupan rumah tangga akan sulit diaplikasikan jika struktur bangunan rumah yang dimiliki tidak mendukung. Ketujuh, Tercukupinya Kebutuhan Materi secara Wajar Demi mewujudkan kebaikan dalam rumah tangga Islami itu, tak lepas dari faktor biaya. Memang materi bukanlah segala-galanya. Ia bukan pula merupakan tujuan dalam kehidupan rumah tangga tersebut. Akan tetapi, tanpa materi, banyak hal tak bisa didapatkan. Kedelapan, Rumah Tanggga Dihindarkan dari Hal-Hal yang Tidak Sesuai dengan Semangat Islam Menyingkirkan dan menjauhkan berbagai hal dalam rumahtangga yang tak sesuai dengan semangat keislaman harus dilakukan. Pada kasus-kasus tertentu yang dapat ditolerir, benda-bendam hiasan, dan peralatan harus dibuang atau dibatasi pemanfaatannya. Kesembilan, Anggota Keluarga Terlibat Aktif Dalam Pembinaan Masyarakat Rumah tangga Islami harus memberikan kontribusi yang cukup bagi kebaikan masyarakat sekitarnya, sebagai sebuah upaya pembinaan masyarakat (ishlah al-mujtama’) menuju pemahaman yang benar tentang nilai-nilai Islam yang shahih, untuk kemudian berusaha bersama-sama membina diri dan keluarga sesuai dengan arahan Islam. Betapa pun taatnya keluarga kita terhadap norma-norma Ilahiyah, apabila lingkungan sekitar tidak mendukung, pelarutan-pelarutan nilai akan mudah terjadi, lebih-lebih pada anak-anak. Kesepuluh, Rumah Tangga Dijaga dari Pengaruh Lingkungan yang Buruk Dalam kondisi keluarga islami yang tak mampu memberikan nilai kebaikan bagi masyarakat sekitar yang terlampau parah kerusakannya, maka harus dilakukan upaya-upaya serius untuk, paling tidak, membentengi anggota keluarga. Harus ada mekanisme penyelamatan internal, agar tak larut dan hanyut dalam suasana jahili masyarakat di sekitarnya. Pada suatu kasus yang sudah amat parah, keluarga muslim bahkan harus meninggalkan lokasi jahiliyah itu dan mencari tempat lain yang lebih baik. Hal ini dilakukan demi kebaikan mereka. Demikianlah beberapa karakter dasar sebuah rumah tangga yang Islami. Dengan adanya bangunan rumah tangga Islami, rumah tangga teladan yang menjadi panutan dan dambaan umat inilah, maka masyarakat Islami dapat diwujudkan. *** Maraji’: Keakhwatan, Cahyadi Takariawan pks-jaksel.or.id

Kesabaran Yang Terpuji

sabar (1) Kesabaran yang terpuji ada dua: Kesabaran untuk Allah (al-shabru li Allah) dan kesabaran dengan Allah (al-shabru bi Allah). Allah SWT berfirman: “Bersabarlah (hai Muhammad) dan tiadalah kesabaranmu itu melainkan dengan pertolongan Allah.” (QS. AN-Nahl: 127) Allah SWT berfirman: “Dan bersabarlah dalam menunggu ketetapan Tuhanmu, maka sesungguhnya kamu berada dalam penglihatan Kami,” (QS. at-Thur: 48) Dari dua jenis kesabaran diatas, para ulama berbeda pendapat tentang kesabaran mana yang lebih utama. Sebagian menyatakan bahwa kesabaran untuk Allah lebih utama. Karena segala sesuatu yang diperuntukkan bagi Allah itu lebih utama daripada dengan Allah. Ini adalah tujuan utama. Segala sesuatu yang dihubungkan “dengan Allah” itu merupakan perantara saja. Tujuan itu lebih utama daripada perantara. Karena itu kenapa diwajibkan memenuhi nadzar kalau memang nadzar itu untuk berbuat baik dan beribadah kepada Allah. Karena memang dia bernadzar untuk-Nya. Akan tetapi dia tidak wajib memenuhi nadzar itu kalau memang sudah keluar dari ruang lingkup sumpah, walaupun dia bersumpah dengan-Nya. Segala sesuatu yang diperuntukkan kepada Allah itu berkaitan erat dengan sifat uluhiyah-Nya. (Uluhiyah adalah pengakuan keesaan bahwa tidak ada tuhan selain Allah, penj). Sementara segala sesuatu yang disandarkan kepada Allah itu berhubungan dengan rububiyah-Nya (rububiyah adalah pengakuan bahwa Allah adalah Pencipta segala sesuatu, tetapi belum mesti pengakuan bahwa Dia adalah Tuhan yang Esa, penj). Apa saja yang berhubungan dengan uluhiyah-Nya lebih utama daripada dengan rububiyah-Nya. Karena ketauhidan uluhiyah itu menghalangi seseorang berlaku syirik, tetapi ini tidak berlaku dalam tauhid rububiyah. Karena para penyembah berhala sendiri mengakui bahwa pencipta segala sesuatu adalah Allah semata, hanya Allah yang punya kekuasaan. Akan tetapi mereka tidak mentauhidkan keuluhiyahan-Nya. Tanpa adanya penyembahan kepada Allah secara murni, maka tidak ada manfaatnya tauhid secara rububiyah. Sebagian ulama menyatakan: kesabaran dengan Allah itu lebih sempurna. Bahkan tidak mungkin ada kesabaran untuk-Nya kecuali dengan adanya kesabaran dengan-Nya. Sebagaimana Allah berfirman: “DAN BERSABARLAH”. Dia memerintyahkan untuk bersabar Perintah-Nya adalah berlaku sabar untuk-Nya Kemudian Allah berfirman lagi: “Dan tiadalah kesabaranmu itu melainkan dengan pertolongan Allah.” (Q. An-Nahl: 127). Ini adalah sebuah susunan kalimat informative (khabariyah), bukan susunan kalimat tuntutan. Dalam kalimat ini ada penjelasan bahwa tidak mungkin ada kesabaran kecuali dengan-Nya Ini mengandung dua hal: PERTAMA, permintaan tolong kepada Allah. KEDUA, pendampingan dari-Nya secara khusus yang ditunjukkan dengan adanya ba’ al-mushahabah. Ini sebagaimana ungkapan seseorang: “Denganku dia melihat, denganku dia mendengar, denganku dia memukul serta denganku dia berjalan”. Akan tetapi maksud utama dari ba’ ini bukanlah untuk permintaan tolong. Karena minta pertolongan adalah jenis perbuatan yang bisa dilakukan oleh pelaku maksiat ataupun orang taat. Segala sesuatu tanpa adanya campur tangan Allah tidak akan terjadi. Akan tetapi ba’ disini bermakna pendampingan dan kebersamaan (mushahabah dan ma’iyyah) yang kandungannya dapat diterangkan dalam firman Allah: ”Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (QS. Al-Baqarah: 153) Ini adalah kebersamaan yang dihasilkan oleh seorang hamba karena dia mendekatkan diri kepada Allah dengan mengerjakan amalan sunnah sehingga mendapatkan kasih sayang-Nya.. Dengan Dialah, hamba itu mendengar, dengan Dia pula hamba itu melihat, dan dengan Dialah sang hamba bisa bersabar. Dia tidak akan diam ataupun bergerak kecuali Allah pasti bersamanya. Siapa saja yang berada dalam kondisi seperti ini, niscaya kesabaran memungkinkan baginya. Dia bisa menahan segala beban dengan mudah. Ini sebagaimana termaktub dalam hadits qudsi berikut ini: “Tidak ada hamba-Ku yang bisa menahan beban karena-Ku.” Kemudian ada firman Allah: “Dan tiadalah kesabaranmu itu melainkan dengan pertolongan Allah.” (QS. AN-Nahl: 127) Artinya, tidak ada kesabaran kecuali bersama dengan Allah. Sehingga kesabaran itu mungkin baginya. Bagaimana mungkin seseorang bisa mengerjakan perintah Allah secara baik dan benar, bisa menghadapi segenap takdir-Nya, kalau Dia tidak bersamanya? Dia tidak akan bisa merengkuh derajat kesabaran yang akan berujung pada kebahagiaan. Siapa saja yang kesabarannya tidak dengan Allah, sebagaimana dia tidak tamak pada ibadah sunnah yang disukai Allah, maka semua pendengaran, penglihatan dan perjalananya tidak bersama dengan Allah. Inilah yang dimaksud dengan hadits qudsi berikut ini: “Akulah pendengaran orang itu, Akulah penglihatannya, Aku tangannya yang dijadikannya untuk memukul, dan Akulah kakinya yang dijadikannya untuk berjalan.” Makna pernyataan ini bukanlah bahwa sesungguhnya Allah menyatu dengan anggota tubuh dan kekuatan ini sebagaimana dikira oleh kalangan wujudiyah (panties). Anggapan bahwa dzat hamba bersatu dengan Dzat Allah merupakan pendapat kalangan Nashrani. Sungguh Allah Sangat Suci dari praduga tersebut. Kalau saja Allah seperti yang mereka kira itu, niscaya tidak ada bedanya antara Allah dengan hamba-Nya. Tidak ada bedanya antara ibadah kepada Allah yang nantinya akan mendapat pujian dengan maksiat yang nantinya akan mendapatkan murka. Bahkan dalam anggapan mereka, tidak ada yang didekati ataupun yang mendekati. Tidak ada yang disembah ataupun yang menyembah. Tidak ada yang mencintai ataupun dicintai. Hadits qudsi ini sebenarnya merupakan bantahan terhadap anggapan mereka yang salah. Kesalahan mereka meliputi sekitar tiga puluh aspek bila direnungkan secara mendalam. Para ulama menafsirkan hadits qudsi berikut: “Aku adalah pendengaran, penglihatan, tangan dan kakinya” dengan hadits qudsi lainnya: “Dengan- Ku dia mendengar, dengan-Ku dia melihat, dengan-Ku dia memukul, dan dengan-Ku dia berjalan.” Dengan kata lain, ini merupakan ungkapan tentang dekatnya seorang hamba dengan Allah karena adanya kecintaan yang mendalam. Ini adalah sebuah ungkapan yang sangat lembut dan indah yang menunjukkan eratnya kebersamaan. Sehingga seakan terdapat penyewaan dalam hal pendengaran, penglihatan, tangan dan kaki. Ini serupa dengan hadits qudsi: “Hajar Aswad adalah tangan kanan Allah di bumi ini. Siapa yang menjabat dan menciumnya, maka dia laksana menjabat tangan dan mencium Allah.” Kata-kata seperti ini berlaku sangat umum dalam penggunaan bahasa, dimana adanya kedekatan itu biasanya meniscayakan penyatuan. Bisa kita lihat dalam contoh sang pencipta dengan yang dicintai yang mengatakan bahwa: “Engkau adalah ruhku, penglihatanku dan pendengaranku.” Dalam hal ini terkandung dua makna: PERTAMA, bahwa Allah telah menyatu dengan hati, ruh pendengaran dan penglihatannya. KEDUA, cinta dan ingatannya selalu melayang kepada Allah sehingga menguasai lubuk hati dan ruhnya, maka seakan Allah telah menjadi temannya. Sebagaimana dalam sebuah hadits qudsi Allah berfirman: “Aku adalah teman duduk orang yang mengingat-Ku.” Dalam hadits lain, “Sesungguhnya Aku bersama hamba ketika dia mengingat-Ku dan kedua mulutnya mengucapkan nama-Ku.” Dalam hadits lain, “Kalau Aku mencintai hamba-Ku, maka Aku menjadi pendengaran, penglihatan, tangan dan penguat baginya.” Dari sini bisa diketahui betapa kuat dan indahnya ungkapan ini. Yang menjadi tujuan disini adalah sabar dengan Allah. Dalam kesabarannya dengan Allah, seorang hamba bisa menerapkan kesabaran. Kalau Allah sudah bersamanya, maka kemungkinan besar dia bisa sabar yang itu tidak bisa dilakukan oleh orang lain. Abu `Ali berkata: “Orang-orang yang sabar akan mendapatkan kebahagiaan didunia dan akhirat.” Karena mereka mendapatkan kebersamaan dengan Allah. Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabara,” (QS. Al-Baqarah: 153) Disini ada sebuah kandungan ajaran yang sangat mendalam. Yaitu bahwa orang yang menerapkan salah satu sifat Allah, maka Allah akan memasukkannya kedalam sifat itu dan menyampaikannya padanya. Allah adalah Tuhan Yang Maha Sabar. Bahakan tidak ada seorang pun yang bisa menyamai kesabaran Allah atas berbagai cacian kepada-Nya. *** Sumber jkmhal.com Kemuliaan Sabar dan Keagungan Syukur - Ibn Al-Qayyim Al-Jauziyah

Golongan Merugi

al-ashr Kecenderungan manusia untuk melupakan hakikat kehidupan semakin menggejala di zaman teknologi ini. Globalisasi telah menghancurkan tembok-tembok keimanan kecuali mereka yang ditakdirkan selamat. (Maryam Jameelah). Al Quran banyak memberikan kepada kita orang-orang yang khasirin, yakni orang-orang yang hidupnya merugi di dunia dan di akhirat. Merugi karena tidak mau beriman kepada ayat-ayat Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Mereka membaca Alquran tetapi mereka tidak tahu apa yang dibaca. Misalnya dalam surah Al Ashr, Allah menyebut semua manusia dalam keadaan merugi, kecuali empat golongan. Mereka adalah yang beriman, orang-orang yang mengerjakan amal shaleh, yang sering memberi tausiah kepada sesamanya agar menaati kebenaran, dan orang yang nasihat-menasihati supaya menetapi kesabaran. Di luar itu, ini berarti orang yang tidak beriman, kafir, munafik, fasik, syirik, semuanya merugi. Begitu juga orang yang mengerjakan amal sayyiah (buruk) semacam kezaliman, kekikiran, kejahilan, dan keingkaran kepada kebenaran juga merugi. Hal sama juga berlaku bagi orang yang membiarkan orang lain terpuruk dalam kesesatan dan orang-orang yang menyuruh orang lain gegabah (tidak sabar) dan tergesa-gesa dalam mengambil sikap. Menyikapi ayat Alashr di atas, Imam Syafi’i berkata, ”Seandainya manusia memahami ayat ini cukuplah agama ini baginya.” Apa maksudnya? Surat ini merupakan intisari bahwa hidup adalah kumpulan waktu. Yang tak mampu menggunakan kumpulan waktu dialah yang dijamin bakal merugi, orang yang sudah mati. Selajutnya dalam surah Annahl ayat 107-109 Allah juga menyebut beberapa golongan yang merugi karena kelalaiannya. Mereka adalah orang yang mencintai dunia lebih dari akhirat. Akhirat disepelekan, dunia dinomor-satukan. Bagi mereka, Allah membutakan mata hatinya, penglihatan dan pendengarannya telah dikunci mati oleh Allah SWT. Masih banyak ayat-ayat lain yang bertebaran di berbagai surah tentang golongan yang merugi ini. Dan bagi mereka, di akhirat nanti akan mendapat azab yang pedih. Masihkah kita bersibuk dengan urusan dunia kita dan melupakan akhirat? Masihkah kita menomor-satukan diri dan menafikan orang lain? Apakah kita termasuk golongan ini? Tentu dengan melihat kriteria yang ditetapkan Allah, kita bisa menilai diri kita sendiri. Selagi ada kemauan, belum terlambat untuk berubah. *** Oleh: Bukhari Ib republika.co.id

Menuju Perubahan Sebuah Bangsa

perubahan bangsa Oleh : KH. Abdullah Gymnastiar Tiada Tuhan selain Allah Yang Maha Menatap, Maha Menyaksikan segala-galanya, Maha Tahu segala isi hati kita. Semoga hati kita ini benar-benar terpelihara, terpelihara dari kesombongan melihat orang yang lebih rendah dari diri kita, terpelihara dari riya jika diperlihatkan amal-mal kita atau dipuji oleh makhluk, terpelihara dari kedengkian terhadap sesama karena kita sering sekali tidak tahan melihat kelebihan saudara kita dan ada kegembiraan dengan kesusahan atau derita sudara kita sendiri. Bangsa kita yang sedang sakit ini adalah ladang amal bagi kita. Kita boleh kecewa, kita boleh terluka, tetapi yang paling harus kita lakukan adalah berbuat sesuatu untuk memperbaiki. Kalau selesai urusan bangsa ini dengan kecewa, marilah kita kecewa habis-habisan. Kalau selesai hanya hanya dengan mencaci dan memaki, tapi yang pasti sikap yang buruk tidak akan menyelesaikan persoalan bangsa ini. Bahkan malah menambah masalah. Oleh karena itu, kita harus berbuat sesuatu dengan cara terindah dan yang termulia yang kita mampu. Kita bangkitakan bangsa ini dengan penuh kehormatan. Kalau semua komponen bangsa hanya memmikirkan keadaan saat ini saja, lalu bagaimana ketika orang yang berperan saat ini lengser? Harus kita persiapkan penggantinya yang terbaik. Oleh karena itu, mari kita pikirkan siapa kira-kira yang nantinya berhak dan layak memimpin bangsa ini. Apakah yang terjadi selama ini harus kita jadikan pelajaran berharga. Betapa membangun bangsa, ternyata tidak cukup hanya dengan membangun akan, tidak cukup dengan membangun otot, tidak cukup dengan membangun jalan, tapi yaang paling pokok adalah membangun nurani bangsa ini. Dengan nurani yang sehat, maka pikiran akan jernih, tubuh sehat, raut muka cerah berseri, semangat bangkit, dan akhlak akan mulia. Mampukah kita mengubah bangsa ini? Cara apa yang akan kita gunakan untuk mengubah bangsa ini? Apakah dengan membuka pembicaraan-pembicaraan tentang perubahan bangsa dapat otomatis mengubah bangsa ini menjadi sejahtera, damai dan menjadi bangsa yang mulia? nampaknya tidak semudah itu. Bohong kalau ada orang yaang mengatakan bahwa dia mampu megubah bangsa, tanpa dia sendiri mau dan mampu mengubah dirinya terlebih dahulu. Kepala sekolah tidak usah berharap banyak murid-muridnya berperilaku baik, jika para gurunya tidak sangat serius memperbaiki diri. Tidak pernah ada riwayat bisa memperbaiki orang lain tanpa diawali memperbaiki diri, karena kekutan perubahan itu kalau perkataan dan perbuatan sama. Berapa banyak pemimpin yang jatuh karena perkataan dan perbuatannya tidak cocok? Seorang ibu akan jatuh wibawanya di depan suami dan anak-anaknya jika ibu yang rajin ke pengajian, rajin mencari ilmu tapi tidak mengamalkan ilmunya. Demikian juga seorang suami akan tidak berwibawa di depan isteri dan anak-anaknya kalau antara perkataan dan perbuatannya tidak cocok. Maka perubahan bangsa ini hanya bisa terjadi kalau kita gemar melihat kekurangan sendiri sebelum kekurangan orang lain, kemudian bertekad memperbaikinya. Tidak pernah ada orang yang sukses kecuali orang yang paling gigih memperbaiki diri. kalau kita terus memperbaiki diri siang malam, maka orang lain akan banyak mengikuti kita. Sebaliknya, kalau kita sibuk dengan keinginan mencapai kesuksesan dalam pekerjaan, politik dan lain sebagainnya tanpa disertai keinginan kuat untuk memperbaiki diri, maka tidak akan terjadi sebuah perubahan bangsa. Kita sering tertipu oleh pujian orang lain kepada kita. Kita menganggap diri mulia karena orang lain menghormati kita. Padahal kita sendiri tidak tahu banyak niat dibalik penghormatan itu. Jangan terlalu senang dengan penghormatan orang, karena akibatnya akan menjerumuskan kita sendiri. Sahabatku, tidak ada perubahaan sebelum berani mengubah diri sendiri (3 M: Mulai dari diri sendiri, Mulai dari hal yang terkecil, dan Mulai saat ini). Kita tidak akan pernah rugi melihat kekurangan sendiri. Tidak ada kesuksesan, tidak ada masa depan, kecuali bagi orang yang mengawali dengan berani mencari kekurangan sendiri dan gigih untuk memperbaikinya. *** Dari Sahabat

Surga atau Neraka?

cahaya-kebenaran “Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka dialah yang mendapat petunjuk; dan barangsiapa yang disesatkan Allah, maka merekalah orang-orang yang merugi.” (QS. 7:178) Kalau kita mau mencoba menela’ah ayat diatas, maka kita akan dengan mudah menemukan dua hal yang perlu kita renungkan secara seksama, yang mana dua hal itu akan menentukan kepada diri kita, apakah diri kita itu termasuk kepada orang-orang yang mendapat petunjuk Allah? atau, apakah diri kita itu termasuk kepada orang-orang yang disesatkan Allah?. Sebab, dua hal itu juga akan menentukan kepada diri kita, akan masuk ke mana diri kita itu nantinya, ke surga atau ke neraka? Maka, disini saya akan mencoba sedikit menguraikan dua hal itu secara satu persatu. Di dalam ayat itu ada kalimat yang berbunyi, “Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka dialah yang mendapat petunjuk”; Dan petunjuk Allah itu seperti yang kita ketahui adalah Al-Qur’an. Dan di dalam al-Qur’an itu juga Allah SWT menjelaskan kepada kita bahwa orang yang mendapat petunjuk dari Allah itu adalah orang-orang yang bertaqwa, ini sesuai dengan apa yang difirmankan oleh Allah SWT dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat ke dua yang artinya “Kitab (al- Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa” yang mana, orang-orang yang bertaqwa itu adalah “Mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebagian rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka, Dan mereka yang beriman kepada Kitab (al-Qur’an) yang telah diturunkan kepadamu dan Kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat.” (QS. Al-Baqarah (2): 3- 4) Dan mereka (orang-orang yang bertaqwa) juga adalah “Orang-orang yang mengikut Rasul, Nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma’ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka orang- orang yang beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (al-Qur’an), mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. Al-A’raf (7): 157) “Mereka itulah yang tetap mendapat petunjuk dari Tuhan-nya, dan merekalah orang-orang yang beruntung”. (QS. Al-Baqarah (2): 5) Maka, Allah mengutus Rasul-Nya, untuk menyampaikan kabar gembira dari- Nya bagi orang-orang yang beriman (bertaqwa) kepada Allah SWT. Kabar gembira yang dimaksud itu adalah disediakannya surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya. Sebagai mana yang difirmankan-Nya dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat ke 25 yang artinya sebagai berikut: “Dan sampaikanlah berita gembira kepada mereka yang beriman dan berbuat baik, bahwa bagi mereka disediakan surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya. Setiap mereka diberi rezki buah-buahan dalam surga-surga itu, mereka mengatakan: “Inilah yang pernah diberikan kepada kami dahulu”. Mereka diberi buah-buahan yang serupa dan untuk mereka di dalamnya ada isteri-isteri yang suci dan mereka kekal di dalamnya.” (QS. Al-Baqarah (2): 25) Sedangkan bagi “Orang-orang yang disesatkan Allah, maka merekalah orang-orang yang merugi”. Dan kalau sudah seperti ini, “…sama saja bagi mereka, kamu beri peringatan atau tidak kamu beri peringatan, mereka tidak juga akan beriman.” (QS. Al-Baqarah (2): 6) Karena, “Allah telah mengunci-mati hati dan pendengaran mereka, dan penglihatan mereka ditutup.” (QS. Al-Baqarah (2): 7). Dalam artian “…mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakan untuk memahami (ayat- ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah).” (QS. Al-A’raf (7): 179) Maka bagi mereka adalah “siksa yang amat berat.” (QS. Al-Baqarah (2): 7). Karena kekafiran (keingkaran) mereka kepada Allah SWT dan Rasul- Nya. “Dan orang-orang yang kafir kepada Tuhannya, memperoleh azab Jahannam. Dan itulah seburuk-buruk tempat kembali. Apabila mereka dilemparkan ke dalamnya mereka mendengar suara neraka yang mengerikan, sedang neraka itu menggelegak. hampir-hampir (neraka) itu terpecah-pecah lantaran marah. Setiap kali dilemparkan ke dalamnya sekumpulan (orang-orang kafir), penjaga-penjaga (neraka itu) bertanya kepada mereka:”Apakah belum pernah datang kepada kamu (di dunia) seorang pemberi peringatan?” Mereka menjawab: “Benar ada”, sesungguhnya telah datang kepada kami seorang pemberi peringatan, maka kami mendustakan(nya) dan kami katakan: “Allah tidak menurunkan sesuatupun; kamu tidak lain hanyalah di dalam kesesatan yang besar”. Dan mereka berkata: “Sekiranya kami mendengarkan atau memikirkan (peringatan itu) niscaya tidaklah kami termasuk penghuni neraka yang menyala-nyala”. Mereka mengakui dosa mereka. Maka kebinasaanlah bagi penghuni-penghuni neraka yang menyala-nyala”.” (QS. Al-Mulk (67): 6- 11) Jadi, sekarang sudah jelas. Mau jalan yang mana, yang harus kita tempuh atau tujuan yang ke mana yang harus kita tuju. Mau ke SURGA atau mau ke NERAKA? tinggal pilih…. Rasulullah SAW bersabda, “Dari Abu Hurairah Radhiyallahu `anhu bahwasanya Rasulullah Shallallahu `alaihi wa sallam bersabda : `Setiap ummatku akan masuk syurga, kecuali yang enggan’. Mereka (para sahabat) bertanya : `Siapa yang enggan itu ?. Jawab Beliau : `Barangsiapa yang mentaatiku pasti masuk syurga, dan barangsiapa yang mendurhakaiku, maka sungguh ia telah enggan”. (HR. Bukhari dan Ahmad) Wallahu a’lam *** Sumber darijkmhal.com

Ah, yang Penting kan Hatinya!

kaya hati Written by Ummu Raihanah Banyak syubhat di lontarkan kepada kaum muslimah yang ingin berjilbab. Syubhat yang ‘ngetrend’ dan biasa kita dengar adalah ” Buat apa berjilbab kalau hati kita belum siap, belum bersih, masih suka ‘ngerumpi’ berbuat maksiat dan dosa-dosa lainnya, percuma dong pake jilbab! Yang penting kan hati! lalu tercenunglah saudari kita ini membenarkan pendapat kawannya tadi. Syubhat lainnya lagi adalah “Liat tuh kan ada hadits yang berbunyi: Sesungguhnya Allah tidak melihat pada bentuk (rupa) kalian tapi Allah melihat pada hati kalian..!. Jadi yang wajib adalah hati, menghijabi hati kalau hati kita baik maka baik pula keislaman kita walau kita tidak berkerudung!. Benarkah demikian ya ukhti,, ?? Saudariku muslimah semoga Allah merahmatimu, siapapun yang berfikiran dan berpendapat demikian maka wajiblah baginya untuk bertaubat kepada Allah Ta’ala memohon ampun atas kejahilannya dalam memahami syariat yang mulia ini. Jika agama hanya berlandaskan pada akal dan perasaan maka rusaklah agama ini. Bila agama hanya didasarkan kepada orang-orang yang hatinya baik dan suci, maka tengoklah di sekitar kita ada orang-orang yang beragama Nasrani, Hindu atau Budha dan orang kafir lainnya liatlah dengan seksama ada diantara mereka yang sangat baik hatinya, lemah lembut, dermawan, bijaksana. Apakah anda setuju untuk mengatakan mereka adalah muslim? Tentu akal anda akan mengatakan “tentu tidak! karena mereka tidak mengucapkan syahadatain, mereka tidak memeluk islam, perbuatan mereka menunjukkan mereka bukan orang islam. Tentu anda akan sependapat dengan saya bahwa kita menghukumi seseorang berdasarkan perbuatan yang nampak (zahir) dalam diri orang itu. Lalu bagaimana pendapatmu ketika anda melihat seorang wanita di jalan berjalan tanpa jilbab, apakah anda bisa menebak wanita itu muslimah ataukah tidak? Sulit untuk menduga jawabannya karena secara lahir (dzahir) ia sama dengan wanita non muslimah lainnya. Ada kaidah ushul fiqih yang mengatakan “alhukmu ala dzawahir amma al bawathin fahukmuhu “ala llah’ artinya hukum itu dilandaskan atas sesuatu yang nampak adapun yang batin hukumnya adalah terserah Allah. Rasanya tidak ada yang bisa menyangsikan kesucian hati ummahatul mukminin (istri-istri Rasulullah shalallahu alaihi wassalam) begitu pula istri-istri sahabat nabi yang mulia (shahabiyaat). Mereka adalah wanita yang paling baik hatinya, paling bersih, paling suci dan mulia. Tapi mengapa ketika ayat hijab turun agar mereka berjilbab dengan sempurna (lihat QS: 24 ayat 31 dan QS: 33 ayat 59) tak ada satupun riwayat termaktub mereka menolak perintah Allah Ta’ala. Justru yang kita dapati mereka merobek tirai mereka lalu mereka jadikan kerudung sebagai bukti ketaatan mereka. Apa yang ingin anda katakan? Sedangkan mengenai hadits di atas, banyak diantara saudara kita yang tidak mengetahui bahwa hadits diatas ada sambungannya. Lengkapnya adalah sebagai berikut: “Dari Abu Hurairah, Abdurrahman bin Sakhr radhiyallahu anhu dia berkata, Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak melihat pada bentuk tubuh-tubuh kalian dan tidak juga kepada bentuk rupa-rupa kalian, tetapi Dia melihat hati-hati kalian “(HR. Muslim 2564/33). Hadits di atas ada sambungannya yaitu pada nomor hadits 34 sebagai berikut: “Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada bentuk rupa kalian dan juga harta kalian, tetapi Dia melihat hati dan perbuatan kalian. (HR.Muslim 2564/34). Semua adalah seiring dan sejalan, hati dan amal. Apabila hanya hati yang diutamakan niscaya akan hilanglah sebagian syariat yang mulia ini. Tentu kaum muslimin tidak perlu bersusah payah menunaikan shalat 5 waktu, berpuasa dibulan Ramadhan, membayar dzakat dan sedekah atau bersusah payah menghabiskan harta dan tenaga untuk menunaikan ibadah haji ketanah suci Mekah atau amal ibadah lainnya. Tentu para sahabat tidak akan berlomba-lomba dalam beramal (beribadah) cukup mengandalkan hati saja, toh mereka adalah sebaik-baik manusia diatas muka bumi ini. Akan tetapi justru sebaliknya mereka adalah orang yang sangat giat beramal tengoklah satu kisah indah diantara kisah-kisah indah lainnya. Urwah bin Zubair Radhiyallahu anhu misalnya, Ayahnya adalah Zubair bin Awwam, Ibunya adalah Asma binti Abu Bakar, Kakeknya Urwah adalah Abu Bakar Ash-Shidik, bibinya adalah Aisyah Radhiyallahu anha istri Rasulullah Shalallahu alaihi wassalam. Urwah lahir dari nasab dan keturunan yang mulia, jangan ditanya tentang hatinya, ia adalah orang yang paling lembut hatinya toh masih bersusah payah giat beramal, bersedekah dan ketika shalat ia bagaikan sebatang pohon yang tegak tidak bergeming karena lamanya ia berdiri ketika shalat. Aduhai, betapa lalainya kita ini, banyak memanjangkan angan-angan dan harapan padahal hati kita tentu sangat jauh suci dan mulianya dibandingkan dengan generasi pendahulu kita. Wallahu’alam bish-shawwab. *** Muraja’ah oleh ust. Eko Hariyanto Lc *Mahasiswa paska sarjana Fakultas Syari’ah Universitas Imam Ibnu Saud, Riyadh,KSA.

Sebab-Sebab Turunnya Rizki

menabung Akhir-akhir ini banyak orang yang mengeluhkan masalah penghasilan atau rizki, entah karena merasa kurang banyak atau karena kurang berkah. Begitu pula berbagai problem kehidupan, mengatur pengeluaran dan kebutuhan serta bermacam-macam tuntutannya. Sehingga masalah penghasilan ini menjadi sesuatu yang menyibukkan, bahkan membuat bingung dan stress sebagian orang. Maka tak jarang di antara mereka ada yang mengambil jalan pintas dengan menempuh segala cara yang penting keinginan tercapai. Akibatnya bermunculanlah koruptor, pencuri, pencopet, perampok, pelaku suap dan sogok, penipuan bahkan pembunuhan, pemutusan silaturrahim dan meninggal kan ibadah kepada Allah untuk mendapatkan uang atau alasan kebutuhan hidup. Mereka lupa bahwa Allah telah menjelaskan kepada hamba-hamba-Nya sebab-sebab yang dapat mendatangkan rizki dengan penjelasan yang amat gamblang. Dia menjanjikan keluasan rizki kepada siapa saja yang menempuhnya serta menggunakan cara-cara itu, Allah juga memberikan jaminan bahwa mereka pasti akan sukses serta mendapatkan rizki dengan tanpa disangka-sangka. Diantara sebab-sebab yang melapangkan rizki adalah sebagai berikut: Takwa Kepada Allah Takwa merupakan salah satu sebab yang dapat mendatangkan rizki dan menjadikannya terus bertambah. Allah Subhannahu wa Ta’ala berfirman, artinya, “Barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan ke luar. Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya.” (At Thalaq 2-3) Setiap orang yang bertakwa, menetapi segala yang diridhai Allah dalam segala kondisi maka Allah akan memberikan keteguhan di dunia dan di akhirat. Dan salah satu dari sekian banyak pahala yang dia peroleh adalah Allah akan menjadikan baginya jalan keluar dalam setiap permasalahan dan problematika hidup, dan Allah akan memberikan kepadanya rizki secara tidak terduga. Imam Ibnu Katsir berkata tentang firman Allah di atas, “Yaitu barang siapa yang bertakwa kepada Allah dalam segala yang diperintahkan dan menjauhi apa saja yang Dia larang maka Allah akan memberikan jalan keluar dalam setiap urusannya, dan Dia akan memberikan rizki dari arah yang tidak disangka-sangka, yakni dari jalan yang tidak pernah terlintas sama sekali sebelumnya.” Allah swt juga berfirman, artinya, “Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertaqwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (QS. 7:96) Istighfar dan Taubat Termasuk sebab yang mendatang kan rizki adalah istighfar dan taubat, sebagaimana firman Allah yang mengisahkan tentang Nabi Nuh Alaihissalam , “Maka aku katakan kepada mereka:”Mohonlah ampun kepada Rabbmu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun” niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai.” (QS. 71:10-12) Al-Qurthubi mengatakan, “Di dalam ayat ini, dan juga dalam surat Hud (ayat 52,red) terdapat petunjuk bahwa istighfar merupakan penyebab turunnya rizki dan hujan.” Ada seseorang yang mengadukan kekeringan kepada al-Hasan al-Bashri, maka beliau berkata, “Beristighfarlah kepada Allah”, lalu ada orang lain yang mengadukan kefakirannya, dan beliau menjawab, “Beristighfarlah kepada Allah”. Ada lagi yang mengatakan, “Mohonlah kepada Allah agar memberikan kepadaku anak!” Maka beliau menjawab, “Beristighfarlah kepada Allah”. Kemudian ada yang mengeluhkan kebunnya yang kering kerontang, beliau pun juga menjawab, “Beristighfarlah kepada Allah.” Maka orang-orang pun bertanya, “Banyak orang berdatangan mengadukan berbagai persoalan, namun anda memerintahkan mereka semua agar beristighfar.” Beliau lalu menjawab, “Aku mengatakan itu bukan dari diriku, sesungguhnya Allah swt telah berfirman di dalam surat Nuh, (seperti tersebut diatas, red). Istighfar yang dimaksudkan adalah istighfar dengan hati dan lisan lalu berhenti dari segala dosa, karena orang yang beristighfar dengan lisannnya saja sementara dosa-dosa masih terus dia kerjakan dan hati masih senantiasa menyukainya maka ini merupakan istighfar yang dusta. Istighfar yang demikian tidak memberikan faidah dan manfaat sebagaimana yang diharapkan. Tawakkal Kepada Allah Allah swt berfirman, artinya, “Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.” (QS. 65:3) Nabi saw telah bersabda, artinya, “Seandainya kalian mau bertawakkal kepada Allah dengan sebenar-benarnya maka pasti Allah akan memberikan rizki kepadamu sebagaimana burung yang diberi rizki, pagi-pagi dia dalam keadaan lapar dan kembali dalam keadaan kenyang.” (HR Ahmad, at-Tirmidzi dan dishahihkan al-Albani) Tawakkal kepada Allah merupakan bentuk memperlihatkan kelemahan diri dan sikap bersandar kepada-Nya saja, lalu mengetahui dengan yakin bahwa hanya Allah yang memberikan pengaruh di dalam kehidupan. Segala yang ada di alam berupa makhluk, rizki, pemberian, madharat dan manfaat, kefakiran dan kekayaan, sakit dan sehat, kematian dan kehidupan dan selainnya adalah dari Allah semata. Maka hakikat tawakkal adalah sebagaimana yang di sampaikan oleh al-Imam Ibnu Rajab, yaitu menyandarkan hati dengan sebenarnya kepada Allah Azza wa Jalla di dalam mencari kebaikan (mashlahat) dan menghindari madharat (bahaya) dalam seluruh urusan dunia dan akhirat, menyerahkan seluruh urusan hanya kepada Allah serta merealisasikan keyakinan bahwa tidak ada yang dapat memberi dan menahan, tidak ada yang mendatangkan madharat dan manfaat selain Dia. Silaturrahim Ada banyak hadits yang menjelaskan bahwa silaturrahim merupakan salah satu sebab terbukanya pintu rizki, di antaranya adalah sebagai berikut: -Sabda Nabi Shalallaahu alaihi wasalam, artinya, ” Dari Abu Hurairah ra berkata, “Aku mendengar Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam bersabda, “Siapa yang senang untuk dilapangkan rizkinya dan dipanjangkan umurnya maka hendaklah menyambung silaturrahim.” (HR Al Bukhari) -Sabda Nabi saw, artinya, “Dari Abu Hurairah Radhiallaahu anhu , Nabi Shalallaahu alaihi wasalam bersabda, ” Ketahuilah orang yang ada hubungan nasab denganmu yang engkau harus menyambung hubungan kekerabatan dengannya. Karena sesungguhnya silaturrahim menumbuhkan kecintaan dalam keluarga, memperbanyak harta dan memperpanjang umur.” (HR. Ahmad dishahihkan al-Albani) Yang dimaksudkan dengan kerabat (arham) adalah siapa saja yang ada hubungan nasab antara kita dengan mereka, baik itu ada hubungan waris atau tidak, mahram atau bukan mahram. Infaq fi Sabilillah Allah swt berfirman, artinya, “Dan barang apa saja yang kamu nafkahkan, maka Allah akan menggantinya dan Dia lah Pemberi rezki yang sebaik-baiknya.” (QS. 34:39) Ibnu Katsir berkata, “Yaitu apapun yang kau infakkan di dalam hal yang diperintahkan kepadamu atau yang diperbolehkan, maka Dia (Allah) akan memberikan ganti kepadamu di dunia dan memberikan pahala dan balasan di akhirat kelak.” Juga firman Allah yang lain,artinya, “Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu nafkahkan dari padanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji. Syaitan menjanjikan (menakut-nakuti) kamu dengan kemiskinan dan menyuruh kamu berbuat kejahatan (kikir); sedang Allah menjanjikan untukmu ampunan daripada-Nya dan karunia. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. 2:267-268) Dalam sebuah hadits qudsi Rasulullah saw bersabda, Allah swt berfirman, “Wahai Anak Adam, berinfaklah maka Aku akan berinfak kepadamu.” (HR Muslim) Menyambung Haji dengan Umrah Berdasarkan pada hadits Nabi Shalallaahu alaihi wasalam dari Ibnu Mas’ud Radhiallaahu anhu dia berkata, Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam bersabda, artinya, “Ikutilah haji dengan umrah karena sesungguhnya keduanya akan menghilangkan kefakiran dan dosa sebagaimana pande besi menghilangkan karat dari besi, emas atau perak, dan haji yang mabrur tidak ada balasannya kecuali surga.” (HR. at-Tirmidzi dan an- Nasai, dishahihkan al-Albani) Maksudnya adalah, jika kita berhaji maka ikuti haji tersebut dengan umrah, dan jika kita melakukan umrah maka ikuti atau sambung umrah tersebut dengan melakukan ibadah haji. Berbuat Baik kepada Orang Lemah Nabi saw telah menjelaskan bahwa Allah akan memberikan rizki dan pertolongan kepada hamba-Nya dengan sebab ihsan (berbuat baik) kepada orang-orang lemah, beliau bersabda, artinya, “Tidaklah kalian semua diberi pertolongan dan diberikan rizki melainkan karena orang-orang lemah diantara kalian.” (HR. al-Bukhari) Dhu’afa’ (orang-orang lemah) klasifikasinya bermacam-macam, ada fuqara, yatim, miskin, orang sakit, orang asing, wanita yang terlantar, hamba sahaya dan lain sebagainya. Serius di dalam Beribadah Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiallaahu anhu, dari Nabi Shalallaahu alaihi wasalam bersabda, “Allah Subhannahu wa Ta’ala berfirman, artinya, “Wahai Anak Adam Bersungguh-sungguhlah engkau beribadah kepada Ku, maka Aku akan memenuhi dadamu dengan kecukupan dan Aku menanggung kefakiranmu. Jika engkau tidak melakukan itu maka Aku akan memenuhi dadamu dengan kesibukan dan Aku tidak menanggung kefakiranmu.” Tekun beribadah bukan berarti siang malam duduk di dalam masjid serta tidak bekerja, namun yang dimaksudkan adalah menghadirkan hati dan raga dalam beribadah, tunduk dan khusyu’ hanya kepada Allah, merasa sedang menghadap Pencipta dan Penguasanya, yakin sepenuhnya bahwa dirinya sedang bermunajat, mengadu kepada Dzat Yang menguasai Langit dan Bumi. Dan masih banyak lagi pintu-pintu rizki yang lain, seperti hijrah, jihad, bersyukur, menikah, bersandar kepada Allah, meninggalkan kemaksiatan, istiqamah serta melakukan ketaatan, yang tidak dapat di sampaikan secara lebih rinci dalam lembar yang terbatas ini. Mudah-mudahan Allah memberi kan taufik dan bimbingan kepada kita semua. Amin. *** Sumber: Kutaib “Al Asbab al Jalibah lir Rizqi”, al-qism al-ilmi Darul Wathan. alsofwah.or.id

Melawan Setan

sujud Penulis : KH Abdullah Gymnastiar Ada sebuah pertandingan tinju. Petinju yang satu ditutup kepalanya sehingga tidak bisa melihat, sedangkan petunju yang satunya lagi tidak ditutup dan bisa bebas bergerak. Apa yang akan terjadi? Petinju yang ditutup kepalanya pasti akan menjadi bulan-bulanan lawannya. Pertarungan kedua petinju tersebut, sesungguhnya menggambarkan pertarungan antara setan dengan manusia. Betapa sengsaranya jika kita harus bertarung dengan makhluk yang tidak terlihat, sedangkan ia bisa melihat kita. Tugas setan hanya satu, yaitu menggoda dan menggelincirkan manusia, sedangkan tugas kita sangat banyak. Setan menggoda manusia secara berjamaah, sedangkan kita harus menghadapinya sendirian. Karena itu, tanpa berlindung kepada Allah, kita akan menjadi bulan- bulanan mereka. Analoginya, jika kita diganggu anjing galak, maka cara yang paling efektif untuk selamat, adalah meminta tolong kepada pemilik anjing tersebut. Inilah yang Allah perintahkan, Dan jika kamu ditimpa sesuatu godaan setan, maka berlindunglah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui (QS Al A’raaf [7]: 200). Melihat berbagai keterbatasan manusia, Allah SWT telah memberikan aneka perlindungan kepada kita. Salah satunya dengan zikir. Zikir yang dilakukan dengan benar dan ikhlas, akan membuat setan tidak berkutik. Zikir di sini termasuk pula shalat, tilawah Al-Quran serta membaca doa. Dari Harits Al Asyari bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Aku perintahkan kepada kalian agar selalu berzikir kepada Allah. Sesungguhnya, perumpamaan orang yang berzikir itu seperti seorang yang dicari-cari oleh musuhnya. Mereka menyebar mencari orang tersebut sehingga ia sampai pada suatu benteng yang sangat kokoh dan ia dapat melindungi dirinya di dalam benteng tersebut dari kejaran musuh. Begitu juga setan. Seorang hamba tidak akan dapat meindungi dirinya dari setan, kecuali dengan berzikir kepada Allah. Sesungguhnya, zikir akan membuat hati kita akan tenang, cemerlang, iman bertambah kuat dan hawa nafsu bisa lebih terkendali (QS Ar Ra’d [13]: 28). Nah, ketika nafsu kita terkendali, maka setan tidak lagi memiliki daya. Sebab, setan hanya bisa menggoda manusia dengan memanfaatkan hawa nafsu. Itulah sebabnya tipu daya setan tidak berdaya sedikit pun terhadap orang-orang ikhlas, yaitu orang-orang yang telah mampu menempatkan Allah di atas hawa nafsunya (QS Shaad [38]: 82-83). Rasulullah SAW telah mencontohkan beberapa zikir pendek yang bisa membentengi kita dari tipu daya setan. Di antaranya, ucapan ta’awudz, a’uzdubillahi minassyaithaani rajiimi. Selain membaca basmalah, sangat baik pula jika kita membaca ta’awudz sebelum beraktivitas, agar Allah melindungi kita dari tipu daya setan. Juga ucapan, “Bismillahi tawakkaltu ‘alallahu laa haula wa laa quwwata illa billahi”. Dengan menyebut nama Allah, aku bertawakal kepada-Nya, dan tiada daya serta kekuatan kecuali dari Allah semata. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Tirmidzi, Rasulullah SAW bersabda bahwa siapa pun yang membaca doa ini ketika keluar dari rumahnya, maka Allah akan memberinya petunjuk, menjaga serta memalingkannya dari godaan setan. Dan yang ketiga, ucapan istighfar serta tahlil. Rasulullah SAW bersabda, “Perbanyaklah mengucap ‘La Laa Ilaha illaallahu’ dan beristighfar. Karena setan berkata, ‘Aku telah membinasakan mereka dengan dosa, sedangkan mereka membinasakanku dengan ucapan ‘La Laa Ilaha illaallahu’ serta dengan beristighfar. Ketika aku melihat hal itu, aku binasakan mereka dengan hawa nafsu. Sehingga mereka akhirnya menyangka bahwa mereka terus berada dalam naungan hidayah, dan mereka pun tidak lagi beristighfar” (HR Abu Ya’la dan Ad Dailami). Saudaraku, ada banyak zikir lain yang bisa kita baca dalam berbagai waktu dan kesempatan. Misal, saat hendak tidur, bangun tidur, makan, berhubungan suami istri, dsb. Termasuk pula membaca Al Ma’tsurat setelah shalat Subuh dan Asar. Bertaburan pula ayat-ayat Alquran dan hadits yang bisa kita jadikan materi zikir. Insya Allah, jika hati kita senantiasa tersambung kepada Allah, maka akan ada benteng kokoh antara kita dan setan. *** Sumber : http://republika. co.id

Shalat Berjama’ah, Perintah Agama yang Kian Ditinggalkan

sholat-berjamaah Sumber: Buletin Al Ilmu Masjid merupakan sebuah tempat suci yang tidak asing lagi kedudukannya bagi umat Islam. Masjid selain sebagai pusat ibadah umat Islam, ia pun sebagai lambang kebesaran syiar dakwah Islam. Alhamdulillah”, kaum muslimin pun telah terpanggil untuk bahu-membahu membangun masjid-masjid di setiap daerahnya masing-masing. Hampir tidak dijumpai lagi suatu daerah yang mayoritasnya kaum muslimin kosong dari masjid. Bahkan terlihat renovasi bangunan masjid-masjid semakin diperlebar dan diperindah serta dilengkapi dengan berbagai fasilitas, agar dapat menarik dan membuat nyaman jama’ah. Semoga semua usaha ini menjadi amal ibadah yang barakah karena mengamalkan hadits Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam: “Barangsiapa yang membangun masjid karena mengharap wajah Allah, niscaya Allah akan bangunkan baginya semisalnya di al jannah.” (Al Bukhari no. 450) Tentunya akan lebih barakah lagi bilamana mampu merealisasikan tujuan dibangunnya masjid. Salah satu fungsi dibangunnya masjid adalah menegakkan shalat berjam’ah di dalamnya. Ternyata, bila kita menengok kondisi masjid-masjid yang ada terlihat shaf (barisan) ma’mum semakin maju alias sepi dari jama’ah. Bahkan ada beberapa masjid yang tidak menegakkan shalat berjama’ah lima waktu secara penuh. Kondisi ini seharusnya menjadikan kita tersentuh untuk bisa berupaya dan ikut serta bertanggung jawab dalam mamakmurkan masjid. Para pembaca, dalam edisi kali ini akan dimuat pembahasan keutamaan dan kedudukan shalat berjama’ah lima waktu di masjid. Semata-mata sebagai nasehat untuk kita bersama dalam mewujudkan kemakmuran masjid-masjid yang merupakan pusat syiar-syiar Islam dan mewujudkan hamba-hamba Allah subhanahu wata’ala yang benar-benar beriman kepada-Nya. Memakmurkan Masjid Ciri Khas Orang-Orang Yang Beriman Ciri khas yang harus dimiliki oleh orang yang beriman adalah tunduk dan patuh memenuhi panggilan-Nya. Ciri khas ini sebagai tanda kebenaran dan kejujuran imannya kepada Allah subhanahu wata’ala. Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya): “Wahai orang-orang yang beriman penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul, bila Rasul menyeru kalian kepada sesuatu yang dapat menghidupkan hati kalian” (Al Anfal: 24) Allah subhanahu wata’ala telah memanggil kaum mu’minin untuk memakmurkan masjid. Siapa yang memenuhi panggilan Allah subhanahu wata’ala ini, maka Allah subhanahu wata’ala bersaksi atas kebenaran dan kejujuran iman dia kepada-Nya. Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya): “Hanyalah yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kiamat.” (At Taubah: 18) Al Imam Ibnu Katsir Asy Syafi’i (bermadzhab Syafi’i) seorang ulama’ besar dan ahli tafsir berkata: “Allah subhanahu wata’ala bersaksi atas keimanan orang-orang yang mau memakmurkan masjid.” (Al Mishbahul Munir tafsir At Taubah: 18) Sesungguhnya termasuk syi’ar Islam terbesar adalah memakmurkan masjid-masjid dengan menegakkan shalat berjama’ah. Bila masjid itu sepi atau kosong dari menegakkan shalat berjama’ah pertanda mulai rapuh dan melemahnya kebesaran dan kemulian dakwah Islam. Keutamaan Mengerjakan Shalat Berjama’ah Di Masjid Berikut ini beberapa keutamaan mendatangi shalat berjama’ah di masjid, diantaranya: 1. Mendapat naungan dari Allah subhanahu wata’ala pada hari kiamat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tujuh golongan yang Allah akan menaungi mereka pada suatu hari (kiamat) yang tidak ada naungan kecuali naungan-Nya; (diantaranya) Seorang penguasa yang adil, pemuda yang dibesarkan dalam ketaatan kepada Rabbnya, seseorang yang hatinya selalu terpaut dengan masjid.” (Muttafaqun alaihi) 2. Mendapat balasan seperti haji Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa yang keluar dari rumahnya dalam keadaan berwudhu’ untuk shalat lima waktu (secara berjama’ah di masjid), maka pahalanya seperti pahala orang berhaji yang memakai kain ihram.” (HR. Abu Dawud no. 554, dan di hasankan oleh Asy Syaikh Al Albani) 3. Menghapus dosa-dosa dan mengangkat beberapa derajat (Lihat HR. Muslim no. 251) 4. Disediakan baginya Al Jannah (Lihat H.R. Al Bukhari no. 662 dan Muslim no. 669) 5. Mendapat dua puluh lima/dua puluh tujuh derajat dari pada shalat sendirian (Lihat HR. Al Bukhari no. 645-646) Hukum Shalat Berjama’ah Para pembaca, di dalam Al Qur’anul Karim Allah subhanahu wata’ala memerintahkan untuk menegakkan shalat secara berjama’ah. Yang menunjukkan hukum shalat berjama’ah adalah perkara yang wajib (fardhu). Simaklah firman Allah subhanahu wata’ala (artinya): “Dirikanlah shalat dan keluarkan zakat dan ruku’lah bersama orang-orang yang ruku’.” (Al Baqarah: 43) Ibnu Katsir seorang ulama besar yang bermadzhab Asy Syafi’i dalam kitab tafsirnya, menyatakan bahwa ayat di atas dijadikan dalil oleh mayoritas ulama tentang kewajiban menghadiri shalat berjama’ah. Karena Allah subhanahu wata’ala memerintahkan untuk ruku’ bersama orang-orang yang ruku’, yang artinya shalatlah secara berjama’ah. (Lihat Al Mishbahul Munir, Al Baqarah: 43) Lebih tegas lagi, Allah subhanahu wata’ala memerintahkan kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya untuk tetap menegakkan shalat berjama’ah walaupun pada saat perang berkecamuk, yang dikenal dengan shalatul khauf. Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya): “Dan bila engkau menegakkan shalat ditengah-tengah mereka (para shahabatmu) maka hendaklah salah satu kelompok diantara mereka shalat bersamamu sambil membawa senjata-senjatanya. Bila mereka telah sujud maka hendaklah mundur dan datang kelompok lainnya yang belum shalat untuk shalat bersamamu sambil tetap waspada sambil membawa senjata-senjatanya”. (An Nisaa’: 102) Ayat diatas mempertegas tentang hukum shalat berjama’ah adalah fardhu ‘ain. Kalau sekiranya shalat berjama’ah hukumnya sunnah (mustahab) saja, maka keadaan mereka sangat pantas mendapatkan udzur (keringanan) dari shalat berjama’ah, dan kalau sekiranya fardhu kifayah Allah subhanahu wata’ala akan menggugurkan kewajiban shalat berjama’ah pada kelompok kedua. Namun Allah subhanahu wata’ala tetap memerintahkan kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dan seluruh shahabatnya (baik kelompok pertama dan kedua) untuk menyelenggarakan shalat berjama’ah. Demikian pula Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan umatnya untuk shalat berjama’ah. Malik bin Al Huwairits radhiallahu ‘anhu berkata: “Aku menemui Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam dalam suatu rombongan kaumku. Kami bersama beliau selama 20 malam. Beliau adalah orang yang pengasih dan lemah lembut. Tatkala beliau melihat kerinduan kami untuk pulang, beliau berkata: ‘Pulanglah kalian, beradalah ditengah-tengah mereka, ajarilah ilmu dan shalatlah. Bila telah tiba waktu shalat maka hendaklah salah satu diantara kalian adzan dan jadikanlah orang yang paling dewasa sebagai imam.” Hadits di atas menunjukkan shalat berjama’ah merupakan perintah Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam, sedangkan perintah Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam itu pada asalnya adalah wajib untuk ditunaikan. Shahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu berkata: “Pernah seorang buta menemui Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam seraya berkata: ‘Wahai Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam sesungguhnya aku tidak memiliki penuntun yang menuntunku ke masjid.’ Dia meminta keringanan dari Rasulullah untuk tidak menghadiri shalat berjama’ah, maka beliau pun memberi keringanan baginya. Namun manakala orang tadi mau pergi, beliau memanggilnya, lalu beliau shalallahu ‘alaihi wasallam berkata: ‘Apakah kamu mendengar adzan? Orang itu pun menjawab: ‘Ya.’ Akhirnya beliau shalallahu ‘alaihi wasallam pun berkata: ‘Penuhilah panggilannya (shalatlah ke masjid).’ (H.R. Muslim no. 653) Dalam riwayat Abu Dawud disebutkan orang tadi adalah Abdullah Ibnu Ummi Maktum akan tetapi dengan lafadz: “Wahai Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, sesungguhnya aku ini buta, rumahku jauh, aku memiliki penuntun namun tidak cocok denganku, (dalam riwayat lain: Sesungguhnya di Madinah banyak binatang buas dan membahayakan) apakah aku mendapat keringanan untuk shalat di rumahku? Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam menjawab: ‘Apakah kamu mendengar adzan. Dia menjawab: ‘Ya.’ Akhirnya beliau berkata: ‘Aku tidak menemukan suatu keringanan bagimu.” (H.R. Abu Dawud no. 542, 548) Cobalah perhatikan kondisi Abdullah Ibnu Ummi Maktum yang sudah tua, buta, tidak ada penuntun, dan rumahnya pun jauh dari masjid, dan banyak binatang buas, tapi ia tetap diwajibkan untuk menghadiri shalat berjama’ah. Demikian pula yang memperjelas dan mempertegas kewajiban shalat berjama’ah adalah larangan dan ancaman dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam kepada orang yang meninggalkan shalat berjama’ah tanpa udzur. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam mengancam akan membakar rumah-rumah orang yang enggan menghadiri shalat berjama’ah. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh aku ingin menyuruh untuk mengumpulkan kayu bakar lalu aku perintah untuk menegakkan shalat dan adzan, dan aku perintah seseorang untuk menjadi imam, kemudian aku keluar mendatangi mereka (kaum laki-laki yang tidak menghadiri shalat berjama’ah) lalu aku bakar rumah-rumah mereka beserta penghuninya.” (HR. Al Bukhari no. 644) Orang yang sengaja meninggalkan shalat berjama’ah tanpa udzur akan ditutup hatinya dari rahmat Allah subhanahu wata’ala. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sungguh hendaklah orang-orang itu berhenti dari meninggalkan shalat berjama’ah atau pasti Allah subhanahu wata’ala benar-benar akan menutup hati-hati mereka, kemudian pasti mereka menjadi golongan orang-orang yang lalai”. (HR. Ibnu majah no. 794, lihat Ash Shahihah no. 2967 karya Asy Syaikh Al Albani). Bahkan meninggalkan shalat berjama’ah dikhawatirkan telah tumbuh pada dirinya sifat kemunafikan. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tidak ada shalat yang paling berat bagi orang-orang munafik daripada shalat fajar (shubuh) dan isya’.” (HR. Al Bukhari no. 657) Bila seseorang enggan shalat berjama’ah shubuh atau isya’ saja dikhawatirkan munafik, bagaimana bila ia enggan mengahadiri shalat berjama’ah selain shubuh dan isya’? Padahal menghadiri shalat berjama’ah selain pada kedua waktu tersebut lebih mudah (ringan). Al Hafizh Ibnu Hajar menyatakan bahwa yang berpendapat bahwa shalat berjama’ah itu fardhu ‘ain dari kelompok Muhadditsin (para ahli hadits) pengikut Al Imam Asy Syafi’i antara lain Abu Tsaur, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Al Mundziri, dan Ibnu Hibban. (Lihatlah Fathul Bari hadits no. 644) Al Imam Al Mundziri menukilkan dari Al Imam Abu Tsaur, bahwasanya dia pernah berkata: “Bahwa shalat berjama’ah adalah wajib, tidak ada keringanan bagi siapa saja yang meningalkannya kecuali dengan udzur.” (Al Ausath fis Sunan wal Ijma’ wal Ikhtilaf 4/138). Sedangkan Al Imam Asy Syafi’i sendiri berfatwa dalam kitabnya “Al Umm” Bab Shalatul Jama’ah 1/277: “Tidaklah aku memberi keringanan bagi orang yang mempunyai kemampuan untuk melaksanakan shalat berjama’ah dan enggan untuk mendatanginya, kecuali dengan udzur (alasan yang diterima oleh syari’at –pent).” Para pembaca, ketahuilah bahwa yang diwajibkan untuk menghadiri shalat berjama’ah di masjid adalah kaum laki-laki yang sudah baligh saja. Adapun wanita muslimah, tidak ada larangan untuk shalat berjama’ah di masjid, meskipun shalat wanita di rumahnya lebih baik baginya. Akhir kata, semoga tulisan yang sederhana ini dapat membuka hati orang-orang yang selama ini jauh dari masjid, dan semakin memperkokoh orang-orang yang selalu rutin shalat berjama’ah di masjid. Amiin Yaa Rabbal ‘Alamiin.

Keseimbangan Adalah Kebahagiaan

siluet onta Kunci keberhasilan dan kebahagiaan dalam berpasangan adalah terjadinya keseimbangan. Jika berpasang-pasangan itu dilakukan dengan cara menabrak keseimbangan maka hasilnya pun adalah masalah. Jadi, tidaklah cukup kita hanya menciptakan mekanisme berpasang-pasangan. Karena banyak sekali proses berpasangan itu yang dilakukan dengan mengabaikan persyaratan mendasarnya yaitu keseimbangan. Secara alamiah, sebenarnya alam ini sudah diciptakan Allah dalam keseimbangan sempurna. Karena itu, jika kita mengikuti mekanisme alamiah saja, sebenarnya kita pasti akan berada dalam keseimbangan sempurna. Ketidak-seimbangan itu justru muncul karena campur tangan manusia yang serakah. Mementingkan diri sendiri. Berpasang-pasangan dalam keseimbangan, itulah kunci keberhasilan dan kebahagiaan. Di sana akan muncul mekanisme saling memberi dan saling menerima. Tidak ada yang ingin menjatuhkan pasangannya. Karena, menjatuhkan pasangan sama saja dengan menjatuhkan dirinya sendiri. Kehilangan pasangan berarti memunculkan ketidakseimbangan. Dampaknya akan kembali kepada dirinya sendiri. Jika kita semua memahami mekanisme sederhana ini, sebenarnya kita bakal dengan mudah mencapai keberhasilan dan kebahagiaan… Ambillah contoh: manusia berpasangan dengan alam. Jika kita menyadari bahwa kita sedang berpasangan dengan alam, maka kita harus siap untuk saling memberi dan menerima. Kalau kita berpasangan dengan alam tetapi serakah: hanya siap menerima, tidak mau memberi, maka yang muncul bukan kesuksesan dan kebahagiaan. Melainkan ketidakseimbangan yang berujung pada penderitaan dan bencana. Inilah yang sekarang sedang dialami oleh manusia di seluruh muka Bumi. Ya, kita semua sedang menuai hasil perbuatan kita sendiri. Kerusakan hutan, penambangan liar, industrialiasi yang kebablasan, dan berbagai perusakan lingkungan, maupun ekplorasi sumber daya laut yang tidak terkontrol, adalah cermin betapa kita tidak bisa berbuat seimbang dalam berpasangan dengan alam. Hasilnya bisa dipastikan, bukan kesuksesan dan kebahagiaan, melainkan bencana. Bukan pada generasi perusaknya, melainkan pada generasi berikutnya. Kita telah mewariskan masalah besar bagi kehidupan anak cucu kita. Bukan hanya alam. Jika kita berpasangan dengan orang lain dalam berbisnis, kita pun harus bisa menjaga keseimbangan. Jangan berpikir serakah, dan mengekploitasi mitra bisnis kita. Sebab, jika mitra bisnis kita ambruk, kita pun bakal ambruk. Kita harus menjaga mereka supaya bisa memberikan kelangsungan bisnis jangka panjang. Selain menerima, kita harus berupaya untuk memberi kepadanya. Pasangan kita sukses, kita juga bakal sukses. Dalam hal laki-laki dan wanita sama saja. Jika kita berpasangan dengan lawan jenis kita, maka jangan berpikir untuk mengeksploitasinya. Yang harus kita lakukan adalah menjaganya supaya ia tetap bisa eksis dan bahagia. Sungguh, jika pasangan kita bahagia, ia pun akan memberikan kebahagiaan kepada kita. Memberi kebahagiaan adalah kata kunci untuk memperoleh kebahagiaan pada giliran berikutnya. Memberikan kesuksesan kepada pasangan kita, adalah kata kunci untuk meraih kesuksesan kita sendiri pada giliran berikutnya. Sayangnya seringkali kita berpikir sebaliknya. Kita menuntut pasangan kita untuk memenuhi keinginan kita agar kita bahagia. Lantas, sebaliknya, pasangan kita juga menuntut untuk dipenuhi keinginannya agar ia bahagia. Yang terjadi kemudian adalah saling menuntut untuk diberi kebahagiaan. Tanpa pernah memperoleh kebahagiaan itu sendiri. Kata kuncinya adalah keseimbangan. Dan keseimbangan itu bukan diperoleh dengan cara menuntut, melainkan dengan cara memberikan kontribusi agar tercapai keseimbangan yang dimaksud. Kembali kepada fitrah, alam semesta sebenarnya sudah didesain oleh Allah dalam keseimbangan sempurna. QS. Al Mulk (67): 3 Yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis, kamu sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. Maka lihatlah berulang-ulang, adakah kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang? QS. Al Infithaar (82): 7 Yang telah menciptakan kamu lalu menyempurnakan kejadianmu dan menjadikanmu seimbang, Jadi, agar tercapai keseimbangan yang harus dilakukan adalah merendahkan ego kita masing-masing. Sebaliknya, meninggikan kepentingan orang lain, atau pasangan kita. Kita harus bersabar dalam hal ini. Sebagaimana bercocok tanam. Seorang petani tidak bisa langsung menuntut sawah atau kebunnya untuk memberikan hasil panen seperti yang diinginkannya. Dia harus mengolah tanah itu terlebih dahulu, memupuknya, menyiraminya, dan merawatnya dengan baik. Karena ia memberikan perhatian dan usaha kepada sawah atau kebunnya itu, maka ia lantas memperoleh ‘balasan’ atas perhatian dan usaha yang dilakukan kepada pasangannya tersebut, berupa panen. Semakin besar ia ‘memberikan’, maka semakin besar pula ia akan ‘menerima’ hasilnya. Tidak ada yang gratis di alam semesta ini. Semua kesuksesan dan keberhasilan harus didahului oleh usaha. Semakin besar usaha kita, maka semakin besar pula yang bakal kita terima. Asalkan semua itu dilakukan sesuai dengan fitrah: berpasangan dalam keseimbangan. *** Oleh Firliana Putri

Semua Diciptakan Berpasangan

pasangan_serasi Allah menciptakan segala yang ada di alam semesta ini berpasang-pasangan. Saling melengkapi. Sekaligus saling mengisi. Saling bekerjasama. Saling mengimbangi. Saling mempengaruhi satu sama lain. Dan saling menyempurnakan. Karena berpasang-pasangan itu, jika salah satunya tidak ada, yang lain bakal merasa kehilangan. Bakal timpang. Bakal memunculkan masalah. Dan berbagai persoalan lainnya. Bagaikan malam dengan siang. Atau, tangan kanan dan tangan kiri. Kaya dan miskin. Penguasa dan rakyat jelata. Orang pintar dan orang bodoh. Ulama dan awam. Dan seterusnya. Pernahkah Anda membayangkan adanya siang tanpa ada malam? Lantas apa gunanya, dan apa maknanya? Atau sebaliknya ada malam tanpa ada siang? Yang ada, bakal muncul masalah. Sehingga Allah mempertanyakan hal itu kepada kita di dalam Al-Qur’an, agar kita berpikir. QS. Al Qashash (28): 71-72 Katakanlah: “Terangkanlah kepadaku, jika Allah menjadikan untukmu malam itu terus menerus sampai hari kiamat, siapakah Tuhan selain Allah yang akan mendatangkan sinar terang kepadamu? Maka apakah kamu tidak mendengar?”Katakanlah: “Terangkanlah kepadaku, jika Allah menjadikan untukmu siang itu terus menerus sampai hari kiamat, siapakah Tuhan selain Allah yang akan mendatangkan malam kepadamu yang kamu beristirahat padanya? Maka apakah kamu tidak memperhatikan?” Siang dan malam adalah pasangan serasi yang memungkinkan terjadinya kehidupan di muka bumi. Jika Bumi hanya memiliki siang saja, maka kehidupan di muka bumi ini bakal musnah, karena terlalu panas. Permukaan Bumi bakal mendidih hanya dalam hitungan beberapa ratus jam saja. Sebaliknya, jika Bumi hanya memiliki malam, di Bumi pun tidak bakal muncul kehidupan. Sebab permukaan bumi bakal membeku. Juga hanya dalam hitungan ratusan jam saja. Pergantian siang dan malam itulah yang menyebabkan munculnya mekanisme kehidupan secara sempurna di muka bumi. Allah memperpasangkan siang dan malam demi terciptanya kehidupan manusia di dalamnya. Itulah yang digambarkan Allah dalam berbagai ayatNya. QS. Al Jaatsiyah (45): 5 dan pada pergantian malam dan siang, dan hujan yang diturunkan Allah dari langit lalu dihidupkanNya dengan air hujan itu bumi sesudah matinya; dan pada perkisaran angin terdapat pula tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berakal. Bukan hanya soal siang dan malam saja, Allah menciptakan pasangan. Kaya-miskin pun adalah sebuah pasangan yang serasi. Bisakah Anda bayangkan jika manusia di muka Bumi ini kaya semua? Siapakah yang mau melayani yang lain? Demikian juga bila miskin semua, siapa yang bakal membiayai kehidupan sosial? Maka, kehidupan sosial kita bakal berhenti karenanya. Penguasa dan rakyat, juga pasangan yang serasi. Tak mungkin ada penguasa jika tidak ada rakyat. Sebaliknya rakyat juga butuh penguasa untuk mengatur kehidupan kolektifnya. Keduanya berpasangan saling membutuhkan, dan saling melengkapi. Ulama dan awam pun saling membutuhkan. Keduanya adalah pasangan. Ulama hanya bisa disebut ulama – dan kemudian menjadi bermanfaat – karena ada orang awam. Dan orang awam pun disebut orang awam karena ada pembandingnya, sang ulama. Dan seterusnya. Dan sebagainya. Seluruh alam semesta diciptakan Allah secara berpasang-pasangan. Persis seperti dikemukakan olehNya dalam ayat berikut ini. QS. Adz Dzaariyaat (51): 49 Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat akan kebesaran Allah. Dalam kasus yang lebih khusus Allah menyebut tumbuh-tumbuhan, binatang dan manusia pun diciptakan secara berpasang-pasangan. Termasuk segala sesuatu, yang tidak kita ketahui. QS. Yasin (36): 36 Maha Suci Tuhan yang telah menciptakan berpasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui. QS. Asy Syuura (42): 11 (Dia) Pencipta langit dan bumi. Dia menjadikan bagi kamu dari jenis kamu sendiri pasangan-pasangan dan dari jenis binatang ternak pasangan-pasangan (pula), dijadikan-Nya kamu berkembang biak dengan jalan itu. Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat. Ya, manusia diciptakan Allah berpasang-pasangan. Secara fisik maupun fungsinya. Secara fisikal, manusia diciptakan sebagai pasangan laki-laki dan perempuan. Dan secara fungsi, manusia juga membutuhkan pasangan-pasangan dalam skala yang lebih luas di bidang sosial, politik, ekonomi, budaya, dan sebagainya seperti telah kita ungkap di depan. Laki-laki adalah pasangan wanita. Demikian pula sebaliknya. Jika mereka tidak berpasangan, atau memilih pasangan yang lain, maka hasilnya adalah masalah. Baik secara individual, ataupun sosial. Kenapa demikian? Sebab, keduanya memang diciptakan bersifat komplementer. Saling melengkapi dan membutuhkan. Secara fisik maupun secara fungsi. Begitulah memang fitrahnya. Begitulah desain penciptaannya. QS. An Najm (53): 45 dan bahwasanya Dialah yang menciptakan berpasang-pasangan laki-laki dan perempuan, QS. An Naba’ (78): 8 dan Kami jadikan kamu berpasang-pasangan, Siapa saja yang tidak berpasangan, ia menyalahi fitrahnya. Akan muncul kerinduan yang tidak bisa dibendung, dan jika penyalurannya salah bakal memunculkan masalah di kemudian hari. Bukan hanya dalam skala individual, dalam skala sosial pun mereka yang tidak mau saling tolong menolong dengan orang lain bakal mengalami masalah juga. Ya, semua itu karena Allah menciptakan kita dengan fitrah berpasang-pasangan sebagaimana difirmankan dalam berbagai ayatNya… *** Oleh Firliana Putri

Kisah cinta Laila Majnun

Oleh Koko Nata Kusuma Seorang teman pernah mengatakan, kriteria calon isterinya: shalihah, cerdas, kaya dan cantik. Sebuah hadist juga mengemukakan, seorang perempuan dipinang karena kecantikannya, hartanya dan keturunannya. Tapi pinanglah perempuan karena keshalihannya. Itu yang utama. Saya sepakat dengan hadist tersebut. Perempuan yang shalihah, insya Allah cerdas. Ketika seorang perempuan cerdas, harta bisa dicari. Bila harta sudah di tangan, kecantikan bisa dibeli. Pilih satu, dapat tiga. Namun, bila kita tinjau ulang, pemikiran akan kriteria calon isteri tersebut cenderung egois. Tidak memandang dari banyak sisi. Hanya memandang pernikahan dari segi manfaat untuk diri sendiri. Tidak untuk keluarga, sahabat dan lingkungan sekitar. Padahal menikah adalah penyatuan dua organisasi besar; keluarga, membentuk organisasi baru. Banyak pihak yang bisa terpengaruh dan mempengaruhi pra dan pasca pernikahan. Jika kita berkaca, mengevaluasi. Melihat, mencari kelebihan dan kekurangan diri. Niscaya kita akan menemukan berbagai fakta; kita juga punya banyak kekurangan. Lalu, pantaskan bersibuk ria dengan segala macam kriteria? Sedang diri sendiri mungkin tak bisa memenuhi segala kriteria impian oleh calon pasangan. Seseorang berharap mendapat perempuan shalihah, namun apakah dia cukup shalih untuk berdampingan dengan perempuan shalihah. Ia ingin perempuan cerdas, tapi apakah ia cukup cerdas untuk mengimbangi kecerdasannya? Ia ingin perempuan berharta, tapi seberapa banyak harta yang dapat dia berikan, untuk ‘membeli’ sang calon dari ayah-bundanya. Dan ketika ia ingin perempuan cantik, apakah ia sendiri cukup gagah, tidak jomplang, saat bersisian dengannya? Tidakkah keinginan si lelaki terlalu berlebih? Dari kisah cinta para Nabi, sahabat dan para syuhada, ada sejumlah fakta: tangan Allah selalu bermain. Kisah cinta Muhammad-Khadijah, Yusuf-Zulaikha hanyalah sebagian kecil contoh. Keikhlasan menggenapkan separuh agama pasti akan mendapat anugerah luar biasa; seorang isteri penghuni taman surga. Segala hambatan pernikahan hanyut karena ibadah yang khusu, penghambaan yang sangat padaNya. Manusia hanya berusaha, hasilnya terserah pada Yang Kuasa. Hendaknya seorang lelaki berusaha melihat dari banyak sisi, ketika datang seorang calon isteri padanya. Segala identitas standar bukan pertimbangan utama. Serahkan saja padaNya. Meminta petunjuk lewat shalat istikharah. Apakah perempuan itu orang yang tepat? Apakah si calon pasangan dunia akhirat? Hanya Allah yang tahu, kan? Lelaki manapun bisa saja berharap: Semoga calon isteri yang datang padaku adalah perempuan shalihah. Bila belum shalihah, haruslah dia mengajak, meningkatkan pemahaman agama, terus memperbaiki diri. Menghiasi rumah tangga dengan amalan wajib dan sunnah. Menggapai sakinah. Semoga perempuan yang datang padaku cerdas. Jika belum cerdas, mestilah dia yang mengajar dan belajar dari pasangannya. Mencari ilmu baru, terutama ilmu rumah tangga. Tentang harta, boleh saja meminta: datangkanlah padaku calon isteri yang berharta. Tetapi ingatlah, harta adalah cobaan, tak banyak orang yang bisa tetap rendah hati, menunduk-nunduk ketika punya harta. Lagipula harta gampang dicari. Soal kecantikan, wajar lelaki normal ingin mendapatkan isteri cantik. Tetapi bukan hanya cantik lahir, batinnya juga harus cantik. Yang menjadi pertanyaan, standar apakah yang akan digunakan untuk menilai seorang perempuan cantik. Standar dunia atau standar surga? Standar dunia menekankan kecantikan maya. Mengandalkan costmetik. Kecantikan abadi, keindahan hingga akhir hayat dan di akhirat kelak, itulah yang seharusnya dicari. Terserah cantik atau tidak kata dunia, yang penting isteri bisa selalu menarik di mata, di hati. Menjadi telaga sejuk, pohon teduh di terik siang. Standar cantik ini sifatnya personal. Orang lain memandang biasa, tapi luar biasa menurut sang suami. Perempuan manapun yang datang pada seorang lelaki, sudah sepatutnya ia melepas kacamata kekinian. Menggunakan kacamata masa depan dan kacamata banyak orang untuk menilai. Mungkin banyak keindahan calon pasangan yang sengaja disimpan olehNya. Allah ingin mengujinya, apakah dia cukup shaleh, cukup ikhlas, cukup bersabar untuk mendapatkan pasangan sejati. Pasti ada keraguan saat menimbang. Maka dari itulah perlunya mengetuk nurani sahabat, saudara, kakak, orang tua, mereka yang lebih berpengalaman. Calon suami dapat bertanya, apakah perempuan begini akan begini-begini? Ia bisa minta tepukan tangan di pundak, pelukan, dan untaian mutiara. Agar sang lelaki yakin, mantap. Semoga setelah itu, dia betul-betul siap, menggenapkan separuh agama, mengapai sakinah. Memberatkan bumi dengan generasi yang menjunjung tinggi kalimat La Illa Ha Illallah.

Calon Isteri Seorang Lelaki

Kisah cinta Laila Majnun Oleh Koko Nata Kusuma Seorang teman pernah mengatakan, kriteria calon isterinya: shalihah, cerdas, kaya dan cantik. Sebuah hadist juga mengemukakan, seorang perempuan dipinang karena kecantikannya, hartanya dan keturunannya. Tapi pinanglah perempuan karena keshalihannya. Itu yang utama. Saya sepakat dengan hadist tersebut. Perempuan yang shalihah, insya Allah cerdas. Ketika seorang perempuan cerdas, harta bisa dicari. Bila harta sudah di tangan, kecantikan bisa dibeli. Pilih satu, dapat tiga. Namun, bila kita tinjau ulang, pemikiran akan kriteria calon isteri tersebut cenderung egois. Tidak memandang dari banyak sisi. Hanya memandang pernikahan dari segi manfaat untuk diri sendiri. Tidak untuk keluarga, sahabat dan lingkungan sekitar. Padahal menikah adalah penyatuan dua organisasi besar; keluarga, membentuk organisasi baru. Banyak pihak yang bisa terpengaruh dan mempengaruhi pra dan pasca pernikahan. Jika kita berkaca, mengevaluasi. Melihat, mencari kelebihan dan kekurangan diri. Niscaya kita akan menemukan berbagai fakta; kita juga punya banyak kekurangan. Lalu, pantaskan bersibuk ria dengan segala macam kriteria? Sedang diri sendiri mungkin tak bisa memenuhi segala kriteria impian oleh calon pasangan. Seseorang berharap mendapat perempuan shalihah, namun apakah dia cukup shalih untuk berdampingan dengan perempuan shalihah. Ia ingin perempuan cerdas, tapi apakah ia cukup cerdas untuk mengimbangi kecerdasannya? Ia ingin perempuan berharta, tapi seberapa banyak harta yang dapat dia berikan, untuk ‘membeli’ sang calon dari ayah-bundanya. Dan ketika ia ingin perempuan cantik, apakah ia sendiri cukup gagah, tidak jomplang, saat bersisian dengannya? Tidakkah keinginan si lelaki terlalu berlebih? Dari kisah cinta para Nabi, sahabat dan para syuhada, ada sejumlah fakta: tangan Allah selalu bermain. Kisah cinta Muhammad-Khadijah, Yusuf-Zulaikha hanyalah sebagian kecil contoh. Keikhlasan menggenapkan separuh agama pasti akan mendapat anugerah luar biasa; seorang isteri penghuni taman surga. Segala hambatan pernikahan hanyut karena ibadah yang khusu, penghambaan yang sangat padaNya. Manusia hanya berusaha, hasilnya terserah pada Yang Kuasa. Hendaknya seorang lelaki berusaha melihat dari banyak sisi, ketika datang seorang calon isteri padanya. Segala identitas standar bukan pertimbangan utama. Serahkan saja padaNya. Meminta petunjuk lewat shalat istikharah. Apakah perempuan itu orang yang tepat? Apakah si calon pasangan dunia akhirat? Hanya Allah yang tahu, kan? Lelaki manapun bisa saja berharap: Semoga calon isteri yang datang padaku adalah perempuan shalihah. Bila belum shalihah, haruslah dia mengajak, meningkatkan pemahaman agama, terus memperbaiki diri. Menghiasi rumah tangga dengan amalan wajib dan sunnah. Menggapai sakinah. Semoga perempuan yang datang padaku cerdas. Jika belum cerdas, mestilah dia yang mengajar dan belajar dari pasangannya. Mencari ilmu baru, terutama ilmu rumah tangga. Tentang harta, boleh saja meminta: datangkanlah padaku calon isteri yang berharta. Tetapi ingatlah, harta adalah cobaan, tak banyak orang yang bisa tetap rendah hati, menunduk-nunduk ketika punya harta. Lagipula harta gampang dicari. Soal kecantikan, wajar lelaki normal ingin mendapatkan isteri cantik. Tetapi bukan hanya cantik lahir, batinnya juga harus cantik. Yang menjadi pertanyaan, standar apakah yang akan digunakan untuk menilai seorang perempuan cantik. Standar dunia atau standar surga? Standar dunia menekankan kecantikan maya. Mengandalkan costmetik. Kecantikan abadi, keindahan hingga akhir hayat dan di akhirat kelak, itulah yang seharusnya dicari. Terserah cantik atau tidak kata dunia, yang penting isteri bisa selalu menarik di mata, di hati. Menjadi telaga sejuk, pohon teduh di terik siang. Standar cantik ini sifatnya personal. Orang lain memandang biasa, tapi luar biasa menurut sang suami. Perempuan manapun yang datang pada seorang lelaki, sudah sepatutnya ia melepas kacamata kekinian. Menggunakan kacamata masa depan dan kacamata banyak orang untuk menilai. Mungkin banyak keindahan calon pasangan yang sengaja disimpan olehNya. Allah ingin mengujinya, apakah dia cukup shaleh, cukup ikhlas, cukup bersabar untuk mendapatkan pasangan sejati. Pasti ada keraguan saat menimbang. Maka dari itulah perlunya mengetuk nurani sahabat, saudara, kakak, orang tua, mereka yang lebih berpengalaman. Calon suami dapat bertanya, apakah perempuan begini akan begini-begini? Ia bisa minta tepukan tangan di pundak, pelukan, dan untaian mutiara. Agar sang lelaki yakin, mantap. Semoga setelah itu, dia betul-betul siap, menggenapkan separuh agama, mengapai sakinah. Memberatkan bumi dengan generasi yang menjunjung tinggi kalimat La Illa Ha Illallah.

Kenapa Berbeda

2Mother_son Perbedaan laki-laki dan perempuan, ternyata sudah terjadi sejak saat-saat awal penciptaan manusia di dalam rahim. Penyebab utamanya adalah terbentuknya hormon yang berbeda antara laki-laki dan perempuan. Laki-laki dikendalikan oleh hormon androgen. Sedangkan perempuan dipengaruhi oleh hormon estrogen. Hormon-hormon inilah yang bertanggungjawab terhadap terbentuknya fisik lelaki dan perempuan. Lelaki lebih berotot, sedangkan perempuan lebih lemah lembut. Lelaki berkumis dan bercambang, sedangkan perempuan tidak. Lelaki memiliki alat genital kelaki-lakian, sementara perempuan dengan genital kewanitaannya. Dan seterusnya. Tapi, darimanakah munculnya hormon-hormon itu? Dan kenapa bisa berbeda antara hormon lelaki dan hormon perempuan? Ternyata, ini disebabkan oleh perintah dari dalam genetika cikal bakal bayi. Rangkaian genetika adalah seperangkat ‘perintah’ yang terdapat di dalam inti sel-sel manusia. Pada setiap inti selnya, manusia menyimpan sekitar 5 miliar perintah. Seperti program komputer saja layaknya. Pada saat pembentukan janin di dalam rahim, sperma sang ayah dengan ovum sang ibu menyumbangkan separo sifat-sifat mereka. Lantas, bergabung menjadi sebuah sel baru yang disebut sebagai Stem sel. Cikal bakal bayi. Di dalam sel tunggal itulah perintah penciptaan mulai berjalan. Ada perintah untuk membentuk kepala, membentuk tangan, kaki, dan berbagai organ-organ tubuh manusia, secara sempurna. Maka sel tunggal itu pun membelah menjadi bertriliun-triliun sel hanya dalam waktu sekitar 9 bulan. Dan kemudian membentuk struktur dan fungsi yang sangat canggih. Proses pembedaan antara lelaki dan perempuan dimulai hari ke-13 setelah sperma dan sel telur bergabung menjadi Stem sel. Dan baru berhenti sekitar 10 hari sesudah kelahiran bayi. Apakah yang terjadi saat itu? Ternyata ada jenis gen dalam sperma lelaki yang menyebabkan si bayi terbentuk menjadi bayi laki-laki atau bayi perempuan. Namanya Gen SRY alias Sexual Determining Region. Gen ini menghasilkan substansi yang disebut TDF, dan menyebabkan tumbuhnya alat kelamin lelaki atau alat kelamin perempuan. Adalah sangat menarik, jenis kelamin bayi yang akan lahir itu ternyata ditentukan oleh sang ayah lewat kromosom Y yang terdapat pada spermanya. Sedangkan sel telur ibu bersifat pasif dalam hal ini. Kromosom ayah memiliki kode XY. Sedangkan kromosom ibu berkode XX. Jika kromosom Y dari ayah bertemu dengan kromosom X dari ibu, maka janin tersebut akan berkembang menjadi bayi lelaki. Jika kromosom X dari ayah yang bertemu dengan X dari ibu, maka janin berkembang menjadi bayi perempuan. Ini persis seperti yang diceritakan oleh Al-Qur’an, bahwa penentu jenis kelamin lelaki dan perempuan adalah sperma ayah, bukan sel telur ibu. QS. An Najm (53): 45-46 dan sesungguhnya Dialah yang menciptakan pasangan laki-laki dan perempuan, dari sperma yang dipancarkan. Ini sungguh luar biasa. Sejak belasan abad yang lalu Al-Qur’an telah menunjukkan bahwa penentu jenis kelamin pada seorang bayi ternyata adalah sperma yang dipancarkan oleh sang ayah. Dan kini hal tersebut telah dibuktikan oleh ilmu pengetahuan. Hal ini sekaligus membuktikan bahwa antara laki-laki dan perempuan memang memiliki fungsi yang berbeda tapi saling melengkapi. Tidak bisa disamakan. Jika anda ingin memiliki bayi dengan jenis kelamin tertentu, maka yang harus direkayasa adalah sperma sang ayah. Nah, sejak penentuan jenis kelamin itu terjadi, maka janin bakal menghasilkan hormon yang berbeda. Pada janin laki-laki, ia akan menghasilkan hormon androgen alias hormon lelaki. Sedangkan pada wanita akan menghasilkan hormon estrogen. Sejak sekitar hari ke 13 itu janin laki-laki menghasilkan hormon-hormon lelaki yaitu testosteron dan MIS (Mullerian duct Inhibiting Substance). Kedua jenis hormon ini akan menyebabkan otak si janin bertumbuh menjadi otak laki-laki. Testosteron berfungsi untuk membentuk alat kelamin lelaki dengan segala perlengkapannya, serta menekan terbentuknya kelenjar susu. Sedangkan MIS bertugas untuk mencegah terbentuknya alat kelamin wanita, termasuk rahim dan saluran telur. Dengan demikian, secara berangsur-angsur janin itu akan mengarah kepada bentuk lelaki dengan segala kekhasannya. Sebaliknya, janin akan menjadi perempuan jika hormon yang bekerja adalah hormon-hormon estrogen. Secara bertahap si janin akan membentuk semua kelengkapan organ tubuh wanita. Perkembangan tersebut – baik pada lelaki maupun wanita – terjadi selama pembentukan bayi di dalam rahim, sampai usia sekitar 10 hari setelah kelahiran. Jika, dalam kurun 10 hari itu terjadi pengaruh-pengaruh pada sistem organ seks mereka, atau fungsi otaknya, maka boleh jadi hal itu akan mengganggu perilaku seksualnya di kemudian hari. Sebagai contoh, jika hewan percobaan yang berkelamin jantan dikebiri sesaat setelah kelahirannya, maka di waktu-waktu selanjutnya hewan tersebut akan bertingkah laku sebagai betina. Demikian pula penyuntikan hormon estrogen pada si jantan, juga menyebabkannya bertingkah laku sebagai betina. Pada manusia pun terjadi demikian. Jika ada seorang wanita disuntik dengan hormon laki-laki, maka ia akan menunjukkan sifat-sifat yang cenderung laki-laki dan lebih agresif dibanding sebelumnya. Demikian pula sebaliknya, jika seorang lelaki disuntik dengan hormon-hormon kewanitaan, maka ia akan menunjukkan gejala-gejala fisik dan bersikap sebagai perempuan. Karena itu jangan heran, pada seorang waria, mereka mengandalkan suntikan hormon itu untuk membentuk fisik mereka agar menjadi lebih wanita. Sekaligus akan berpengaruh pada beberapa sifatnya. Namun, tentu saja, tidak bisa sempurna. Karena sudah “telanjur jadi”. *** Oleh: Firliana Putri

Tanda-Tanda Hati Yang Mati

“Diantara tanda-tanda hati yang mati, ialah tidak ada rasa sedih, apabila telah kehilangan kesempatan untuk melakukan taat kepada Allah, tidak juga menyesal atas perbuatan (kelalaian) yang telah dilakukannya.” Hati yang di dalamnya hidup keimanan akan merasa sedih apabila iman dan taat itu hilang daripadanya. Hati yang beriman itu sangat menyesal apabila melakukan maksiat. Hati sangat senang apabila ia telah melaksanakan ketaatan. Perbuatan manusia yang dikendalikan oleh hati yang beriman pasti selalu menjurus kepada ketaatan dan bergegas meninggalkan kemaksiatan, sehingga hatinya tidak gelisah oleh dosa, dan jiwanya tidak resah oleh maksiat. Kejahatan yang selalu mencari peluang mendobrak benteng hati insane, mampu menghancur-luluhkan benteng itu, apabila pertahanan iman, yang menjaga beteng hati itu lemah. Sebaliknya, benteng hati itu akan kokoh, walau dengan serbuan dan dobrakan apapun, apabila iman yang menjadi perisai di dalamnya kokoh kuat bagaikan batu karang di tengah samudra. Seorang hamba mukmin akan terus-menerus mencegah masuknya kemaksiatan dan kekotoran di dalam hatinya, membentenginya dengan amal ibadah. Ia harus merasa susah dihinggapi dosa dan gembira apabila melakukan kebaikan. Dalam sebuah Atsar. “Barangsiapa merasa senang menjalankan kebaikan, dan merasa sedih menjalankan kejahatan, maka ia adalah orang beriman.” Sebaliknya, hati yang suka dihinggapi kotoran kemaksiatan, tidak merasa sedih menjalankan perbuatan maksiat dan kotoran jiwa, maka itulah hati yang mati dan buta. Tanda Allah SWT ridha terhadap seorang hamba maka hatinya terang benderang menerima kebaikan, dan mampu menghindari maksiat. Kearifan hati itu dapat dilihat dari perbuatan manusia dalam hidupnya. Hati yang hidup dan arif nampak pada wajah pemiliknya. Cahaya wajah dan perilaku seperti mimic pada raut wajah pemilik, hati yang jauh dari dosa dan bentuk maksiat, akan tampak dalam pembicaraan. Ucapan seseorang terkias dengan jel;as dalam setiap susunan kata-katanya. Hati yang terbuka oleh iman akan menunjukkan bunyi pada kalimat yang diucapkan seseorang. Halus, jujur, ikhlas dan tidak berbelit. Sebaliknya, hati yang hitam tertuitup oleh noda akan terbias dari semua kalimat yang diucapkan, tak bisa ditutup-tutup. Itu semua adalah gambaran tentang hati orang yang beriman. Hati yang beriman adalah hati yang hidup, sedang hati yang jauh dari keimanan adalah hati yang mati. Hati yang hidup oleh keimanan menumbuhkan kebaikan dan ketaatan, hati yang tertutup dari keimanan akan menumbuhkan kejelekan dan kemaksiatan. Sahabat Ibnu Mas’ud mengatakan, “Orang yang benar-benar beriman, ketika melihat dosa-dosanya, seperti ia sedang duduk dibawah gunung. Ia kuatir kalau-kalau puncak gunung itu jatuh menimpanya. Adapun orang munafik, ia memandang dosa-dosanya seperti menghalau lalat di ujung hidungnya.” Orang beriman selalu memandang dosa dan kesalahan yang pernah ia perbuat, seperti beban yang sangat berat rasanya, ia kuatir dosa dan kesalahan akan membawa akibat yang jelek, serta menyiksa di hari akhirat. Ia sangat berhati-hati. Kehati-hatian seperti ini adalah cahaya iman yang masih bertahta dalam hatinya. Adapun orang munafik menganggap dosa-dosa dan kesalahan yang pernah diperbuatnya, dengan anggapan bahwa dosa-dosa dan kesalahan tidak mampu meruntuhkan kedudukannya atau merusak dan menganiayanya, oleh karena ia menganggap dosa sangat enteng baginya, tidak berarti apa-apa. Seperti mengusir lalat dari ujung hidungnya saja. Perasaan seperti itu adalah perasaan orang-orang munafik yang tidak mempedulikan kadar Iman dan Islam dalam membentuk pribadi manusia. Sekali lagi perasaan hati yang penuh dengan hiasan iman dalam membentuk manusia muslim sangat mempengaruhi bagi perkembangan tingkah laku manusia. Apakah ia suka kepada maksiat, atau ketaatan. Dua perbuatan yang saling bertentangan ini memang bertahta dalam diri manusia. Hanya iman dan ketaatan saja yang mampu memberi arah kepada mansuia untuk memilih perbuatan mana yang diridhai Allah dan perbuatan mana yang dimurkai-Nya. Banyak hal yang perlu dipelajari oleh anak Adam tentang hatinya sendiri. Sebab suatu saat hati bisa putih dan terang benderang, terbuka dan hidup. Disaat lain hati bisa hitam pekat tertutup rapat- rapat dan mati. Waspadalah terhadap hatimu sendiri, agar iman tetap bertahta di dalamnya, waspada pula terhadap pengaruh dari luar dirimu agar iman yang sedang bersemi di hatimu tumbuh berkembang dan selalu dalam ketaatan. Tidak terpengaruh oleh godaan setan yang selalu mencari peluang untuk mengelabui iman yang ada dalam sanubarimu. *** die *Mutu Manikam dari Kitab Al-Hikam* Syekh Ahmad Atailah Sumber: http://www.jkmhal.com/main.php?sec=content&cat=2&id=5604

kaya hati

Tanda-Tanda Hati Yang Mati “Diantara tanda-tanda hati yang mati, ialah tidak ada rasa sedih, apabila telah kehilangan kesempatan untuk melakukan taat kepada Allah, tidak juga menyesal atas perbuatan (kelalaian) yang telah dilakukannya.” Hati yang di dalamnya hidup keimanan akan merasa sedih apabila iman dan taat itu hilang daripadanya. Hati yang beriman itu sangat menyesal apabila melakukan maksiat. Hati sangat senang apabila ia telah melaksanakan ketaatan. Perbuatan manusia yang dikendalikan oleh hati yang beriman pasti selalu menjurus kepada ketaatan dan bergegas meninggalkan kemaksiatan, sehingga hatinya tidak gelisah oleh dosa, dan jiwanya tidak resah oleh maksiat. Kejahatan yang selalu mencari peluang mendobrak benteng hati insane, mampu menghancur-luluhkan benteng itu, apabila pertahanan iman, yang menjaga beteng hati itu lemah. Sebaliknya, benteng hati itu akan kokoh, walau dengan serbuan dan dobrakan apapun, apabila iman yang menjadi perisai di dalamnya kokoh kuat bagaikan batu karang di tengah samudra. Seorang hamba mukmin akan terus-menerus mencegah masuknya kemaksiatan dan kekotoran di dalam hatinya, membentenginya dengan amal ibadah. Ia harus merasa susah dihinggapi dosa dan gembira apabila melakukan kebaikan. Dalam sebuah Atsar. “Barangsiapa merasa senang menjalankan kebaikan, dan merasa sedih menjalankan kejahatan, maka ia adalah orang beriman.” Sebaliknya, hati yang suka dihinggapi kotoran kemaksiatan, tidak merasa sedih menjalankan perbuatan maksiat dan kotoran jiwa, maka itulah hati yang mati dan buta. Tanda Allah SWT ridha terhadap seorang hamba maka hatinya terang benderang menerima kebaikan, dan mampu menghindari maksiat. Kearifan hati itu dapat dilihat dari perbuatan manusia dalam hidupnya. Hati yang hidup dan arif nampak pada wajah pemiliknya. Cahaya wajah dan perilaku seperti mimic pada raut wajah pemilik, hati yang jauh dari dosa dan bentuk maksiat, akan tampak dalam pembicaraan. Ucapan seseorang terkias dengan jel;as dalam setiap susunan kata-katanya. Hati yang terbuka oleh iman akan menunjukkan bunyi pada kalimat yang diucapkan seseorang. Halus, jujur, ikhlas dan tidak berbelit. Sebaliknya, hati yang hitam tertuitup oleh noda akan terbias dari semua kalimat yang diucapkan, tak bisa ditutup-tutup. Itu semua adalah gambaran tentang hati orang yang beriman. Hati yang beriman adalah hati yang hidup, sedang hati yang jauh dari keimanan adalah hati yang mati. Hati yang hidup oleh keimanan menumbuhkan kebaikan dan ketaatan, hati yang tertutup dari keimanan akan menumbuhkan kejelekan dan kemaksiatan. Sahabat Ibnu Mas’ud mengatakan, “Orang yang benar-benar beriman, ketika melihat dosa-dosanya, seperti ia sedang duduk dibawah gunung. Ia kuatir kalau-kalau puncak gunung itu jatuh menimpanya. Adapun orang munafik, ia memandang dosa-dosanya seperti menghalau lalat di ujung hidungnya.” Orang beriman selalu memandang dosa dan kesalahan yang pernah ia perbuat, seperti beban yang sangat berat rasanya, ia kuatir dosa dan kesalahan akan membawa akibat yang jelek, serta menyiksa di hari akhirat. Ia sangat berhati-hati. Kehati-hatian seperti ini adalah cahaya iman yang masih bertahta dalam hatinya. Adapun orang munafik menganggap dosa-dosa dan kesalahan yang pernah diperbuatnya, dengan anggapan bahwa dosa-dosa dan kesalahan tidak mampu meruntuhkan kedudukannya atau merusak dan menganiayanya, oleh karena ia menganggap dosa sangat enteng baginya, tidak berarti apa-apa. Seperti mengusir lalat dari ujung hidungnya saja. Perasaan seperti itu adalah perasaan orang-orang munafik yang tidak mempedulikan kadar Iman dan Islam dalam membentuk pribadi manusia. Sekali lagi perasaan hati yang penuh dengan hiasan iman dalam membentuk manusia muslim sangat mempengaruhi bagi perkembangan tingkah laku manusia. Apakah ia suka kepada maksiat, atau ketaatan. Dua perbuatan yang saling bertentangan ini memang bertahta dalam diri manusia. Hanya iman dan ketaatan saja yang mampu memberi arah kepada mansuia untuk memilih perbuatan mana yang diridhai Allah dan perbuatan mana yang dimurkai-Nya. Banyak hal yang perlu dipelajari oleh anak Adam tentang hatinya sendiri. Sebab suatu saat hati bisa putih dan terang benderang, terbuka dan hidup. Disaat lain hati bisa hitam pekat tertutup rapat- rapat dan mati. Waspadalah terhadap hatimu sendiri, agar iman tetap bertahta di dalamnya, waspada pula terhadap pengaruh dari luar dirimu agar iman yang sedang bersemi di hatimu tumbuh berkembang dan selalu dalam ketaatan. Tidak terpengaruh oleh godaan setan yang selalu mencari peluang untuk mengelabui iman yang ada dalam sanubarimu. *** die *Mutu Manikam dari Kitab Al-Hikam* Syekh Ahmad Atailah Sumber: http://www.jkmhal.com/main.php?sec=content&cat=2&id=5604

Di Ingatkan Mungkin Lupa Di Tegur Mungkin Teledor

salaman “Sesungguhnya yang perlu diingat adalah orang yang mungkin lupa, dan sesungguhnya yang perlu ditegur adalah orang-orang yang mungkin teledor.” Mestinya yang perlu diingatkan adalah diri kita sendiri,bahwa doa itu sangat utama. Oleh karena itu, jangan lalai. Demikian juga mengingatkan dan menegur orang yang karenanya kesibukan lupa berdoa, atau berdoa dengan hati yang lalai, sembrono dan sangat teledor. Disini doa berperanan agar hamba Allah tidak asyik dalam masalah duniawi, atau juga Din, atau ibadah lainnya. Berdoa dituntut agar ibadah apapun menjadi segar, karena hubungan yang berupa dialog dengan Allah terjalin terus menerus. Orang yang lupa berdoa, hendaklah selalu diingatkan, karena berdoa merupakan salah satu adab dalam ibadah, yang menjadikan si hamba santun dengan Allah dalam bermohon dan dalam menyampikan munajahnya. Oleh karena Allah Maha Mendengar dan Maha Mengetahui, maka sudah sewajarnya dan sangat patut, manusia menyampaikan kata-kata dan kalimat-kalimat yang indah-indah, dengan bahasa yang tersusun dan santun, untuk didengar dan diketahui oleh Allah SWT. Kesopanan berdoa, bukan dengan cara kita menuntut dan memaksakan kehendak kita agar cepat-cepat diabulkan oleh Allah SWT. tidak lah sopan pula apabila kita merinci apa yang kita harapkan dari Allah SWT. Ketika Syaikh Abu Bakar Al-Wasity diminta untuk berdoa, ia berucap, “Saya kuatir jika saya berdoa kemudian Allah SWT bertanya kepadaku: “Jika doamu itu untuk meminta hak milikmu, berarti engkau telah menuduh Aku. Jika engkau memohon sesuatu yang bukan milikmu, berarti engkau telah menyalahgunakan kewajibanmu untuk memuji-Ku. Akan tetapi jika engkau ridha, maka berjalanlah segala sesuatu, seperti yang telah Aku putuskan, pada zaman azali, yaitu sejak dahulu sebelum makhluk Aku diciptakan.” Diriwayatkan pula dari Abdullah bin Munazil. Ia berkata, “Selama lima puluh tahun aku tidak berdoa ke hadirat Allah. Juga aku tidak ingin agar orang lain mendoakan untukku. Sebab segala sesuatu telah berjalan sesuai ketetapan Allah pada zaman azali, dan aku pun telah rela dan cukup dengan semuanya itu.” Berdoa dan mengharap akan anugerah Allah itu memerlukan kebersihan hati dan kemurniaan jiwa, serta kesucian niat. Doa itu pun ada syarat dan adabnya. Hamba Allah boleh meminta apa saja kepada Allah, menumpahkan seluruh harapan, perasaan, rasa syukur. rasa sedih, dan boleh berkeluh kesah kepada Allah. Allah Maha Mendengar, Maha Merasakan, Maha Pengasih dan Penyayang, Maha Adil, sangat suka mendengar suara hamba-Nya yang datang dengan kesucian jiwa dan kebagusan permohonan, memohon petunjuk dan menolong memberikan hidayah dan taufiq dalam hidup si hamba. Seperti di janjikan Allah: “Ud’uni Astajib Lakum” [mohonlah kepaa-Ku, pasti Aku perkenankan permohonanmu]. Dalam ayat lain, “Ujibu Da’watad Da’i Idza Da’ani” [Aku perkenankan permintaan hamba-Ku, apabila memohon kepada- Ku] *** die *Mutu Manikan dari Kitab Al-Hikam* Syaikh Ahmad Atailah Sumber: http://www.jkmhal.com/main.php?sec=content&cat=2&id=5602

die *Mutu Manikan dari Kitab Al-Hikam* Syaikh Ahmad Atailah

salamanDi Ingatkan Mungkin Lupa Di Tegur Mungkin Teledor “Sesungguhnya yang perlu diingat adalah orang yang mungkin lupa, dan sesungguhnya yang perlu ditegur adalah orang-orang yang mungkin teledor.” Mestinya yang perlu diingatkan adalah diri kita sendiri,bahwa doa itu sangat utama. Oleh karena itu, jangan lalai. Demikian juga mengingatkan dan menegur orang yang karenanya kesibukan lupa berdoa, atau berdoa dengan hati yang lalai, sembrono dan sangat teledor. Disini doa berperanan agar hamba Allah tidak asyik dalam masalah duniawi, atau juga Din, atau ibadah lainnya. Berdoa dituntut agar ibadah apapun menjadi segar, karena hubungan yang berupa dialog dengan Allah terjalin terus menerus. Orang yang lupa berdoa, hendaklah selalu diingatkan, karena berdoa merupakan salah satu adab dalam ibadah, yang menjadikan si hamba santun dengan Allah dalam bermohon dan dalam menyampikan munajahnya. Oleh karena Allah Maha Mendengar dan Maha Mengetahui, maka sudah sewajarnya dan sangat patut, manusia menyampaikan kata-kata dan kalimat-kalimat yang indah-indah, dengan bahasa yang tersusun dan santun, untuk didengar dan diketahui oleh Allah SWT. Kesopanan berdoa, bukan dengan cara kita menuntut dan memaksakan kehendak kita agar cepat-cepat diabulkan oleh Allah SWT. tidak lah sopan pula apabila kita merinci apa yang kita harapkan dari Allah SWT. Ketika Syaikh Abu Bakar Al-Wasity diminta untuk berdoa, ia berucap, “Saya kuatir jika saya berdoa kemudian Allah SWT bertanya kepadaku: “Jika doamu itu untuk meminta hak milikmu, berarti engkau telah menuduh Aku. Jika engkau memohon sesuatu yang bukan milikmu, berarti engkau telah menyalahgunakan kewajibanmu untuk memuji-Ku. Akan tetapi jika engkau ridha, maka berjalanlah segala sesuatu, seperti yang telah Aku putuskan, pada zaman azali, yaitu sejak dahulu sebelum makhluk Aku diciptakan.” Diriwayatkan pula dari Abdullah bin Munazil. Ia berkata, “Selama lima puluh tahun aku tidak berdoa ke hadirat Allah. Juga aku tidak ingin agar orang lain mendoakan untukku. Sebab segala sesuatu telah berjalan sesuai ketetapan Allah pada zaman azali, dan aku pun telah rela dan cukup dengan semuanya itu.” Berdoa dan mengharap akan anugerah Allah itu memerlukan kebersihan hati dan kemurniaan jiwa, serta kesucian niat. Doa itu pun ada syarat dan adabnya. Hamba Allah boleh meminta apa saja kepada Allah, menumpahkan seluruh harapan, perasaan, rasa syukur. rasa sedih, dan boleh berkeluh kesah kepada Allah. Allah Maha Mendengar, Maha Merasakan, Maha Pengasih dan Penyayang, Maha Adil, sangat suka mendengar suara hamba-Nya yang datang dengan kesucian jiwa dan kebagusan permohonan, memohon petunjuk dan menolong memberikan hidayah dan taufiq dalam hidup si hamba. Seperti di janjikan Allah: “Ud’uni Astajib Lakum” [mohonlah kepaa-Ku, pasti Aku perkenankan permohonanmu]. Dalam ayat lain, “Ujibu Da’watad Da’i Idza Da’ani” [Aku perkenankan permintaan hamba-Ku, apabila memohon kepada- Ku] *** die *Mutu Manikan dari Kitab Al-Hikam* Syaikh Ahmad Atailah Sumber: http://www.jkmhal.com/main.php?sec=content&cat=2&id=5602

Hakikat Muhasabah

syukur Oleh : Asep Sulhadi Muhasabah atau introspeksi diri adalah kata yang hakikatnya sering disalahpahami mayoritas orang. Mereka beranggapan introspeksi diri adalah mengingat perbuatan dosa yang telah dilakukan, dengan menyesali dan menangisinya. Padahal, pengertian tersebut bukanlah termasuk ke dalam muhasabah. Namun itu adalah salah satu dari syarat-syarat taubatan nasuhan (taubat yang murni). Merujuk kepada hadis Rasulullah SAW tentang hakikat muhasabah, akan kita temukan yang dimaksud dengan muhasabah adalah memaksakan diri dan menundukkannya agar taat melaksanakan semua perintah Allah SWT sebagai bekal di akhirat. Rasulullah SAW menyebut orang seperti itu dengan sebutan ‘orang yang berakal’. “Orang yang berakal adalah orang yang memaksa dirinya untuk taat kepada Allah SWT dan berbuat (mempersiapkan bekal) bagi akhirat, sedangkan orang yang lemah adalah orang yang membiarkan dirinya mengikuti hawa nafsu kemudian berangan-angan agar Allah mengampuninya.” (HR At Tirmidzi). Muhasabah menurut Rasulullah SAW sama artinya dengan jihad nafs atau jihad memerangi dan mengekang hawa nafsu. Rasulullah SAW dalam sabdanya yang lain menegaskan jihad nafs adalah salah satu jihad paling besar dan termasuk ke dalam hakikat seorang mujahid. “Mujahid adalah orang yang mengekang jiwanya untuk taat kepada perintah Allah.” (HR Ahmad). Dari pengertian di atas, jelas bahwa hakikat muhasabah bukan mengingat dosa-dosa yang telah lalu, kemudian menyesali dan menangisinya. Namun, hakikat muhasabah adalah memaksakan diri untuk taat melaksanakan semua perintah Allah SWT dan menjauhi segala larangannya. Karenanya, Umar bin Al Khatab pernah berkata, “Hisablah diri kalian sebelum kalian dihisab, karena sesungguhnya hisab pada hari kiamat adalah ringan bagi orang-orang yang menghisab dirinya di dunia.” Maksudnya adalah tundukkanlah diri kalian agar patuh melaksanakan semua perintah Allah dan menjauhi larangannya karena dengan cara inilah hisab kalian akan ringan pada hari kiamat. Marilah kita bergegas melaksanakan hakikat muhasabah yaitu dengan mengerjakan semua perintah Allah SWT dan menjauhi segala larangannya, agar di akhirat kita termasuk ke dalam golongan orang-orang yang hisabnya ringan. Wallahu a’lam bish-shawab. *** republika.co.id

Copyright @ 2013 Muslim Journey.