Minggu, 27 Oktober 2013

Membuang Sesuatu

Suatu ketika, ada seorang guru yang meminta murid-muridnya untuk membawa satu kantung plastik bening ke sekolah. Lalu, ia meminta setiap anak untuk memasukkan beberapa kentang di dalamnya. Setiap anak, diminta untuk memasukkan sebuah kentang, untuk setiap orang yang tak mau mereka maafkan. Mereka diminta untuk menuliskan nama orang itu, dan mencantumkan tanggal di dalamnya. Ada beberapa anak yang memiliki kantung yang ringan, walau banyak juga yang memiliki plastik kelebihan beban. Mereka diminta untuk membawa kantung bening itu siang dan malam. Kemana saja, harus mereka bawa, selama satu minggu penuh. Kantung itu, harus ada di sisi mereka kala tidur, diletakkan di meja saat belajar, dan ditenteng saat berjalan. Lama-kelamaan kondisi kentang itu makin tak menentu. Banyak dari kentang itu yang membusuk dan mengeluarkan bau yang tak sedap. Hampir semua anak mengeluh dengan pekerjaan ini. Akhirnya, waktu satu minggu itu selesai. Dari semua anak, agaknya banyak yang memilih untuk membuangnya daripada menyimpannya terus menerus. Pekerjaan ini, setidaknya, memberikan hikmah spiritual yang besar sekali buat anak-anak. Suka-duka saat membawa-bawa kantung yang berat, akan menjelaskan pada mereka, bahwa, membawa beban itu, sesungguhnya sangat tidak menyenangkan. Memaafkan, sebenarnya, adalah pekerjaan yang lebih mudah, daripada membawa semua beban itu kemana saja kita melangkah. Ini adalah sebuah perumpamaan yang baik tentang harga yang harus kita bayar untuk sebuah kepahitan yang kita simpan, dan dendam yang kita genggam terus menerus. Getir, berat, dan meruapkan aroma yang tak sedap, bisa jadi, itulah nilai yang akan kita dapatkan saat memendam amarah dan kebencian. Sering kita berpikir, memaafkan adalah hadiah bagi orang yang kita beri maaf. Namun, kita harus kembali belajar, bahwa, pemberian itu, adalah juga hadiah buat diri kita sendiri. Hadiah, untuk sebuah kebebasan. Kebebasan dari rasa tertekan, rasa dendam, rasa amarah, dan kedegilan hati. *** Dari Sahabat

Membawa Beban

Suatu ketika, ada seorang guru yang meminta murid-muridnya untuk membawa satu kantung plastik bening ke sekolah. Lalu, ia meminta setiap anak untuk memasukkan beberapa kentang di dalamnya. Setiap anak, diminta untuk memasukkan sebuah kentang, untuk setiap orang yang tak mau mereka maafkan. Mereka diminta untuk menuliskan nama orang itu, dan mencantumkan tanggal di dalamnya. Ada beberapa anak yang memiliki kantung yang ringan, walau banyak juga yang memiliki plastik kelebihan beban. Mereka diminta untuk membawa kantung bening itu siang dan malam. Kemana saja, harus mereka bawa, selama satu minggu penuh. Kantung itu, harus ada di sisi mereka kala tidur, diletakkan di meja saat belajar, dan ditenteng saat berjalan. Lama-kelamaan kondisi kentang itu makin tak menentu. Banyak dari kentang itu yang membusuk dan mengeluarkan bau yang tak sedap. Hampir semua anak mengeluh dengan pekerjaan ini. Akhirnya, waktu satu minggu itu selesai. Dari semua anak, agaknya banyak yang memilih untuk membuangnya daripada menyimpannya terus menerus. Pekerjaan ini, setidaknya, memberikan hikmah spiritual yang besar sekali buat anak-anak. Suka-duka saat membawa-bawa kantung yang berat, akan menjelaskan pada mereka, bahwa, membawa beban itu, sesungguhnya sangat tidak menyenangkan. Memaafkan, sebenarnya, adalah pekerjaan yang lebih mudah, daripada membawa semua beban itu kemana saja kita melangkah. Ini adalah sebuah perumpamaan yang baik tentang harga yang harus kita bayar untuk sebuah kepahitan yang kita simpan, dan dendam yang kita genggam terus menerus. Getir, berat, dan meruapkan aroma yang tak sedap, bisa jadi, itulah nilai yang akan kita dapatkan saat memendam amarah dan kebencian. Sering kita berpikir, memaafkan adalah hadiah bagi orang yang kita beri maaf. Namun, kita harus kembali belajar, bahwa, pemberian itu, adalah juga hadiah buat diri kita sendiri. Hadiah, untuk sebuah kebebasan. Kebebasan dari rasa tertekan, rasa dendam, rasa amarah, dan kedegilan hati. *** Dari Sahabat

Cerita Pendek

Suatu ketika, ada seorang guru yang meminta murid-muridnya untuk membawa satu kantung plastik bening ke sekolah. Lalu, ia meminta setiap anak untuk memasukkan beberapa kentang di dalamnya. Setiap anak, diminta untuk memasukkan sebuah kentang, untuk setiap orang yang tak mau mereka maafkan. Mereka diminta untuk menuliskan nama orang itu, dan mencantumkan tanggal di dalamnya. Ada beberapa anak yang memiliki kantung yang ringan, walau banyak juga yang memiliki plastik kelebihan beban. Mereka diminta untuk membawa kantung bening itu siang dan malam. Kemana saja, harus mereka bawa, selama satu minggu penuh. Kantung itu, harus ada di sisi mereka kala tidur, diletakkan di meja saat belajar, dan ditenteng saat berjalan. Lama-kelamaan kondisi kentang itu makin tak menentu. Banyak dari kentang itu yang membusuk dan mengeluarkan bau yang tak sedap. Hampir semua anak mengeluh dengan pekerjaan ini. Akhirnya, waktu satu minggu itu selesai. Dari semua anak, agaknya banyak yang memilih untuk membuangnya daripada menyimpannya terus menerus. Pekerjaan ini, setidaknya, memberikan hikmah spiritual yang besar sekali buat anak-anak. Suka-duka saat membawa-bawa kantung yang berat, akan menjelaskan pada mereka, bahwa, membawa beban itu, sesungguhnya sangat tidak menyenangkan. Memaafkan, sebenarnya, adalah pekerjaan yang lebih mudah, daripada membawa semua beban itu kemana saja kita melangkah. Ini adalah sebuah perumpamaan yang baik tentang harga yang harus kita bayar untuk sebuah kepahitan yang kita simpan, dan dendam yang kita genggam terus menerus. Getir, berat, dan meruapkan aroma yang tak sedap, bisa jadi, itulah nilai yang akan kita dapatkan saat memendam amarah dan kebencian. Sering kita berpikir, memaafkan adalah hadiah bagi orang yang kita beri maaf. Namun, kita harus kembali belajar, bahwa, pemberian itu, adalah juga hadiah buat diri kita sendiri. Hadiah, untuk sebuah kebebasan. Kebebasan dari rasa tertekan, rasa dendam, rasa amarah, dan kedegilan hati. *** Dari Sahabat

Gaje

Suatu ketika, ada seorang guru yang meminta murid-muridnya untuk membawa satu kantung plastik bening ke sekolah. Lalu, ia meminta setiap anak untuk memasukkan beberapa kentang di dalamnya. Setiap anak, diminta untuk memasukkan sebuah kentang, untuk setiap orang yang tak mau mereka maafkan. Mereka diminta untuk menuliskan nama orang itu, dan mencantumkan tanggal di dalamnya. Ada beberapa anak yang memiliki kantung yang ringan, walau banyak juga yang memiliki plastik kelebihan beban. Mereka diminta untuk membawa kantung bening itu siang dan malam. Kemana saja, harus mereka bawa, selama satu minggu penuh. Kantung itu, harus ada di sisi mereka kala tidur, diletakkan di meja saat belajar, dan ditenteng saat berjalan. Lama-kelamaan kondisi kentang itu makin tak menentu. Banyak dari kentang itu yang membusuk dan mengeluarkan bau yang tak sedap. Hampir semua anak mengeluh dengan pekerjaan ini. Akhirnya, waktu satu minggu itu selesai. Dari semua anak, agaknya banyak yang memilih untuk membuangnya daripada menyimpannya terus menerus. Pekerjaan ini, setidaknya, memberikan hikmah spiritual yang besar sekali buat anak-anak. Suka-duka saat membawa-bawa kantung yang berat, akan menjelaskan pada mereka, bahwa, membawa beban itu, sesungguhnya sangat tidak menyenangkan. Memaafkan, sebenarnya, adalah pekerjaan yang lebih mudah, daripada membawa semua beban itu kemana saja kita melangkah. Ini adalah sebuah perumpamaan yang baik tentang harga yang harus kita bayar untuk sebuah kepahitan yang kita simpan, dan dendam yang kita genggam terus menerus. Getir, berat, dan meruapkan aroma yang tak sedap, bisa jadi, itulah nilai yang akan kita dapatkan saat memendam amarah dan kebencian. Sering kita berpikir, memaafkan adalah hadiah bagi orang yang kita beri maaf. Namun, kita harus kembali belajar, bahwa, pemberian itu, adalah juga hadiah buat diri kita sendiri. Hadiah, untuk sebuah kebebasan. Kebebasan dari rasa tertekan, rasa dendam, rasa amarah, dan kedegilan hati. *** Dari Sahabat

siang

Suatu ketika, ada seorang guru yang meminta murid-muridnya untuk membawa satu kantung plastik bening ke sekolah. Lalu, ia meminta setiap anak untuk memasukkan beberapa kentang di dalamnya. Setiap anak, diminta untuk memasukkan sebuah kentang, untuk setiap orang yang tak mau mereka maafkan. Mereka diminta untuk menuliskan nama orang itu, dan mencantumkan tanggal di dalamnya. Ada beberapa anak yang memiliki kantung yang ringan, walau banyak juga yang memiliki plastik kelebihan beban. Mereka diminta untuk membawa kantung bening itu siang dan malam. Kemana saja, harus mereka bawa, selama satu minggu penuh. Kantung itu, harus ada di sisi mereka kala tidur, diletakkan di meja saat belajar, dan ditenteng saat berjalan. Lama-kelamaan kondisi kentang itu makin tak menentu. Banyak dari kentang itu yang membusuk dan mengeluarkan bau yang tak sedap. Hampir semua anak mengeluh dengan pekerjaan ini. Akhirnya, waktu satu minggu itu selesai. Dari semua anak, agaknya banyak yang memilih untuk membuangnya daripada menyimpannya terus menerus. Pekerjaan ini, setidaknya, memberikan hikmah spiritual yang besar sekali buat anak-anak. Suka-duka saat membawa-bawa kantung yang berat, akan menjelaskan pada mereka, bahwa, membawa beban itu, sesungguhnya sangat tidak menyenangkan. Memaafkan, sebenarnya, adalah pekerjaan yang lebih mudah, daripada membawa semua beban itu kemana saja kita melangkah. Ini adalah sebuah perumpamaan yang baik tentang harga yang harus kita bayar untuk sebuah kepahitan yang kita simpan, dan dendam yang kita genggam terus menerus. Getir, berat, dan meruapkan aroma yang tak sedap, bisa jadi, itulah nilai yang akan kita dapatkan saat memendam amarah dan kebencian. Sering kita berpikir, memaafkan adalah hadiah bagi orang yang kita beri maaf. Namun, kita harus kembali belajar, bahwa, pemberian itu, adalah juga hadiah buat diri kita sendiri. Hadiah, untuk sebuah kebebasan. Kebebasan dari rasa tertekan, rasa dendam, rasa amarah, dan kedegilan hati. *** Dari Sahabat

maafkan.

Suatu ketika, ada seorang guru yang meminta murid-muridnya untuk membawa satu kantung plastik bening ke sekolah. Lalu, ia meminta setiap anak untuk memasukkan beberapa kentang di dalamnya. Setiap anak, diminta untuk memasukkan sebuah kentang, untuk setiap orang yang tak mau mereka maafkan. Mereka diminta untuk menuliskan nama orang itu, dan mencantumkan tanggal di dalamnya. Ada beberapa anak yang memiliki kantung yang ringan, walau banyak juga yang memiliki plastik kelebihan beban. Mereka diminta untuk membawa kantung bening itu siang dan malam. Kemana saja, harus mereka bawa, selama satu minggu penuh. Kantung itu, harus ada di sisi mereka kala tidur, diletakkan di meja saat belajar, dan ditenteng saat berjalan. Lama-kelamaan kondisi kentang itu makin tak menentu. Banyak dari kentang itu yang membusuk dan mengeluarkan bau yang tak sedap. Hampir semua anak mengeluh dengan pekerjaan ini. Akhirnya, waktu satu minggu itu selesai. Dari semua anak, agaknya banyak yang memilih untuk membuangnya daripada menyimpannya terus menerus. Pekerjaan ini, setidaknya, memberikan hikmah spiritual yang besar sekali buat anak-anak. Suka-duka saat membawa-bawa kantung yang berat, akan menjelaskan pada mereka, bahwa, membawa beban itu, sesungguhnya sangat tidak menyenangkan. Memaafkan, sebenarnya, adalah pekerjaan yang lebih mudah, daripada membawa semua beban itu kemana saja kita melangkah. Ini adalah sebuah perumpamaan yang baik tentang harga yang harus kita bayar untuk sebuah kepahitan yang kita simpan, dan dendam yang kita genggam terus menerus. Getir, berat, dan meruapkan aroma yang tak sedap, bisa jadi, itulah nilai yang akan kita dapatkan saat memendam amarah dan kebencian. Sering kita berpikir, memaafkan adalah hadiah bagi orang yang kita beri maaf. Namun, kita harus kembali belajar, bahwa, pemberian itu, adalah juga hadiah buat diri kita sendiri. Hadiah, untuk sebuah kebebasan. Kebebasan dari rasa tertekan, rasa dendam, rasa amarah, dan kedegilan hati. *** Dari Sahabat

Suatu ketika,

Suatu ketika, ada seorang guru yang meminta murid-muridnya untuk membawa satu kantung plastik bening ke sekolah. Lalu, ia meminta setiap anak untuk memasukkan beberapa kentang di dalamnya. Setiap anak, diminta untuk memasukkan sebuah kentang, untuk setiap orang yang tak mau mereka maafkan. Mereka diminta untuk menuliskan nama orang itu, dan mencantumkan tanggal di dalamnya. Ada beberapa anak yang memiliki kantung yang ringan, walau banyak juga yang memiliki plastik kelebihan beban. Mereka diminta untuk membawa kantung bening itu siang dan malam. Kemana saja, harus mereka bawa, selama satu minggu penuh. Kantung itu, harus ada di sisi mereka kala tidur, diletakkan di meja saat belajar, dan ditenteng saat berjalan. Lama-kelamaan kondisi kentang itu makin tak menentu. Banyak dari kentang itu yang membusuk dan mengeluarkan bau yang tak sedap. Hampir semua anak mengeluh dengan pekerjaan ini. Akhirnya, waktu satu minggu itu selesai. Dari semua anak, agaknya banyak yang memilih untuk membuangnya daripada menyimpannya terus menerus. Pekerjaan ini, setidaknya, memberikan hikmah spiritual yang besar sekali buat anak-anak. Suka-duka saat membawa-bawa kantung yang berat, akan menjelaskan pada mereka, bahwa, membawa beban itu, sesungguhnya sangat tidak menyenangkan. Memaafkan, sebenarnya, adalah pekerjaan yang lebih mudah, daripada membawa semua beban itu kemana saja kita melangkah. Ini adalah sebuah perumpamaan yang baik tentang harga yang harus kita bayar untuk sebuah kepahitan yang kita simpan, dan dendam yang kita genggam terus menerus. Getir, berat, dan meruapkan aroma yang tak sedap, bisa jadi, itulah nilai yang akan kita dapatkan saat memendam amarah dan kebencian. Sering kita berpikir, memaafkan adalah hadiah bagi orang yang kita beri maaf. Namun, kita harus kembali belajar, bahwa, pemberian itu, adalah juga hadiah buat diri kita sendiri. Hadiah, untuk sebuah kebebasan. Kebebasan dari rasa tertekan, rasa dendam, rasa amarah, dan kedegilan hati. *** Dari Sahabat

Kentang

Suatu ketika, ada seorang guru yang meminta murid-muridnya untuk membawa satu kantung plastik bening ke sekolah. Lalu, ia meminta setiap anak untuk memasukkan beberapa kentang di dalamnya. Setiap anak, diminta untuk memasukkan sebuah kentang, untuk setiap orang yang tak mau mereka maafkan. Mereka diminta untuk menuliskan nama orang itu, dan mencantumkan tanggal di dalamnya. Ada beberapa anak yang memiliki kantung yang ringan, walau banyak juga yang memiliki plastik kelebihan beban. Mereka diminta untuk membawa kantung bening itu siang dan malam. Kemana saja, harus mereka bawa, selama satu minggu penuh. Kantung itu, harus ada di sisi mereka kala tidur, diletakkan di meja saat belajar, dan ditenteng saat berjalan. Lama-kelamaan kondisi kentang itu makin tak menentu. Banyak dari kentang itu yang membusuk dan mengeluarkan bau yang tak sedap. Hampir semua anak mengeluh dengan pekerjaan ini. Akhirnya, waktu satu minggu itu selesai. Dari semua anak, agaknya banyak yang memilih untuk membuangnya daripada menyimpannya terus menerus. Pekerjaan ini, setidaknya, memberikan hikmah spiritual yang besar sekali buat anak-anak. Suka-duka saat membawa-bawa kantung yang berat, akan menjelaskan pada mereka, bahwa, membawa beban itu, sesungguhnya sangat tidak menyenangkan. Memaafkan, sebenarnya, adalah pekerjaan yang lebih mudah, daripada membawa semua beban itu kemana saja kita melangkah. Ini adalah sebuah perumpamaan yang baik tentang harga yang harus kita bayar untuk sebuah kepahitan yang kita simpan, dan dendam yang kita genggam terus menerus. Getir, berat, dan meruapkan aroma yang tak sedap, bisa jadi, itulah nilai yang akan kita dapatkan saat memendam amarah dan kebencian. Sering kita berpikir, memaafkan adalah hadiah bagi orang yang kita beri maaf. Namun, kita harus kembali belajar, bahwa, pemberian itu, adalah juga hadiah buat diri kita sendiri. Hadiah, untuk sebuah kebebasan. Kebebasan dari rasa tertekan, rasa dendam, rasa amarah, dan kedegilan hati. *** Dari Sahabat

Balas

Kentang Suatu ketika, ada seorang guru yang meminta murid-muridnya untuk membawa satu kantung plastik bening ke sekolah. Lalu, ia meminta setiap anak untuk memasukkan beberapa kentang di dalamnya. Setiap anak, diminta untuk memasukkan sebuah kentang, untuk setiap orang yang tak mau mereka maafkan. Mereka diminta untuk menuliskan nama orang itu, dan mencantumkan tanggal di dalamnya. Ada beberapa anak yang memiliki kantung yang ringan, walau banyak juga yang memiliki plastik kelebihan beban. Mereka diminta untuk membawa kantung bening itu siang dan malam. Kemana saja, harus mereka bawa, selama satu minggu penuh. Kantung itu, harus ada di sisi mereka kala tidur, diletakkan di meja saat belajar, dan ditenteng saat berjalan. Lama-kelamaan kondisi kentang itu makin tak menentu. Banyak dari kentang itu yang membusuk dan mengeluarkan bau yang tak sedap. Hampir semua anak mengeluh dengan pekerjaan ini. Akhirnya, waktu satu minggu itu selesai. Dari semua anak, agaknya banyak yang memilih untuk membuangnya daripada menyimpannya terus menerus. Pekerjaan ini, setidaknya, memberikan hikmah spiritual yang besar sekali buat anak-anak. Suka-duka saat membawa-bawa kantung yang berat, akan menjelaskan pada mereka, bahwa, membawa beban itu, sesungguhnya sangat tidak menyenangkan. Memaafkan, sebenarnya, adalah pekerjaan yang lebih mudah, daripada membawa semua beban itu kemana saja kita melangkah. Ini adalah sebuah perumpamaan yang baik tentang harga yang harus kita bayar untuk sebuah kepahitan yang kita simpan, dan dendam yang kita genggam terus menerus. Getir, berat, dan meruapkan aroma yang tak sedap, bisa jadi, itulah nilai yang akan kita dapatkan saat memendam amarah dan kebencian. Sering kita berpikir, memaafkan adalah hadiah bagi orang yang kita beri maaf. Namun, kita harus kembali belajar, bahwa, pemberian itu, adalah juga hadiah buat diri kita sendiri. Hadiah, untuk sebuah kebebasan. Kebebasan dari rasa tertekan, rasa dendam, rasa amarah, dan kedegilan hati. *** Dari Sahabat

Maksud kami membuat blog

] Assalamualaikum Wr. Wb. Maksud kami membuat blog ini adalah sebagai wahana komunikasi bertukar pikiran dengan para blogger, menciptakan suatu media untuk berbagi artikel, cerita, tips dan lain-lain agar lebih bermanfaat sebagaimana telah diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu’anhu bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda, “Apabila seorang anak Adam meninggal, maka akan terputus amalannya kecuali tiga perkara : shadaqoh jariyah, atau ilmu yang bermanfaat, atau anak shalih yang mendoakan kepadanya”. Monggo kalau ada yang berkenan memberi masukan dengan memberikan komentar untuk saling diskusi antar para blogger, dan silahkan juga kalau ada yang ingin mengkopi artikel pada blog ini untuk di bagi ke rekan lain. Pada beberapa kesempatan kami memang kurang menanggapi komentar dari rekan-rekan, kami memberi kesempatan rekan-rekan lain yang ingin menanggapi untuk diskusi. Mungkin rekan-rekan ada yang menanyakan “Tulisan di blog ini banyak dan update terus tiap hari, darimanakah sumbernya?”. Selagi kami mampu dan dan masih diberi kesempatan umur oleh Allah, kami akan berusaha mengupdate setiap hari dengan tulisan baru yang asal tulisan tersebut antara lain dari group email Yahoo, Google dan mailing-list yang bertema islam lain kiriman dari sahabat. Jadi kalau ada rekan-rekan yang merasa ada tulisan karyanya yang dimuat di blog ini dengan tidak mencantumkan penulis sebenarnya, silahkan beri komentar, Insya Allah segera kami update dengan mencantumkan penulisnya. Jazakallah khairan katsiro, semoga bermanfaat, mohon maaf kalau ada yang salah. Wassalamualaikum Wr. Wb.

Erva Kurniawan

Erva Kurniawan Erva Kurniawan Assalamualaikum Wr. Wb. Maksud kami membuat blog ini adalah sebagai wahana komunikasi bertukar pikiran dengan para blogger, menciptakan suatu media untuk berbagi artikel, cerita, tips dan lain-lain agar lebih bermanfaat sebagaimana telah diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu’anhu bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda, “Apabila seorang anak Adam meninggal, maka akan terputus amalannya kecuali tiga perkara : shadaqoh jariyah, atau ilmu yang bermanfaat, atau anak shalih yang mendoakan kepadanya”. Monggo kalau ada yang berkenan memberi masukan dengan memberikan komentar untuk saling diskusi antar para blogger, dan silahkan juga kalau ada yang ingin mengkopi artikel pada blog ini untuk di bagi ke rekan lain. Pada beberapa kesempatan kami memang kurang menanggapi komentar dari rekan-rekan, kami memberi kesempatan rekan-rekan lain yang ingin menanggapi untuk diskusi. Mungkin rekan-rekan ada yang menanyakan “Tulisan di blog ini banyak dan update terus tiap hari, darimanakah sumbernya?”. Selagi kami mampu dan dan masih diberi kesempatan umur oleh Allah, kami akan berusaha mengupdate setiap hari dengan tulisan baru yang asal tulisan tersebut antara lain dari group email Yahoo, Google dan mailing-list yang bertema islam lain kiriman dari sahabat. Jadi kalau ada rekan-rekan yang merasa ada tulisan karyanya yang dimuat di blog ini dengan tidak mencantumkan penulis sebenarnya, silahkan beri komentar, Insya Allah segera kami update dengan mencantumkan penulisnya. Jazakallah khairan katsiro, semoga bermanfaat, mohon maaf kalau ada yang salah. Wassalamualaikum Wr. Wb.

Selasa, 08 Oktober 2013

Shalat, Bagaimanapun Tetap Kewajiban!

sujud-shalat-di-masjid Oleh Eko Hardjanto ”Setiap hari kubuka mata dari tidur di pagi hari sambil sesaat termenung, aku masih hidup. Seberapa baikkah shalatku. ” Teringat dulu ketika manusia agung itu menahan pedih di kala sakaratul maut, inilah yang diucapkannya, “Uushiikum bis shalati, wa maa malakat aimanukum, peliharalah shalat dan peliharalah orang-orang lemah di antaramu. ” Di luar pintu rumah Az-Zahra tangis mulai terdengar bersahutan, sahabat saling berpelukan. Fatimah menutupkan tangan di wajahnya, dan Ali kembali mendekatkan telinganya ke bibir Rasulullah yang mulai kebiruan. “Ummatii, ummatii, ummatiii”, “Umatku, umatku, umatku.” Dan, berakhirlah hidup manusia mulia yang dima’sum itu. Mari renungkan, betapa luar biasa amal shalat, sehingga Rasulullah masih sempat mewarisi wasiat shalat di akhir hidupnya, yaitu ketika rasa sakit tak ada yang menandingi lagi. Shalat, ia amal utama setelah syahadat, amal pertama diperhitungkan di akhirat. Shalat, ia mencerminkan kehidupan, dengannya tercegah perbuatan keji dan mungkar. Shalat, ia diperintahkan Allah langsung ketika Rasulullah Mi’raj di suatu malam. Lalu mari renungkan kisah para pejuang, di masa lalu, di padang pasir, di masa kini, di kegelapan hutan, di puncak gunung, dalam persembunyian. Shalat, ia membuat seorang luka berdiri di waktu malam, di tengah amuk pertempuran. Shalat, ia bagaikan rehat karena keringat dan darah seharian. Shalat, ia sarana mengadu dan memohon pertolongan. Shalat, ia sebuah amal para mujahid sebelum tiang gantungan Coba renungkan kisah di kala sakit di pembaringan. Shalat, ia dikerjakan dalam duduk, ataupun berbaring, tetap ia sebuah kewajiban. Dan sebuah akhir yang sangat perlu direnungkan. Shalat, ia dilakukan bagi manusia yang tak kuasa dalam diam, sesaat menuju pekuburan. Saudaraku, itulah shalat, sebuah kewajiban 17 kali ruku’ dalam sehari semalam yang seringkali tak lengkap, tanpa makna, bahkan hilang. Setiap hari kubuka mata dari tidur di pagi hari sambil sesaat termenung, aku masih hidup. Seberapa baikkah shalatku. *** Robbij’alni muqiimassholaati wamindzurriyati Ya Allah jadikan aku dan keturunanku orang-orang yang mendirikat sholat. *** Rotterdam, 18 Jumaadil Awwal 1428 H. Di balik meja kantor, hanya mendengar suara Adzan ”Islamic Finder”

Oleh : Hidayatul Karomah

kerja keras Oleh : Hidayatul Karomah Manusiawi apabila seseorang merasakan sedih atau kecewa atas sesuatu. Rasulullah SAW pun demikian, dalam doanya beliau senantiasa memohon supaya Abu Tholib, sang paman yang amat dicintai, dibukakan pintu hidayah untuk beriman dan memeluk Islam. Namun apa mau dikata, hingga ajal menjemput sang paman tidak juga mengucap syahadat sebagai ikrar seorang Muslim. Segala daya upaya telah dilakukan diiringi doa telah dipanjatkan pula, namun apa yang diharapkan tak juga menjadi kenyataan. Namun, tentu tidak tepat apabila memvonis usaha kita sia-sia. ”Katakanlah, Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS Az-Zumar [39]: 53). Di tengah upaya yang kita rasa telah maksimal, alangkah bijak apabila senantiasa menata batin menghadapi segala kemungkinan yang akan kita dapatkan. Kemungkinan terbaik maupun terburuk, kemungkinan berhasil maupun tidak berhasil. Ingatlah, ”Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui.” (QS Al Baqarah [2]: 216). Menata hati untuk bisa menerima apa yang tengah kita hadapi, akan lebih berarti daripada berlarut-larut dalam kesedihan yang bisa membuat jatuh dalam keputusasaan. Apabila seseorang telah jatuh dalam keputusasaan, pikiran menjadi kosong, hidup terasa hampa dan tak berguna lagi. Hal ini memudahkan setan menjerumuskan dalam tindakan yang sangat fatal dan berbahaya. Fatal dunia dan akhirat. Na’udzubillahi min dzalik. Dengan menerima secara legowo dan senantiasa berpikir positif akan membuka pikiran mencari solusi, mengurai berbagai masalah atau cobaan. Karena sesungguhnya berputus asa tak mendatangkan manfaat apa pun kecuali tumpukan kerugian demi kerugian. Bagaimana mengatasi keputusasaan yang telanjur datang? Ingatlah selalu Allah tidak akan menimpakan cobaan di luar kesanggupan hamba-hamba-Nya. Apa yang kita terima, mungkin terasa berat di awalnya, namun kita tak tahu hikmah apa yang terkandung di dalamnya, yang mungkin justru akan menjadi ‘penyelamat’ kita di kemudian hari. Jadi, optimislah, karena Allah selalu beserta kita. *** Republika.co.id

Putus Asa

kerja keras Oleh : Hidayatul Karomah Manusiawi apabila seseorang merasakan sedih atau kecewa atas sesuatu. Rasulullah SAW pun demikian, dalam doanya beliau senantiasa memohon supaya Abu Tholib, sang paman yang amat dicintai, dibukakan pintu hidayah untuk beriman dan memeluk Islam. Namun apa mau dikata, hingga ajal menjemput sang paman tidak juga mengucap syahadat sebagai ikrar seorang Muslim. Segala daya upaya telah dilakukan diiringi doa telah dipanjatkan pula, namun apa yang diharapkan tak juga menjadi kenyataan. Namun, tentu tidak tepat apabila memvonis usaha kita sia-sia. ”Katakanlah, Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS Az-Zumar [39]: 53). Di tengah upaya yang kita rasa telah maksimal, alangkah bijak apabila senantiasa menata batin menghadapi segala kemungkinan yang akan kita dapatkan. Kemungkinan terbaik maupun terburuk, kemungkinan berhasil maupun tidak berhasil. Ingatlah, ”Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui.” (QS Al Baqarah [2]: 216). Menata hati untuk bisa menerima apa yang tengah kita hadapi, akan lebih berarti daripada berlarut-larut dalam kesedihan yang bisa membuat jatuh dalam keputusasaan. Apabila seseorang telah jatuh dalam keputusasaan, pikiran menjadi kosong, hidup terasa hampa dan tak berguna lagi. Hal ini memudahkan setan menjerumuskan dalam tindakan yang sangat fatal dan berbahaya. Fatal dunia dan akhirat. Na’udzubillahi min dzalik. Dengan menerima secara legowo dan senantiasa berpikir positif akan membuka pikiran mencari solusi, mengurai berbagai masalah atau cobaan. Karena sesungguhnya berputus asa tak mendatangkan manfaat apa pun kecuali tumpukan kerugian demi kerugian. Bagaimana mengatasi keputusasaan yang telanjur datang? Ingatlah selalu Allah tidak akan menimpakan cobaan di luar kesanggupan hamba-hamba-Nya. Apa yang kita terima, mungkin terasa berat di awalnya, namun kita tak tahu hikmah apa yang terkandung di dalamnya, yang mungkin justru akan menjadi ‘penyelamat’ kita di kemudian hari. Jadi, optimislah, karena Allah selalu beserta kita. *** Republika.co.id

Satu Doa Ketika Gelisah Meruyak

“Hasbunallah wani’mal Wakil” (Cukuplah Allah sebagai penolong kami, dan Allah adalah sebaik-baik pelindung) (QS. Ali Imron 3:173) April kelabu di musim tak tentu. Bukankah panas yang terik dan hujan yang deras seringkali bertukar kulit di beberapa bulan terakhir ini? Pun kabar mala dan petaka di hidup keseharian kita. Semua kian akrab di telinga. Tapi April, segala ketidak menentuan itu kian berkelindan bagi beberapa persona yang dilanda musibah, yang dirundung gelisah. Dan sejumlah sahabat saya diantaranya. Sahabat pertama; Aziz, begitu kerap saya memanggilnya, nampak begitu layu di pertengahan April. Air mukanya keruh. Matanya mengabarkan hampa. Ia tidak lagi tampil ekspresif seperti dulu. Ia tiba-tiba menjadi sosok yang rapuh. Kepada saya, Aziz menuturkan pangkal soal kegundahannya itu: “Inilah minggu terberat dalam hidupku. Aku shock! Tanpa pemberitahuan sedikitpun, aku dan beberapa teman di PHK secara tiba-tiba. Aku stres, stres bagai petir di siang bolong” Saat itu, suaranya seperti menghimpun amarah, resah dan lelah dalam satu wadah, yang kemudian dihempaskan ke saya. Maka saya pun bersetia hati menjadi ‘tong sampah’-nya. Sejak itulah, saya tahu, ia menimang-nimang kegelisahan dari hari ke hari. Sahabat kedua; Dinda namanya. Cantik, solehah dan seorang mahasiswi S2 sebuah perguruan tinggi negeri yang tengah menanam rasa serupa; gelisah dan cemas yang tak berbeda. Di ujung telepon, saya mendengar isak tangisnya yang pilu seraya berkata: “A…a…ku tak sanggup lagi. Ha…tiku tak sanggup menampung penyesalan ini. Pa…dahal, pernikahan itu tinggal selangkah lagi. Tapi ia me..mutuskan komitmen karena hal se..pele…” Kala itu, getaran sesak yang merasuki dadanya juga menghujam batin saya. Setiap kata yang meluncur di bibirnya seperti kidung nestapa yang sendu. Selanjutnya, saya menerima pesan-pesan pendek (sms) kekecewaan dan kegelisahan yang belum juga musnah. Saya yakin, anda mahfum, kenapa Aziz dan Dinda akhirnya larut dalam kecamuk gelisah itu. Sebab setiap kata, mungkin, pernah mengecapnya di suatu masa. Terlebih bila gelisah itu sudah berkecambah di segala ranah. Ia, diam-diam, merasuki setiap lini kehidupan kita. Semua terasa buram dan muram. Kondisi inilah yang saya khawatirkan juga meruyak di ceruk-ceruk jiwa Aziz dan Dinda dan saudara-saudara seiman lainnya. Saya jadi teringat lirik lagu bertajuk Kembali Pada Allah yang didendangkan Opick: Bila hati gelisah / Tak tenang, tak tentram / Bila hatimu goyah / Terluka, merana / Jauhkah hati ini dari Tuhan, dari Allah? / Hilangkah dalam hati zikirku, imanku? / Hanya dengan Allah, hatimu akan menjadi tenang / Dengan mengingat Allah / Hilanglah semua kegelisahan / Cukuplah hanya Allah / Hati bergantung, berserah diri / Hasbulallah wa ni’mal wakil, ni’mal maula wani’ma nashir… Hmm. Saya tercekat di lengkingan merdu Opick tatkala ia melafalkan hasbulallah wa ni’mal wakil. Bukankah sebaris kalimat ini pernah dzikir-zikir Nabi Ibrahim ketika maut tengah mengintainya? Di negeri Babilonia hidup seorang raja yang sangat zalim. Namrud bin Kan’an bin Kusy, namanya. Seturut catatan sejarah, Namrud dan segenap rakyatnya adalah para penyembah patung. Konon, dalam lingkungan sosial seperti inilah Nabi Ibrahim as lahir dan tumbuh dewasa. Tak aneh bila ayahanda Ibrahim sendiri pun seorang penyembah berhala sejati. Kendati demikian, Ibrahim sendiri bukanlah sosok yang mudah manut dengan keadaan yang menyesatkan. Ia bukanlah tipikal anak yang takluk pada kehendak semena-mena orang tua. Di matanya, kebiasaan ayah dan rakyat Babilonia menjadikan benda mati sebagai Tuhan itu jelas-jelas sebuah kedunguan. Sesuatu yang tidak logis. Irasional, tak masuk akal. Maka ia pun berontak. Ia bertekad menghancurkan patung-patung sesembahan rakyat Babilonia tersebut. Dengan sebilah kapak tajam yang terhunus di tangannya, ia merangsek masuk ke tempat dimana berhala-berhala itu di pancangkan. Sejurus kemudian kapak Ibrahim telah berayun-ayun, melesat-lesat, menghantam patung-patung itu. Semua roboh, hancur berkeping-keping, kecuali satu patung yang paling besar. Di patung besar itulah, Ibrahim mengalungkan kapak sebagai sebuah taktik jitu menguji keyakinan rakyat Babilonia. Keesokan harinya ketika rakyat Babilonia hendak beribadah, semua tiba-tiba histeris dan terperanjat bukan kepalang melihat tuhan-tuhan mereka telah roboh dan hancur. Mereka kalap, marah dan langsung menyelidiki siapa gerangan pelakunya. Setelah mengorek informasi ke sana sini, sosok Ibrahim pun terkuak sebagai tersangka. Ia pun disidang di pengadilan babilonia. Kepada para hakim Ibrahim berkilah. Ia tidak mengakui bahwa tindakan anarki itu perbuatannya. Ia berdalih bahwa patung yang paling besar itulah yang berbuat: “Bukankah kapak itu tergantung di lehernya? Tanyalah padanya!” mereka tercengang dan meradang atas jawaban Ibrahim. “Mana bisa patung itu bicara?” jawab mereka kesal. Akhirnya Ibrahim berkata kembali: “Tidak bisa? Lalu kenapa kalian menyembahnya? Setan telah memperdaya kalian. Kembalilah kepada Allah! Dialah Tuhan Yang Maha Esa.” Namun orang-orang yang sesat memang tidak mau mengakui kekalahannya. Akhirnya, para hakim tetap memutuskan vonis mati Ibrahim dengan cara membakarnya hidup-hidup. Kita tahu, akhirnya, Ibrahim pun tak bisa melawan. Ia rela raganya dijilati api, tapi ia tidak ridho jiwanya terlalap si jago merah. Maka Ibrahim pun berpasrah diri. Pada detik-detik genting inilah, mulutnya dan hatinya basah oleh lafal ‘hasbunallah wa ni’mal wakil’ (cukup Allah sebagai penolongku, dan Allah adalah sebaik-baik pelindung). Dan Allah mendengar doa lirih Ibrahim, hingga satu firman pun turun: “Hai api, jadilah dingin! Jadilah keselamatan bagi Ibrahim!” dan api itu akhirnya tak mampu melahap tubuh Ibrahim. Ia selamat. Ia menumpas segala kegundahannya bersama kekuatan Illahi yang bersemayam di qolbunya. Ibrahim tak sendiri. Junjungan kita, Rasulullah saw, pun mendedahkan doa senada tatkala sebagian tentaranya bersikap setengah hati menghadapi pasukan musyrik yang senjata dan bekal perangnya lebih bayak. Ternyata kata hasbunallah wa ni’mal wakil yang ditutur Rasul Muhammad saw itu langsung menepis rasa takut pasukannya sehingga mereka mengucap hal yang serupa dan iman mereka pun kian berkembang. Begitulah, Ibrahim dan Muhammad akhirnya mampu menggerus kecemasan jiwanya bersama energi Ilahi hasbunallah wa ni’mal wakil. Wajar bila keajaiban sukses pun berpihak di sisi mereka. Padahal kita tahu, rasa gelisah mereka adalah bahaya maha dahsyat bernama maut. Dan kita, umatnya, juga Aziz dan Dinda, kadangkala menggelepar sekarat bila sejumlah harapan duniawi kita punah sebelum waktunya. Kita tiba-tiba menjadi manusia yang paling malang. Sepi, sendiri dan hidup dalam jeri. Tidak hanya itu, kita -acapkali- menggugat Sang Kholiq: ‘Ya Allah, kenapa hal ini terjadi dalam hidupku?’ Pada titik inilah, saya pikir, lirik Opick di atas terasa menggedor-gedor nurani: Bila hati mulai goyah/ terluka, merana/ Jauhkah hati ni dari Tuhan, dari Allah? Kegelisahan Negatif atau Kegelisahan Positif Heidegger, seorang filsuf Jerman abad 20, suatu kali pernah menta’rifkan kegelisahan atau kecemasan (angst) sebagai berikut: suasana hati dasariah yang menyingkap ketakberumahan dan ketakberkampunghalaman manusia. Bila kondisi ini bermukim di dalam hati kita, maka itu sebuah proses tersingkapnya kesadaran diri kita dari ketakberumahannya kita di dunia ini. Oleh karena itu, rasa ini sejatinya semakin meneguhkan ihwal kefanaan manusia, ketidakkekalan dirinya di jagad dunia ini. Tak aneh, bila Allah mencap ciptaan-Nya ini sebagai makhluk yang berselimut keluh kesah dan gelisah. “Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah…” (QS. Al-Ma’aarij: 19) Sayangnya, suasana gelisah ini seringkali menggiring manusia pada keyakinan bahwa rumah dan kampung halaman yang hakiki itu berada di dunia. Hal ini, bisa dilihat dari kenestapaan yang umumnya membuat kita larut dalam kecemasan dan kegelisahan yang parah. Saya menyebut kondisi ini dengan kegelisahan negatif, sejenis kegelisahan yang meringkus harapan dan semangat hidup seseorang untuk berani melangkah lagi. Pada titik ini, lazimnya orang akan cenderung tidak kreatif, mengeluh, marah-marah, dan bertindak impulsif. Jiwanya tidak tenang, dan hatinya rusuh oleh segenap peristiwa pahit yang menimpanya. Ia lupa bahwa kemalangan, kekecewaan dan kegelisahan ini adalah kesementaraan. Karena itulah, saya sepakat ketika filsuf Epictetus mengatakan bahwa manusia tidak diganggu oleh peristiwa-peristiwa, melainkan oleh pandangannya sendiri tentang peristiwa-peristiwa itu. Begitu pula dengan manusia yang mengelola kegelisahannya secara negatif. Ia melihat peristiwa yang tengah menyusahkannya itu semisal kutukan, selayak kelam yang berjelaga. Sebaliknya, bila seseorang melihat kejadihan pahit yang melandanya itu sebagai sebuah berkah, seumpama anugerah tersembunyi yang suatu saat akan menyembul tiba-tiba, maka ialah sosok yang saya sebut sebagai manusia yang memiliki kegelisahan positif. Pada titik ini, seseorang berusaha mengoptimalkan energi kreatifnya semaksimal mungkin. Ia berpikir positif, tidak mengeluh, dan tidak larut dalam kecemasan, dalam keterpurukan. Ia, menurut sufi Hazrat Salahedin Ali Nader Angha, adalah karakter yang senantiasa menganggap peristiwa-peristiwa pahit sebagai sesuatu yang tidak “buruk”, melainkan lebih merupakan pengalaman-pengalaman yang darinya kita bisa belajar untuk lebih dewasa. Ia percaya bahwa Sang Pemilik Maha, Allah azza wajalla, tengah menyingkap tabir mukjizat-Nya, ia yakin bahwa Allah sedang menyibak sendi-sendi rahasia-Nya hingga ia menemukan sebuah pintu keberkahan yang tidak disangka-sangkanya. Pada momen seperti inilah ia berusaha menjadi manusia yang mengaktualisasikan dirinya sebesar mungkin. Ia menggali potensi, bakat, dan kapasitas kemampuan yang selama ini dimilikinya. Bahkan seorang psikolog bernama Abraham Maslow dalam buku Motivation and Personality-nya menganggap orang-orang seperti inilah yang layak disebut orang-orang sukses. Dan saya yakin, kegelisahan positif ini tidak tumbuh menyelubungi jiwa seseorang begitu saja. Ia bukan sesuatu yang taken for granted. Ia hadir ketika keyakinan hati seorang hamba menerbitkan Allah di sisinya. Ia tempatkan sang Rahman sebagai Sahabat dan Penolong sejatinya seraya terus melafal-lafal hasbunallah wa ni’mal wakil di hatinya. Barangkali, tak aneh bila Simone Weil, intelektual kiri yang berubah menjadi seorang mistikus abad 20, berkata begini, “Bagi manusia spiritual (beriman), kemalangan menimbulkan perasaan bahwa Tuhan telah meninggalkan anda. Tetapi, jika Anda bisa bangkit dari kegelapan, iman Anda akan jadi lebih dalam dan Anda akan merasakan salah satu misteri besar kehidupan.” Semoga saja Aziz, Dinda, dan siapapun yang tengah dilanda gelisah tengah bersiap menyongsong datu misteri besar itu. Amin. *** Firliana Putri

Semua Manusia itu Sama

Dalam pandangan Islam, semua manusia itu sama, tidak dibeda-bedakan karena status social, harta, tahta, keturunan, atau latar belakang pendidikan. Manusia yang paling mulia derajatnya di sisi Allah adalah yang paling tinggi kadar ketaqwaannya diantara mereka. Syekh ‘Abdul Qadir Jailani berkata: bila engkau bertemu dengan seseorang, hendaknya engkau memandang dia itu lebih utama daripada dirimu dan katakan dalam hatimu: “boleh jadi dia lebih baik di sisi Allah daripadadiriku ini dan lebih tinggi derajatnya.” Jika dia orang yang lebih kecil dan lebih muda umurnya daripada dirimu, maka katakanlah dalam hatimu: “boleh jadi orang kecil ini tidak banyak berbuat dosa kepada Allah,sedangkan aku adalah orang yang telah banyak berbuat dosa,maka tidak diragukan lagi kalau derajat dirinya jauh lebih baik daripada diriku.” Bila dia orang yang lebih tua, hendaknya engkau mengatakan dalam hati: “orang ini telah lebih dahulu beribadah kepada Allah daripada diriku.” Jikadia orang yang “Alim,maka katakana dalamhatimu: “orang ini telah diberi oleh Allah sesuatu yang tidak bisa kuraih, telah mendapatkan apa yang tidak bisa aku dapatkan, telah mengetahui apa yang tidak aku ketahui, dan telah mengamalkan ilmunya.” Bila dia orang yang bodoh, maka katakana dalam hatimu: “orang ini durhaka kepada Allah karena kebodohannya, sedangkan aku durhaka kepada-Nya, padahal aku mengetahuinya. Aku tidak tahu dengan apa umurku akan Allah akhiri atau dengan apa umur orang bodoh itu akan Allah akhiri (apakah dengan husnul khatimah atau dengan su’ul khatimah) Bila dia orang kafir, maka katakana dalam hatimu: “aku tidak tahu, bisa jadi dia akan masuk Islam,lalu menyudahi seluruh amalannya dengan amal shalih, dan bisa jadi aku terjerumus menjadi kafir, lalu meyudahi seluruh amalanku dengan amal buruk.” *** Sumber: Nashaihul Ibad, Imam Nawawi Al-Bantani

Sumber: Nashaihul Ibad, Imam Nawawi Al-Bantani

Dalam pandangan Islam, semua manusia itu sama, tidak dibeda-bedakan karena status social, harta, tahta, keturunan, atau latar belakang pendidikan. Manusia yang paling mulia derajatnya di sisi Allah adalah yang paling tinggi kadar ketaqwaannya diantara mereka. Syekh ‘Abdul Qadir Jailani berkata: bila engkau bertemu dengan seseorang, hendaknya engkau memandang dia itu lebih utama daripada dirimu dan katakan dalam hatimu: “boleh jadi dia lebih baik di sisi Allah daripadadiriku ini dan lebih tinggi derajatnya.” Jika dia orang yang lebih kecil dan lebih muda umurnya daripada dirimu, maka katakanlah dalam hatimu: “boleh jadi orang kecil ini tidak banyak berbuat dosa kepada Allah,sedangkan aku adalah orang yang telah banyak berbuat dosa,maka tidak diragukan lagi kalau derajat dirinya jauh lebih baik daripada diriku.” Bila dia orang yang lebih tua, hendaknya engkau mengatakan dalam hati: “orang ini telah lebih dahulu beribadah kepada Allah daripada diriku.” Jikadia orang yang “Alim,maka katakana dalamhatimu: “orang ini telah diberi oleh Allah sesuatu yang tidak bisa kuraih, telah mendapatkan apa yang tidak bisa aku dapatkan, telah mengetahui apa yang tidak aku ketahui, dan telah mengamalkan ilmunya.” Bila dia orang yang bodoh, maka katakana dalam hatimu: “orang ini durhaka kepada Allah karena kebodohannya, sedangkan aku durhaka kepada-Nya, padahal aku mengetahuinya. Aku tidak tahu dengan apa umurku akan Allah akhiri atau dengan apa umur orang bodoh itu akan Allah akhiri (apakah dengan husnul khatimah atau dengan su’ul khatimah) Bila dia orang kafir, maka katakana dalam hatimu: “aku tidak tahu, bisa jadi dia akan masuk Islam,lalu menyudahi seluruh amalannya dengan amal shalih, dan bisa jadi aku terjerumus menjadi kafir, lalu meyudahi seluruh amalanku dengan amal buruk.” *** Sumber: Nashaihul Ibad, Imam Nawawi Al-Bantani

Membiasakan Anak Putri Menggunakan Hijab yang Sesuai Syariat

Anak putri yang masih kecil harus dibiasakan merasa malu dan mencintai hijab. Selagi anak putri itu sudah mencapai umur lima tahun, maka dia dibiasakan mengenakan celana panjang dibawah gaunnya dan mengenakan kerudung yang menutup seluruh kepalanya dengan warna yang lembut, sesuai dengan usianya. Tabiat anak kecil adalah suka meniru. Jika dia melihat ibunya mengikuti hijab menurut syariat, maka dia pun akan merasa senang mengenakan hijab seperti yang dikenakan ibunya. Sehingga selagi sudah mencapai usia baligh, dia sudah terbiasa mengenakan pakaian penutup, sesuai dengan syariat. [Wahai Nabi! Katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin, "Hendaklah mereka menutupkan jilbabnya keseluruh tubuh mereka." Yang demikian itu agar mereka lebih mudah untuk dikenali, sehingga mereka tidak diganggu. Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang (Al-Ahzab:59)] Sumber: Ensiklopedi Wanita Muslimah Haya Binti Mubarok Al-Barik\

Sumber: Ensiklopedi Wanita Muslimah

doaMembiasakan Anak Putri Menggunakan Hijab yang Sesuai Syariat Anak putri yang masih kecil harus dibiasakan merasa malu dan mencintai hijab. Selagi anak putri itu sudah mencapai umur lima tahun, maka dia dibiasakan mengenakan celana panjang dibawah gaunnya dan mengenakan kerudung yang menutup seluruh kepalanya dengan warna yang lembut, sesuai dengan usianya. Tabiat anak kecil adalah suka meniru. Jika dia melihat ibunya mengikuti hijab menurut syariat, maka dia pun akan merasa senang mengenakan hijab seperti yang dikenakan ibunya. Sehingga selagi sudah mencapai usia baligh, dia sudah terbiasa mengenakan pakaian penutup, sesuai dengan syariat. [Wahai Nabi! Katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin, "Hendaklah mereka menutupkan jilbabnya keseluruh tubuh mereka." Yang demikian itu agar mereka lebih mudah untuk dikenali, sehingga mereka tidak diganggu. Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang (Al-Ahzab:59)] Sumber: Ensiklopedi Wanita Muslimah Haya Binti Mubarok Al-Barik\

5 Prinsip Komunikasi dengan Anak

1. Jangan pernah menganggap anak bodoh atau tak tahu apa-apa Berbeda dengan anggapan banyak orang dewasa ini, anak yang paling kecil sekalipun sebenarnya sudah menyerap banyak hal dari lingkungannya. Ia melihat, merasakan, mendengar dan memikirkan (meski masih dalam kapasitas yang terbatas). Kadangkadang bahkan dengan kepekaan yang luar biasa. Expect more they’ll give you more. 2. Hatihati dengan kemampuan orang tua menghipnotis anak Prinsip programming komputer garbage in garbage out (sampah yang masuk, sampah yang keluar), benar-benar terbukti dalam pendidikan anak. Kalau orang tua ingin memperoleh output yang berkualitas, masukkanlah bahan-bahan mentah yang baik. Pujian, penghargaan, katakata manis, omelan yang proporsional dan tidak rnerendahkan harga diri anak; semuanya menentukan output itu. Sebaliknya, celaan dan hinaan akan menghipnotis anak bahwa dirinya tak berharga sampai ia dewasa. 3. Dibutuhkan kelenturan dan fleksibilitas Kadang-kadang, orang tua perlu menjadi ‘pelindung dan pahlawan’, kadang-kadang sebagai teman dan sahabat, dan pada waktunya nanti sebagai seorang ayah/ibu yang realistis menerima berbagai kondisi dan keterbatasan. Tentu dibutuhkan kepekaan untuk itu. Misalnya pada saat sulit, orang tua justru berhenti bersikap sebagai sahabat dan lebih bertindak sebagai pelindung. Sesudah konfrontasi atau krisis, tidak peduli berapapun usianya, anak membutuhkan suasana terlindungi. Ia, dan juga kita, membutuhkan ‘ruang’, yang lebih tenang; kita bisa memberinya dengan bersikap sebagai pelindung. Misalnya, dengan berbicara tenang, pandang mata anak. Jangan hujani dengan terlalu banyak pertanyaan. Syukur alhamdulillah, kebanyakan orang tua sebenarnya sudah dibekali naluri untuk bertindak peka seperti ini, meski semata-mata mengandalkan naluri pun tak terlalu tepat. 4. Semaksimal mungkin menyediakan tiga unsur penting komunikasi yakni; waktu, sentuhan dan bicara Tiga faktor utama inilah yang menentukan apakah komunikasi orang tua dan anak akan sehat, apakah anak akan tumbuh kembang normal dan sehat serta siap memasuki dunia luas. Apakah ia akan tumbuh menjadi anak yang penuh percaya diri dan siap menghadapi tantangan, atau anak penakut dan rendah diri. Bahkan ayah/ibu yang sangat sibuk pun sebenarnya bisa tetap menyediakan waktu yang cukup bagi anak mereka. Ada teknik-teknik untuk itu; misalnya, dengan memberi anak beberapa menit perhatian yang tak terbagi dalam sehari. Semua orang memiliki yang disebut skin hunger for langer; rasa lapar akan sentuhan. Tak perduli berapa usia kita, kita membutuhkan kasih sayang yang diwujudkan dengan sentuhan. Ini bisa berarti, cubit, sayang, gelitikan, gulat atau ciuman. Selama masih bisa, sebanyakbanyaknya sentuhan itu pada anak; tidak akan lama lagi mereka sudah akan merasa malu dicium oleh ayah/ibu mereka. Namun, jangan berhenti karena mereka malu dicium; sentuh dengan cara lain, misalnya merangkul bahu atau menggelitik. Pada dasamya, mereka tetap membutuhkannya. Akan halnya bicara, banyak hal yang bisa diperhatikan. Misalnya saja, orang tua dapat berbicara pada anak lewat mendongeng, bacaan ayat suci, nyanyian, ‘goda menggoda’, humor dan lelucon. Berbicara adalah juga mendengar dengan baik dan peka; membaca raut muka serta pengungkapan isi hati. Berbicara adalah memuji, mengomeli, sesekali mengancam, menyatakan cinta, menyatakan kesedihan dan kekecewaan. Berbicara adalah menghargai pendapat anak, memintanya menghargai pendapat orang lain. Berbicara bicara serius, ringan ataupun sambil lalu. 5. Menggunakan kreativitas Tidak semua ketrampilan dan pengetahuan diperoleh seketika. Karena itu dibutuhkan keberanian mencoba dan kreativitas. Dua faktor Bantu orang tua menghadapi berbagai tantangan yang mungkin tak bisa dicegah, seperti godaan dari luar rumah. Contoh ketika seorang ibu terpaksa mengambil keputusan pindah dari lingkungan yang sekarang, karena dirasa tak lagi aman bagi perkembangan anakanaknya. Bagaimana bila orang tua merasa ‘terlanjur’ salah dalam berkomunikasi dengan anak? Alhamdulillah, Allah Ta’ala melengkapi manusia dengan kemampuan melupakan suatu pengalaman buruk dan bangkit kembali dari kegagalannya. Karena itu, selamat mencoba resep berkomunikasi dengan anak ini. Semoga Allah memudahkan langkah kita semua. Dikutip dari Makalah Shanti W:E: Soekanto pada Seminar Sehari Komunikasi Efektif Orang Tua dan Anak.

Dikutip dari Makalah Shanti W:E: Soekanto pada Seminar Sehari Komunikasi Efektif Orang Tua dan Anak.

ibu dan anak lelakinya berdoa5 Prinsip Komunikasi dengan Anak 1. Jangan pernah menganggap anak bodoh atau tak tahu apa-apa Berbeda dengan anggapan banyak orang dewasa ini, anak yang paling kecil sekalipun sebenarnya sudah menyerap banyak hal dari lingkungannya. Ia melihat, merasakan, mendengar dan memikirkan (meski masih dalam kapasitas yang terbatas). Kadangkadang bahkan dengan kepekaan yang luar biasa. Expect more they’ll give you more. 2. Hatihati dengan kemampuan orang tua menghipnotis anak Prinsip programming komputer garbage in garbage out (sampah yang masuk, sampah yang keluar), benar-benar terbukti dalam pendidikan anak. Kalau orang tua ingin memperoleh output yang berkualitas, masukkanlah bahan-bahan mentah yang baik. Pujian, penghargaan, katakata manis, omelan yang proporsional dan tidak rnerendahkan harga diri anak; semuanya menentukan output itu. Sebaliknya, celaan dan hinaan akan menghipnotis anak bahwa dirinya tak berharga sampai ia dewasa. 3. Dibutuhkan kelenturan dan fleksibilitas Kadang-kadang, orang tua perlu menjadi ‘pelindung dan pahlawan’, kadang-kadang sebagai teman dan sahabat, dan pada waktunya nanti sebagai seorang ayah/ibu yang realistis menerima berbagai kondisi dan keterbatasan. Tentu dibutuhkan kepekaan untuk itu. Misalnya pada saat sulit, orang tua justru berhenti bersikap sebagai sahabat dan lebih bertindak sebagai pelindung. Sesudah konfrontasi atau krisis, tidak peduli berapapun usianya, anak membutuhkan suasana terlindungi. Ia, dan juga kita, membutuhkan ‘ruang’, yang lebih tenang; kita bisa memberinya dengan bersikap sebagai pelindung. Misalnya, dengan berbicara tenang, pandang mata anak. Jangan hujani dengan terlalu banyak pertanyaan. Syukur alhamdulillah, kebanyakan orang tua sebenarnya sudah dibekali naluri untuk bertindak peka seperti ini, meski semata-mata mengandalkan naluri pun tak terlalu tepat. 4. Semaksimal mungkin menyediakan tiga unsur penting komunikasi yakni; waktu, sentuhan dan bicara Tiga faktor utama inilah yang menentukan apakah komunikasi orang tua dan anak akan sehat, apakah anak akan tumbuh kembang normal dan sehat serta siap memasuki dunia luas. Apakah ia akan tumbuh menjadi anak yang penuh percaya diri dan siap menghadapi tantangan, atau anak penakut dan rendah diri. Bahkan ayah/ibu yang sangat sibuk pun sebenarnya bisa tetap menyediakan waktu yang cukup bagi anak mereka. Ada teknik-teknik untuk itu; misalnya, dengan memberi anak beberapa menit perhatian yang tak terbagi dalam sehari. Semua orang memiliki yang disebut skin hunger for langer; rasa lapar akan sentuhan. Tak perduli berapa usia kita, kita membutuhkan kasih sayang yang diwujudkan dengan sentuhan. Ini bisa berarti, cubit, sayang, gelitikan, gulat atau ciuman. Selama masih bisa, sebanyakbanyaknya sentuhan itu pada anak; tidak akan lama lagi mereka sudah akan merasa malu dicium oleh ayah/ibu mereka. Namun, jangan berhenti karena mereka malu dicium; sentuh dengan cara lain, misalnya merangkul bahu atau menggelitik. Pada dasamya, mereka tetap membutuhkannya. Akan halnya bicara, banyak hal yang bisa diperhatikan. Misalnya saja, orang tua dapat berbicara pada anak lewat mendongeng, bacaan ayat suci, nyanyian, ‘goda menggoda’, humor dan lelucon. Berbicara adalah juga mendengar dengan baik dan peka; membaca raut muka serta pengungkapan isi hati. Berbicara adalah memuji, mengomeli, sesekali mengancam, menyatakan cinta, menyatakan kesedihan dan kekecewaan. Berbicara adalah menghargai pendapat anak, memintanya menghargai pendapat orang lain. Berbicara bicara serius, ringan ataupun sambil lalu. 5. Menggunakan kreativitas Tidak semua ketrampilan dan pengetahuan diperoleh seketika. Karena itu dibutuhkan keberanian mencoba dan kreativitas. Dua faktor Bantu orang tua menghadapi berbagai tantangan yang mungkin tak bisa dicegah, seperti godaan dari luar rumah. Contoh ketika seorang ibu terpaksa mengambil keputusan pindah dari lingkungan yang sekarang, karena dirasa tak lagi aman bagi perkembangan anakanaknya. Bagaimana bila orang tua merasa ‘terlanjur’ salah dalam berkomunikasi dengan anak? Alhamdulillah, Allah Ta’ala melengkapi manusia dengan kemampuan melupakan suatu pengalaman buruk dan bangkit kembali dari kegagalannya. Karena itu, selamat mencoba resep berkomunikasi dengan anak ini. Semoga Allah memudahkan langkah kita semua. Dikutip dari Makalah Shanti W:E: Soekanto pada Seminar Sehari Komunikasi Efektif Orang Tua dan Anak.

Sholat setahun = Sholat 27 Tahun

sholat-subuh Perintah Allah SWT: “Hai orang-orang beriman, bila diseru untuk menunaikan sholat pada hari Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual-beli (pekerjaan)… “ (QS Al-Jumu’ah 62:9). Sholat setahun = Sholat 27 Tahun? Sekedar membandingkan, sholat sendiri dengan sholat berjamaah Islam sangat menganjurkan umatnya untuk melakukan shalat berjamaah. Rasul saw banyak menyebutkan keistimewaan shalat berjamaah. Antara lain, “Sholat berjamaah lebih utama dari solat sendirian, dengan dua puluh kali derajat.” (Muttafaq alaih) Sholat berjamaah juga hukumnya sunnah muakkad, yakni sunnah yang sangat ditekankan untuk dilakukan, bagi kaum laki-laki. Imam Maliki dan Hambali, bahkan mengatakan sholat berjamaah hukumnya wajib. Mari kita renungkan perbedaan pahala yang kita peroleh antara shalat berjamaah dengan shalat seorang diri berdasarkan hadits Rasulullah yang disebutkan di atas. Solat sendirian = 1 derajat x 365 hari (setahun) x 5 waktu = 1.825 derajat Solat berjamaah = 27 derajat x 365 hari (setahun) x 5 waktu = 49.275 derajat Jelas di sini, sembahyang sendirian selama 27 tahun, derajatnya sama dengan setahun solat berjama’ah. Bayangkan pahala ganda yang Allah karuniakan bagi orang yang mengerjakan sholat berjamaah. Ini sebenarnya memberi gambaran kepada kita betapa hikmah perintah Allah dan RasulNYa tersembunyi, yang terkadang tidak kita sadari, atau kita sepelekan. Karena itu, mari tunaikan perintah dan perintah Allah SWT dan Rasulullah saw dalam sholat berjamaah. Anda ingin beramal shaleh, tolong kirimkan artitel ini kepada sesama muslim, baik keluarga, sahabat dan siapapun yang anda kenal. *** Wassalam Imam Puji Hartono

Imam Puji Hartono

sholat-subuhSholat setahun = Sholat 27 Tahun Perintah Allah SWT: “Hai orang-orang beriman, bila diseru untuk menunaikan sholat pada hari Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual-beli (pekerjaan)… “ (QS Al-Jumu’ah 62:9). Sholat setahun = Sholat 27 Tahun? Sekedar membandingkan, sholat sendiri dengan sholat berjamaah Islam sangat menganjurkan umatnya untuk melakukan shalat berjamaah. Rasul saw banyak menyebutkan keistimewaan shalat berjamaah. Antara lain, “Sholat berjamaah lebih utama dari solat sendirian, dengan dua puluh kali derajat.” (Muttafaq alaih) Sholat berjamaah juga hukumnya sunnah muakkad, yakni sunnah yang sangat ditekankan untuk dilakukan, bagi kaum laki-laki. Imam Maliki dan Hambali, bahkan mengatakan sholat berjamaah hukumnya wajib. Mari kita renungkan perbedaan pahala yang kita peroleh antara shalat berjamaah dengan shalat seorang diri berdasarkan hadits Rasulullah yang disebutkan di atas. Solat sendirian = 1 derajat x 365 hari (setahun) x 5 waktu = 1.825 derajat Solat berjamaah = 27 derajat x 365 hari (setahun) x 5 waktu = 49.275 derajat Jelas di sini, sembahyang sendirian selama 27 tahun, derajatnya sama dengan setahun solat berjama’ah. Bayangkan pahala ganda yang Allah karuniakan bagi orang yang mengerjakan sholat berjamaah. Ini sebenarnya memberi gambaran kepada kita betapa hikmah perintah Allah dan RasulNYa tersembunyi, yang terkadang tidak kita sadari, atau kita sepelekan. Karena itu, mari tunaikan perintah dan perintah Allah SWT dan Rasulullah saw dalam sholat berjamaah. Anda ingin beramal shaleh, tolong kirimkan artitel ini kepada sesama muslim, baik keluarga, sahabat dan siapapun yang anda kenal. *** Wassalam Imam Puji Hartono

Antara Pria dan Wanita

Kali ini kita membahas bagaimana Islam memandang kedudukan pria dan wanita. Apakah benar seperti anggapan para orientalis Barat bahwa Islam memandang rendah wanita dan pria lebih dominan ?, benarkah Islam menentang emansipasi wanita ?. Islam memandang pria dan wanita dalam 3 hal, yaitu: 1. Sebagai manusia Sebagai seorang manusia Islam tidak membedakan pria dan wanita, masing-masing tidak berbeda dari segi aspek kemanusiaannya dan tidak saling melebihi satu sama lain. Masing-masing mempunyai kebutuhan jasmani seperti: rasa lapar, dahaga, buang hajat, dll. Juga mempunyai naluri seperti: mempertahankan hidup, seksual dan beragama serta sama-sama mempunyai akal. Dengan adanya kesamaan pria dan wanita sebagai manusia ini maka Islam juga memberikan aturan yang sama, seperti: sama-sama wajib shalat, zakat, puasa, haji, da’wah, aturan halal-haram, aturan akhlaq, dll. Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh mengerjakan yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat kepada Allah dan rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah, sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana (At-Taubah 71). 2. Sifat kelelakian dan kewanitaan Dalam hal sifat ini masing-masing mempunyai fitrah masing-masing dan saling berbeda, wanita mengalami haid, melahirkan, menyusui, mengasuh anak, dst, sedangkan pria sebagai pemimpin keluarga, mencari nafkah, dst. Untuk itu Islam juga mempunyai aturan yang berbeda diantara keduanya, seperti dalam hal warisan, kesaksian, menutup aurat, pemberian mahar, mencari nafkah, pemimpin keluarga, jihad, dll. 3. Sebagai bagian dari anggota masyarakat a. Interaksi pria dan wanita Interaksi yang melahirkan kenikmatan. Hal ini merupakan interaksi yang haram karena tidak sesuai dengan syariah, misalnya: pacaran, selingkuh, berkhalwat, dll. Interaksi yang melestarikan keturunan. Seharusnya semua interaksi antara pria dan wanita untuk melestarikan keturunan (gharizah an-na’u), artinya harus melalui ikatan pernikahan terlebih dahulu Islam dalam memandang adanya interaksi pria dan wanita mengakui adanya naluri seksual dan hal itu alamiah serta merupakah fitrah manusia, naluri tersebut tidak perlu dijauhi/dicegah karena Islam tidak mengenal kerahiban (seperti: pendeta Budha atau pastor Katolik). Hanya saja naluri tersebut harus disalurkan semata-mata untuk melestarikan keturunan (pernikahan). Diantara tanda-tanda kekuasan-Nya adalah Dia menciptakan untuk kalian istri-istri dari diri kalian sendiri supaya kalian cenderung dan merasa tenteram kepadanya. Diapun menjadikan diantara kalian rasa kasih sayang (Ar-Rum 21). b. Interaksi mu’amalah Dalam hal mu’amalah (seperti dalam bidang pendidikan, kesehatan, industri, perdagangan, pertanian, dll) maka Islam memberikan kelonggaran berinteraksi antara pria dan wanita. Dalam hal interaksi yang melahirkan kenikmatan (haram) dengan interaksi mu’amalah (halal) kadang sangat tipis perbedaannya. Misalnya seorang atasan (pria) berduaan dengan bawahannya (wanita) dalam berdiskusi masalah pekerjaan (mu’amalah atau halal) akan tetapi pada saat atasan mulai tertarik dengan kecantikan atau keseksian bawahannya maka hal ini sudah haram dan harus segera dicegah atau dipisahkan. Untuk itu kita perlu sangat berhati-hati dalam hal interaksi yang melahirkan kenikmatan ini dan harus dihindarkan. Dilain hal dokter kandungan (laki-laki) dibolehkan melihat aurat wanita yang paling pribadi sekalipun karena itu termasuk mu’amalah (bidang kesehatan), walaupun memang dianjurkan sebaiknya berkonsultasi dengan dokter kandungan wanita. Dari uraian diatas diharapkan pembaca mendapat gambaran betapa Islam sangat menghargai kehomatan wanita karena dengan cara demikianlah kehidupan ini menjadi nikmat dunia dan akhirat. Coba kita lihat, bukankah semua kerusakan yang terjadi selama ini karena begitu longgar dan bebasnya interaksi pria dan wanita ini. Pria dan wanita bebas bertemu kapanpun, dimanapun dan dengan siapapun, akibatnya timbullah kehamilan diluar nikah, aborsi, perkosaan, pelacuran, perselingkuhan, dll. *** Dari Sahabat

etika-suami-isteri

Antara Pria dan Wanita Kali ini kita membahas bagaimana Islam memandang kedudukan pria dan wanita. Apakah benar seperti anggapan para orientalis Barat bahwa Islam memandang rendah wanita dan pria lebih dominan ?, benarkah Islam menentang emansipasi wanita ?. Islam memandang pria dan wanita dalam 3 hal, yaitu: 1. Sebagai manusia Sebagai seorang manusia Islam tidak membedakan pria dan wanita, masing-masing tidak berbeda dari segi aspek kemanusiaannya dan tidak saling melebihi satu sama lain. Masing-masing mempunyai kebutuhan jasmani seperti: rasa lapar, dahaga, buang hajat, dll. Juga mempunyai naluri seperti: mempertahankan hidup, seksual dan beragama serta sama-sama mempunyai akal. Dengan adanya kesamaan pria dan wanita sebagai manusia ini maka Islam juga memberikan aturan yang sama, seperti: sama-sama wajib shalat, zakat, puasa, haji, da’wah, aturan halal-haram, aturan akhlaq, dll. Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh mengerjakan yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat kepada Allah dan rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah, sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana (At-Taubah 71). 2. Sifat kelelakian dan kewanitaan Dalam hal sifat ini masing-masing mempunyai fitrah masing-masing dan saling berbeda, wanita mengalami haid, melahirkan, menyusui, mengasuh anak, dst, sedangkan pria sebagai pemimpin keluarga, mencari nafkah, dst. Untuk itu Islam juga mempunyai aturan yang berbeda diantara keduanya, seperti dalam hal warisan, kesaksian, menutup aurat, pemberian mahar, mencari nafkah, pemimpin keluarga, jihad, dll. 3. Sebagai bagian dari anggota masyarakat a. Interaksi pria dan wanita Interaksi yang melahirkan kenikmatan. Hal ini merupakan interaksi yang haram karena tidak sesuai dengan syariah, misalnya: pacaran, selingkuh, berkhalwat, dll. Interaksi yang melestarikan keturunan. Seharusnya semua interaksi antara pria dan wanita untuk melestarikan keturunan (gharizah an-na’u), artinya harus melalui ikatan pernikahan terlebih dahulu Islam dalam memandang adanya interaksi pria dan wanita mengakui adanya naluri seksual dan hal itu alamiah serta merupakah fitrah manusia, naluri tersebut tidak perlu dijauhi/dicegah karena Islam tidak mengenal kerahiban (seperti: pendeta Budha atau pastor Katolik). Hanya saja naluri tersebut harus disalurkan semata-mata untuk melestarikan keturunan (pernikahan). Diantara tanda-tanda kekuasan-Nya adalah Dia menciptakan untuk kalian istri-istri dari diri kalian sendiri supaya kalian cenderung dan merasa tenteram kepadanya. Diapun menjadikan diantara kalian rasa kasih sayang (Ar-Rum 21). b. Interaksi mu’amalah Dalam hal mu’amalah (seperti dalam bidang pendidikan, kesehatan, industri, perdagangan, pertanian, dll) maka Islam memberikan kelonggaran berinteraksi antara pria dan wanita. Dalam hal interaksi yang melahirkan kenikmatan (haram) dengan interaksi mu’amalah (halal) kadang sangat tipis perbedaannya. Misalnya seorang atasan (pria) berduaan dengan bawahannya (wanita) dalam berdiskusi masalah pekerjaan (mu’amalah atau halal) akan tetapi pada saat atasan mulai tertarik dengan kecantikan atau keseksian bawahannya maka hal ini sudah haram dan harus segera dicegah atau dipisahkan. Untuk itu kita perlu sangat berhati-hati dalam hal interaksi yang melahirkan kenikmatan ini dan harus dihindarkan. Dilain hal dokter kandungan (laki-laki) dibolehkan melihat aurat wanita yang paling pribadi sekalipun karena itu termasuk mu’amalah (bidang kesehatan), walaupun memang dianjurkan sebaiknya berkonsultasi dengan dokter kandungan wanita. Dari uraian diatas diharapkan pembaca mendapat gambaran betapa Islam sangat menghargai kehomatan wanita karena dengan cara demikianlah kehidupan ini menjadi nikmat dunia dan akhirat. Coba kita lihat, bukankah semua kerusakan yang terjadi selama ini karena begitu longgar dan bebasnya interaksi pria dan wanita ini. Pria dan wanita bebas bertemu kapanpun, dimanapun dan dengan siapapun, akibatnya timbullah kehamilan diluar nikah, aborsi, perkosaan, pelacuran, perselingkuhan, dll. *** Dari Sahabat

etika-suami-isteri

Antara Pria dan Wanita Kali ini kita membahas bagaimana Islam memandang kedudukan pria dan wanita. Apakah benar seperti anggapan para orientalis Barat bahwa Islam memandang rendah wanita dan pria lebih dominan ?, benarkah Islam menentang emansipasi wanita ?. Islam memandang pria dan wanita dalam 3 hal, yaitu: 1. Sebagai manusia Sebagai seorang manusia Islam tidak membedakan pria dan wanita, masing-masing tidak berbeda dari segi aspek kemanusiaannya dan tidak saling melebihi satu sama lain. Masing-masing mempunyai kebutuhan jasmani seperti: rasa lapar, dahaga, buang hajat, dll. Juga mempunyai naluri seperti: mempertahankan hidup, seksual dan beragama serta sama-sama mempunyai akal. Dengan adanya kesamaan pria dan wanita sebagai manusia ini maka Islam juga memberikan aturan yang sama, seperti: sama-sama wajib shalat, zakat, puasa, haji, da’wah, aturan halal-haram, aturan akhlaq, dll. Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh mengerjakan yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat kepada Allah dan rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah, sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana (At-Taubah 71). 2. Sifat kelelakian dan kewanitaan Dalam hal sifat ini masing-masing mempunyai fitrah masing-masing dan saling berbeda, wanita mengalami haid, melahirkan, menyusui, mengasuh anak, dst, sedangkan pria sebagai pemimpin keluarga, mencari nafkah, dst. Untuk itu Islam juga mempunyai aturan yang berbeda diantara keduanya, seperti dalam hal warisan, kesaksian, menutup aurat, pemberian mahar, mencari nafkah, pemimpin keluarga, jihad, dll. 3. Sebagai bagian dari anggota masyarakat a. Interaksi pria dan wanita Interaksi yang melahirkan kenikmatan. Hal ini merupakan interaksi yang haram karena tidak sesuai dengan syariah, misalnya: pacaran, selingkuh, berkhalwat, dll. Interaksi yang melestarikan keturunan. Seharusnya semua interaksi antara pria dan wanita untuk melestarikan keturunan (gharizah an-na’u), artinya harus melalui ikatan pernikahan terlebih dahulu Islam dalam memandang adanya interaksi pria dan wanita mengakui adanya naluri seksual dan hal itu alamiah serta merupakah fitrah manusia, naluri tersebut tidak perlu dijauhi/dicegah karena Islam tidak mengenal kerahiban (seperti: pendeta Budha atau pastor Katolik). Hanya saja naluri tersebut harus disalurkan semata-mata untuk melestarikan keturunan (pernikahan). Diantara tanda-tanda kekuasan-Nya adalah Dia menciptakan untuk kalian istri-istri dari diri kalian sendiri supaya kalian cenderung dan merasa tenteram kepadanya. Diapun menjadikan diantara kalian rasa kasih sayang (Ar-Rum 21). b. Interaksi mu’amalah Dalam hal mu’amalah (seperti dalam bidang pendidikan, kesehatan, industri, perdagangan, pertanian, dll) maka Islam memberikan kelonggaran berinteraksi antara pria dan wanita. Dalam hal interaksi yang melahirkan kenikmatan (haram) dengan interaksi mu’amalah (halal) kadang sangat tipis perbedaannya. Misalnya seorang atasan (pria) berduaan dengan bawahannya (wanita) dalam berdiskusi masalah pekerjaan (mu’amalah atau halal) akan tetapi pada saat atasan mulai tertarik dengan kecantikan atau keseksian bawahannya maka hal ini sudah haram dan harus segera dicegah atau dipisahkan. Untuk itu kita perlu sangat berhati-hati dalam hal interaksi yang melahirkan kenikmatan ini dan harus dihindarkan. Dilain hal dokter kandungan (laki-laki) dibolehkan melihat aurat wanita yang paling pribadi sekalipun karena itu termasuk mu’amalah (bidang kesehatan), walaupun memang dianjurkan sebaiknya berkonsultasi dengan dokter kandungan wanita. Dari uraian diatas diharapkan pembaca mendapat gambaran betapa Islam sangat menghargai kehomatan wanita karena dengan cara demikianlah kehidupan ini menjadi nikmat dunia dan akhirat. Coba kita lihat, bukankah semua kerusakan yang terjadi selama ini karena begitu longgar dan bebasnya interaksi pria dan wanita ini. Pria dan wanita bebas bertemu kapanpun, dimanapun dan dengan siapapun, akibatnya timbullah kehamilan diluar nikah, aborsi, perkosaan, pelacuran, perselingkuhan, dll. *** Dari Sahabat

Hikmah Pengharaman Babi

Hal ini penting untuk diketahui, terutama oleh pemuda-pemuda kita yang sering pergi ke negara-negara Eropa dan Amerika, yang menjadikan daging babi sebagai makanan pokok dalam hidangan mereka. Dalam kesempatan ini, saya sitir kembali kejadian yang berlangsung ketika Imam Muhammad Abduh mengunjungi Perancis. Mereka bertanya kepadanya mengenai rahasia diharamkannya babi dalam Islam. Mereka bertanya kepada Imam, “Kalian (umat Islam) mengatakan bahwa babi haram, karena ia memakan sampah yang mengandung cacing pita, mikroba-mikroba dan bakteri-bakteri lainnya. Hal itu sekarang ini sudah tidak ada. Karena babi diternak dalam peternakan modern, dengan kebersihan terjamin, dan proses sterilisasi yang mencukupi. Bagaimana mungkin babi-babi itu terjangkit cacing pita atau bakteri dan mikroba lainnya.?” Imam Muhammad Abduh tidak langsung menjawab pertanyaan itu, dan dengan kecerdikannya beliau meminta mereka untuk menghadirkan dua ekor ayam jantan beserta satu ayam betina, dan dua ekor babi jantan beserta satu babi betina. Mengetahui hal itu, mereka bertanya, “Untuk apa semua ini?” Beliau menjawab, “Penuhi apa yang saya pinta, maka akan saya perlihatkan suatu rahasia.” Mereka memenuhi apa yang beliau pinta. Kemudian beliau memerintahkan agar melepas dua ekor ayam jantan bersama satu ekor ayam betina dalam satu kandang. Kedua ayam jantan itu berkelahi dan saling membunuh, untuk mendapatkan ayam betina bagi dirinya sendiri, hingga salah satu dari keduanya hampir tewas. Beliau lalu memerintahkan agar mengurung kedua ayam tersebut. Kemudian beliau memerintahkan mereka untuk melepas dua ekor babi jantan bersama dengan satu babi betina. Kali ini mereka menyaksikan keanehan. Babi jantan yang satu membantu temannya sesama jantan untuk melaksanakan hajat seksualnnya, tanpa rasa cemburu, tanpa harga diri atau keinginan untuk menjaga babi betina dari temannya. Selanjutnya beliau berkata, “Saudara-saudara, daging babi membunuh ‘ghirah’ orang yang memakannya. Itulah yang terjadi pada kalian. Seorang lelaki dari kalian melihat isterinya bersama lelaki lain, dan membiarkannya tanpa rasa cemburu, dan seorang bapak di antara kalian melihat anak perempuannya bersama lelaki asing, dan kalian membiarkannya tanpa rasa cemburu, dan was-was, karena daging babi itu menularkan sifat-sifatnya pada orang yang memakannya.” *** Dari buku: Hidangan Islami: Ulasan Komprehensif Berdasarkan Syari`at dan Sains Modern Penulis: Syeikh Fauzi Muhammad Abu Zaid Penerjemah: Abdul Hayyie al Kattani

babi

Hikmah Pengharaman Babi Hal ini penting untuk diketahui, terutama oleh pemuda-pemuda kita yang sering pergi ke negara-negara Eropa dan Amerika, yang menjadikan daging babi sebagai makanan pokok dalam hidangan mereka. Dalam kesempatan ini, saya sitir kembali kejadian yang berlangsung ketika Imam Muhammad Abduh mengunjungi Perancis. Mereka bertanya kepadanya mengenai rahasia diharamkannya babi dalam Islam. Mereka bertanya kepada Imam, “Kalian (umat Islam) mengatakan bahwa babi haram, karena ia memakan sampah yang mengandung cacing pita, mikroba-mikroba dan bakteri-bakteri lainnya. Hal itu sekarang ini sudah tidak ada. Karena babi diternak dalam peternakan modern, dengan kebersihan terjamin, dan proses sterilisasi yang mencukupi. Bagaimana mungkin babi-babi itu terjangkit cacing pita atau bakteri dan mikroba lainnya.?” Imam Muhammad Abduh tidak langsung menjawab pertanyaan itu, dan dengan kecerdikannya beliau meminta mereka untuk menghadirkan dua ekor ayam jantan beserta satu ayam betina, dan dua ekor babi jantan beserta satu babi betina. Mengetahui hal itu, mereka bertanya, “Untuk apa semua ini?” Beliau menjawab, “Penuhi apa yang saya pinta, maka akan saya perlihatkan suatu rahasia.” Mereka memenuhi apa yang beliau pinta. Kemudian beliau memerintahkan agar melepas dua ekor ayam jantan bersama satu ekor ayam betina dalam satu kandang. Kedua ayam jantan itu berkelahi dan saling membunuh, untuk mendapatkan ayam betina bagi dirinya sendiri, hingga salah satu dari keduanya hampir tewas. Beliau lalu memerintahkan agar mengurung kedua ayam tersebut. Kemudian beliau memerintahkan mereka untuk melepas dua ekor babi jantan bersama dengan satu babi betina. Kali ini mereka menyaksikan keanehan. Babi jantan yang satu membantu temannya sesama jantan untuk melaksanakan hajat seksualnnya, tanpa rasa cemburu, tanpa harga diri atau keinginan untuk menjaga babi betina dari temannya. Selanjutnya beliau berkata, “Saudara-saudara, daging babi membunuh ‘ghirah’ orang yang memakannya. Itulah yang terjadi pada kalian. Seorang lelaki dari kalian melihat isterinya bersama lelaki lain, dan membiarkannya tanpa rasa cemburu, dan seorang bapak di antara kalian melihat anak perempuannya bersama lelaki asing, dan kalian membiarkannya tanpa rasa cemburu, dan was-was, karena daging babi itu menularkan sifat-sifatnya pada orang yang memakannya.” *** Dari buku: Hidangan Islami: Ulasan Komprehensif Berdasarkan Syari`at dan Sains Modern Penulis: Syeikh Fauzi Muhammad Abu Zaid Penerjemah: Abdul Hayyie al Kattani

babi

Hikmah Pengharaman Babi Hal ini penting untuk diketahui, terutama oleh pemuda-pemuda kita yang sering pergi ke negara-negara Eropa dan Amerika, yang menjadikan daging babi sebagai makanan pokok dalam hidangan mereka. Dalam kesempatan ini, saya sitir kembali kejadian yang berlangsung ketika Imam Muhammad Abduh mengunjungi Perancis. Mereka bertanya kepadanya mengenai rahasia diharamkannya babi dalam Islam. Mereka bertanya kepada Imam, “Kalian (umat Islam) mengatakan bahwa babi haram, karena ia memakan sampah yang mengandung cacing pita, mikroba-mikroba dan bakteri-bakteri lainnya. Hal itu sekarang ini sudah tidak ada. Karena babi diternak dalam peternakan modern, dengan kebersihan terjamin, dan proses sterilisasi yang mencukupi. Bagaimana mungkin babi-babi itu terjangkit cacing pita atau bakteri dan mikroba lainnya.?” Imam Muhammad Abduh tidak langsung menjawab pertanyaan itu, dan dengan kecerdikannya beliau meminta mereka untuk menghadirkan dua ekor ayam jantan beserta satu ayam betina, dan dua ekor babi jantan beserta satu babi betina. Mengetahui hal itu, mereka bertanya, “Untuk apa semua ini?” Beliau menjawab, “Penuhi apa yang saya pinta, maka akan saya perlihatkan suatu rahasia.” Mereka memenuhi apa yang beliau pinta. Kemudian beliau memerintahkan agar melepas dua ekor ayam jantan bersama satu ekor ayam betina dalam satu kandang. Kedua ayam jantan itu berkelahi dan saling membunuh, untuk mendapatkan ayam betina bagi dirinya sendiri, hingga salah satu dari keduanya hampir tewas. Beliau lalu memerintahkan agar mengurung kedua ayam tersebut. Kemudian beliau memerintahkan mereka untuk melepas dua ekor babi jantan bersama dengan satu babi betina. Kali ini mereka menyaksikan keanehan. Babi jantan yang satu membantu temannya sesama jantan untuk melaksanakan hajat seksualnnya, tanpa rasa cemburu, tanpa harga diri atau keinginan untuk menjaga babi betina dari temannya. Selanjutnya beliau berkata, “Saudara-saudara, daging babi membunuh ‘ghirah’ orang yang memakannya. Itulah yang terjadi pada kalian. Seorang lelaki dari kalian melihat isterinya bersama lelaki lain, dan membiarkannya tanpa rasa cemburu, dan seorang bapak di antara kalian melihat anak perempuannya bersama lelaki asing, dan kalian membiarkannya tanpa rasa cemburu, dan was-was, karena daging babi itu menularkan sifat-sifatnya pada orang yang memakannya.” *** Dari buku: Hidangan Islami: Ulasan Komprehensif Berdasarkan Syari`at dan Sains Modern Penulis: Syeikh Fauzi Muhammad Abu Zaid Penerjemah: Abdul Hayyie al Kattani

Dari buku: Hidangan Islami: Ulasan Komprehensif Berdasarkan Syari`at dan Sains Modern

babiHikmah Pengharaman Babi Hal ini penting untuk diketahui, terutama oleh pemuda-pemuda kita yang sering pergi ke negara-negara Eropa dan Amerika, yang menjadikan daging babi sebagai makanan pokok dalam hidangan mereka. Dalam kesempatan ini, saya sitir kembali kejadian yang berlangsung ketika Imam Muhammad Abduh mengunjungi Perancis. Mereka bertanya kepadanya mengenai rahasia diharamkannya babi dalam Islam. Mereka bertanya kepada Imam, “Kalian (umat Islam) mengatakan bahwa babi haram, karena ia memakan sampah yang mengandung cacing pita, mikroba-mikroba dan bakteri-bakteri lainnya. Hal itu sekarang ini sudah tidak ada. Karena babi diternak dalam peternakan modern, dengan kebersihan terjamin, dan proses sterilisasi yang mencukupi. Bagaimana mungkin babi-babi itu terjangkit cacing pita atau bakteri dan mikroba lainnya.?” Imam Muhammad Abduh tidak langsung menjawab pertanyaan itu, dan dengan kecerdikannya beliau meminta mereka untuk menghadirkan dua ekor ayam jantan beserta satu ayam betina, dan dua ekor babi jantan beserta satu babi betina. Mengetahui hal itu, mereka bertanya, “Untuk apa semua ini?” Beliau menjawab, “Penuhi apa yang saya pinta, maka akan saya perlihatkan suatu rahasia.” Mereka memenuhi apa yang beliau pinta. Kemudian beliau memerintahkan agar melepas dua ekor ayam jantan bersama satu ekor ayam betina dalam satu kandang. Kedua ayam jantan itu berkelahi dan saling membunuh, untuk mendapatkan ayam betina bagi dirinya sendiri, hingga salah satu dari keduanya hampir tewas. Beliau lalu memerintahkan agar mengurung kedua ayam tersebut. Kemudian beliau memerintahkan mereka untuk melepas dua ekor babi jantan bersama dengan satu babi betina. Kali ini mereka menyaksikan keanehan. Babi jantan yang satu membantu temannya sesama jantan untuk melaksanakan hajat seksualnnya, tanpa rasa cemburu, tanpa harga diri atau keinginan untuk menjaga babi betina dari temannya. Selanjutnya beliau berkata, “Saudara-saudara, daging babi membunuh ‘ghirah’ orang yang memakannya. Itulah yang terjadi pada kalian. Seorang lelaki dari kalian melihat isterinya bersama lelaki lain, dan membiarkannya tanpa rasa cemburu, dan seorang bapak di antara kalian melihat anak perempuannya bersama lelaki asing, dan kalian membiarkannya tanpa rasa cemburu, dan was-was, karena daging babi itu menularkan sifat-sifatnya pada orang yang memakannya.” *** Dari buku: Hidangan Islami: Ulasan Komprehensif Berdasarkan Syari`at dan Sains Modern Penulis: Syeikh Fauzi Muhammad Abu Zaid Penerjemah: Abdul Hayyie al Kattani

Penulis: Syeikh Fauzi Muhammad Abu Zaid

babiHikmah Pengharaman Babi Hal ini penting untuk diketahui, terutama oleh pemuda-pemuda kita yang sering pergi ke negara-negara Eropa dan Amerika, yang menjadikan daging babi sebagai makanan pokok dalam hidangan mereka. Dalam kesempatan ini, saya sitir kembali kejadian yang berlangsung ketika Imam Muhammad Abduh mengunjungi Perancis. Mereka bertanya kepadanya mengenai rahasia diharamkannya babi dalam Islam. Mereka bertanya kepada Imam, “Kalian (umat Islam) mengatakan bahwa babi haram, karena ia memakan sampah yang mengandung cacing pita, mikroba-mikroba dan bakteri-bakteri lainnya. Hal itu sekarang ini sudah tidak ada. Karena babi diternak dalam peternakan modern, dengan kebersihan terjamin, dan proses sterilisasi yang mencukupi. Bagaimana mungkin babi-babi itu terjangkit cacing pita atau bakteri dan mikroba lainnya.?” Imam Muhammad Abduh tidak langsung menjawab pertanyaan itu, dan dengan kecerdikannya beliau meminta mereka untuk menghadirkan dua ekor ayam jantan beserta satu ayam betina, dan dua ekor babi jantan beserta satu babi betina. Mengetahui hal itu, mereka bertanya, “Untuk apa semua ini?” Beliau menjawab, “Penuhi apa yang saya pinta, maka akan saya perlihatkan suatu rahasia.” Mereka memenuhi apa yang beliau pinta. Kemudian beliau memerintahkan agar melepas dua ekor ayam jantan bersama satu ekor ayam betina dalam satu kandang. Kedua ayam jantan itu berkelahi dan saling membunuh, untuk mendapatkan ayam betina bagi dirinya sendiri, hingga salah satu dari keduanya hampir tewas. Beliau lalu memerintahkan agar mengurung kedua ayam tersebut. Kemudian beliau memerintahkan mereka untuk melepas dua ekor babi jantan bersama dengan satu babi betina. Kali ini mereka menyaksikan keanehan. Babi jantan yang satu membantu temannya sesama jantan untuk melaksanakan hajat seksualnnya, tanpa rasa cemburu, tanpa harga diri atau keinginan untuk menjaga babi betina dari temannya. Selanjutnya beliau berkata, “Saudara-saudara, daging babi membunuh ‘ghirah’ orang yang memakannya. Itulah yang terjadi pada kalian. Seorang lelaki dari kalian melihat isterinya bersama lelaki lain, dan membiarkannya tanpa rasa cemburu, dan seorang bapak di antara kalian melihat anak perempuannya bersama lelaki asing, dan kalian membiarkannya tanpa rasa cemburu, dan was-was, karena daging babi itu menularkan sifat-sifatnya pada orang yang memakannya.” *** Dari buku: Hidangan Islami: Ulasan Komprehensif Berdasarkan Syari`at dan Sains Modern Penulis: Syeikh Fauzi Muhammad Abu Zaid Penerjemah: Abdul Hayyie al Kattani

Informasi Geologi dalam Al-Quran

Bagaimana Anda menunjukkan bukti tentang agama ini kepada mereka yang tidak mengerti tentang Bahasa Arab atau pun tidak mengetahui sesuatu pun tentang ketidakmungkinan ditirunya Al-Quran? Apakah hal ini satu-satunya cara bagi mereka untuk mempelajari bahasa Arab dan menguasai ilmunya? Jawabannya, tentu saja, adalah ‘TIDAK’, Allah Yang Maha Mulia lagi Maha Agung, telah menunjukkan kemurahannya kepada mereka dan kepada generasi-generasi yang lain dengan mengirimkan bukti-bukti yang sesuai untuk semua manusia, apa pun ras mereka, bahasa mereka atau kapan pun mereka berada. Kami hadirkan Profesor Palmer, seorang ahli ilmu bumi terkemuka di Amerika. Dia mengepalai sebuah komite yang mengorganisasikan Ulang Tahun Masyarakat Geologi Amerika. Ketika kami bertemu dengan dia, kami menunjukkan berbagai macam keajaiban sains di dalam Al-Quran dan Sunnah, dia sangat tercengang. Saya teringat sebuah anekdot ketika kami menginformasikan kepadanya bahwa Al-Quran menyebutkan bagian paling bawah dari bumi dan menyatakan bahwa bagian tersebut dekat dengan Jerusalem, di mana sebuah pertempuan terjadi antara Persia dan Allah Yang Maha Agung lagi Maha Mulia berfirman dalam Al-Quran: Alif Laam Miim, Telah dikalahkan bangsa Rumawi, di negeri yang paling rendah (adnal-ardh) dan mereka sesudah dikalahkan itu akan menang (Quran 30:1-3) Istilah adna bisa berarti lebih dekat dan paling bawah. Para penafsir Al-Quran, semoga Allah ridha kepada mereka semua, berpendapat bahwa adnal-ardh berarti tanah paling dekat ke Semenanjung Arab. Akan tetapi, arti kedua juga tetap bisa diterapkan. Dengan cara ini, Al-Quran yang Suci memberikan satu kata dengan beberapa arti, sebagaimana dijelaskan oleh Nabi Muhammad saw ketika dia mengatakan: Aku telah dikaruniai dengan kata-kata yang paling mudah difahami. [Al-Bukhari dan Muslim] Ketika kita meneliti bagian paling bawah dari bumi, kita menemukan bahwasanya bagian tersebut secara tepat berada di titik di mana Roma dikalahkan. Ketika kami menginformasikan hal ini kepada Profesor Palmer, dia mempertentangkan dengan mengatakan bahwa ada beberapa daerah lain yang lebih rendah dari pada yang disebutkan dalam Al-Quran. Dia memberikan contoh-contoh dan nama-nama dari beberapa daerah di Eropa dan Amerika. Kami meyakinkan dia bahwa informasi kami sahih dan benar. Dia memiliki globe secara topografi yang menunjukkan pengangkatan dan penurunan. Dia mengatakan bahwa akan jadi mudah untuk membuktikan mana bagian paling bawah di bumi dengan globe tersebut. Dia memutar globe tersebut dengan tangannya dan memfokuskan telunjuknya pada daerah dekat Jerusalem. Mengherankan, di sana ada tanda panah kecil yang mengarah pada daerah dengan kalimat: ‘bagian terendah di muka bumi.’ Profesor Palmer segera mengakui bahwa informasi kami adalah benar adanya. Dia kemudian berkata, sebagaimana Anda ketahui sekarang dengan globe ini, yang mengatakan bahwa ini sebenarnya adalah bagian paling bawah dari bumi. Profesor Palmer: Tempat dari daerah tersebut adalah Laut Mati, yaitu di sini, dan menariknya, label di globe ini mengatakan ‘titik terendah bumi’. Maka sesungguhnya hal ini didukung oleh penafsiran dari kata yang dimaksud. Profesor Palmer bahkan lebih tercengang ketika dia menemukan bahwa Al-Quran berbicara tentang masa lalu dan menjelaskan bagaimana awal mula penciptaan dimulai; bagaimana bumi dan langit-langit diciptakan; bagaimana air dipancarkan keluar dari kedalaman bumi; bagaimana pegunungan ditancapkan di atas tanah; bagaimana tanam-tanaman pertama kali ditumbuhkan; bagaimana bumi saat ini, menjelaskan pegunungan, menjelaskan fenomena-fenomenanya, menjelaskan perubahan-perubahan pada permukaan bumi sebagaimana disaksikan di Semenanjung Arab. Dia bahkan menjelaskan masa depan dari pada tanah Arab dan masa depan dari seluruh bumi. Di sini, Profesor Palmer mengakui bahwa Al-Quran adalah buku yang sangat menakjubkan yang menjelaskan masa lalu, masa sekarang dan masa depan. Sebagaimana para ahli sains lainnya, Profesor Palmer pada mulanya ragu-ragu. Akan tetapi segara sesudahnya dia datang dengan pendapatnya. Di Kairo, dia mempresentasikan sebuah makalah penelitian yang berkaitan dengan aspek yang tak bisa ditiru dari pengetahuan tentang ilmu bumi yang berada dalam Al-Quran. Dia mengatakan bahwa dia tidak mengetahui bagaimana keadaan sains sesungguhnya pada masa Nabi Muhammad diutus. Akan tetapi dari apa yang kita ketahui tentang sedikitnya pengetahuan dan arti pada masa itu, tidak ragu lagi bahwa kita bisa menyimpulkan bahwa Al-Quran adalah sebuah cahaya dari ilmu Tuhan yang diwahyukan kepada Muhammad saw. Inilah kesimpulan Profesor Palmer: Kita memerlukan penelitian tentang sejarah Timur Tengah pada awal tradisi penyampaian dari mulut ke mulut untuk mengetahui apakah sesungguhnya kejadian sejarah semacam itu telah dilaporkan. Jika ternyata tidak ada rekaman, maka hal ini menguatkan kepercayaan kita bahwa Allah telah mengirimkan melalui Muhammad saw sedikit dari pengetahuan-nya yang mana baru kita temukan belum lama berselang ini. Kita mencari tindak lanjut dialog pada topik sains di dalam Al-Quran dalam konteks ilmu bumi. Terima kasih banyak. Sebagaimana Anda lihat, inilah salah satu dari raksasa di bidang ilmu bumi di dunia kita saat ini, datang dari Amerika. Dia tidak ragu-ragu untuk mengikuti dan membeberkan pendapatnya. Akan tetapi dia masih memerlukan seseorang untuk menunjukkan kebenaran kepadanya. Orang-orang barat dan orang-orang timur keduanya telah hidup di tengah-tengah perseteruan antara agama dan sains. Perseteruan ini, bagaimana pun juga, tidak bermanfaat, karena pesan-pesan yang lalu telah didistorsikan. Oleh karena itu, Allah mengirimkan Nabi Muhammad saw dengan Islam untuk meluruskan apa-apa yang telah dirusak. Seseorang mungkin akan bertanya: ‘Bagaimana nantinya orang-orang ini menerima apa yang kita katakan kepada mereka ketika kita secara materi berada di luar mereka dan kita tidak mengikuti agama kita secara dekat?’ Jawaban saya kepada mereka adalah bahwa pengetahuan meningkatkan kepedulian seseorang yang memperolehnya. Orang-orang berpengetahuan peduli hanya pada fakta-faktanya, tidak pada gambaran di luarnya. Kejayaan Islam saat ini justru terletak pada pengetahuan ini dan kemajuan sains. Sains modern bisa akan tetapi hanyalah akan menundukkan kepalanya kepada referensi kepada buku Allah dan kepada Sunnah Nabi-nya saw. Sifat alami, Al-Fitrah, yang telah diciptakan oleh Allah atas manusia tidak mencapai ketenangan kecuali dengan jalan Islam atau iman. Mereka yang tidak memiliki iman berada dalam kondisi yang tidak mudah dan bingung. Lebih jauh lagi, atmosfer kebebasan di dunia Barat telah menolong para ahli sains Barat untuk mengekspresikan apa yang mereka percayai tanpa rasa takut. Kami telah mendengar banyak di antara mereka di dalam episode-episode ini yang menegaskan dan mengenalkan keajaiban di abad ini, Al-Quran, yang akan tetap bertahan hidup sampai Hari Akhir. *** Diterjemahkan dari paper http://www.gulfdc.com

Berdoalah kepada Tuhanmu

Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Q.S.7 (Al A’raf): 55. Berdoalah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. Ayat ini mengandung adab-adab dalam berdo’a kepada Allah. Berdo’a adalah suatu munajat antara seorang hamba dengan Tuhannya untuk menyampaikan suatu permintaan agar Allah dapat mengabulkannya. Maka berdo’a kepada Allah hendaklah dengan sepenuh kerendahan hati, dengan betul- betul khusyu’ dan berserah diri. Kemudian berdo’a itu disampaikan dengan suara lunak dan lembut yang keluar dari hati sanubari yang bersih. Berdo’a dengan suara yang keras, menghilangkan kekhusyu’an dan mungkin menjurus kepada ria dan pengaruh-pengaruh lainnya dan dapat mengakibatkan do’a itu tidak dikabulkan Allah. Tidak perlulah doa itu dengan suara yang keras, sebab Allah Maha Mendengar dan Maha Mengetahui. Diriwayatkan oleh Abu Musa Al-Asy’ari ra dia berkata: Ketika kami bersama-sama Rasulullah saw. dalam perjalanan, kedengaranlah orang-orang membaca takbir dengan suara yang keras. Maka Rasulullah bersabda, “Sayangilah dirimu jangan bersuara keras, karena kamu tidak menyeru kepada yang pekak dan yang jauh. Sesungguhnya kamu menyeru Allah Yang Maha Mendengar lagi Dekat dan Dia selalu beserta kamu.” (HR Bukhari dan Muslim) Bersuara keras dalam berdo’a, bisa mengganggu orang, lebih-lebih orang yang sedang beribadat, baik dalam masjid atau di tempat-tempat ibadat yang lain, kecuali yang dibolehkan dengan suara keras, seperti talbiyah dalam musim haji dan membaca takbir pada hari raya Idul Fitri dan Idul Adha. Allah SWT memuji Nabi Zakaria as yang berdo’a dengan suara lembut. Firman Allah: Q.S.19 (Maryam): 3. yaitu tatkala ia berdo’a kepada Tuhannya dengan suara yang lembut. Kemudian ayat ini ditutup dengan peringatan: “sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” Maksudnya dilarang melampaui batas dalam segala hal, termasuk berdoa. Tiap-tiap sesuatu sudah ditentukan batasnya yang harus diperhatikan, jangan sampai dilampaui. Firman Allah: Q.S.2 (Al Baqarah): 229. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barang siapa yang melanggar hukum-hukum Allah, mereka itulah orang-orang yang zalim. Bersuara keras dan berlebih-lebihan dalam berdo’a termasuk melampaui batas, Allah tidak menyukainya. Termasuk juga melampaui batas dalam berdo’a, meminta sesuatu yang mustahil adanya menurut syara’ ataupun akal, seperti seseorang meminta supaya dia menjadi kaya, tetapi tidak mau berusaha atau seseorang menginginkan agar dosanya diampuni, tetapi dia masih terus bergelimang berbuat dosa dan lain-lainnya. Berdo’a seperti itu, namanya ingin merubah sunnatullah yang mustahil terjadinya. Firman Allah: Q.S.35 (Fatir): 43. Maka sekali-kali kamu tidak akan mendapatkan pergantian bagi sunnah Allah dan sekali-kali tidak (pula) akan menemui penyimpangan bagi sunnah Allah itu. Termasuk juga melampaui batas, bila berdo’a itu dihadapkan kepada selain Allah atau dengan memakai perantara orang yang sudah mati. Cara yang begini adalah melampaui batas yang sangat tercela. Berdo’a itu hanya dihadapkan kepada Allah saja, tidak boleh menyimpang kepada yang lain. Berdo’a dengan memakai perantara (wasilah) kepada orang yang sudah mati termasuk yang melampaui batas juga, seperti orang yang menyembah dan berdoa kepada malaikat, kepada wali-wali, kepada matahari, bulan dan lain-lainnya. Firman Allah: Q.S.17 (Al Isra): 56-57. Katakanlah: “Panggillah mereka yang kamu anggap (tuhan) selain Allah, makan mereka tidak akan mempunyai kekuasaan untuk menghilangkan bahaya daripadamu dan tidak pula memindahkannya”. Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada Tuhan mereka, siapa di antara mereka yang lebih dekat (kepada Allah), dan mereka mengharapkan rahmat Nya dan takut akan azab Nya. Sesungguhnya azab Tuhanmu adalah suatu yang (harus) ditakuti. Hadis Rasulullah saw: Diriwayatkan dari Abu Hurairah dia berkata: Telah bersabda Rasulullah saw, “Mintalah kepada Allah wasilah untukku. Mereka bertanya: Ya Rasulullah, apakah wasilah itu? Rasulullah menjawab: “Dekat dengan Allah Azza Wa Jalla, kemudian Rasulullah membaca ayat: (mereka sendiri) mencari jalan kepada Tuhan mereka, siapa di antara mereka yang lebih dekat kepada Allah.” (HR Turmudzi dari Ibnu Mardawaih) Lampiran: (terjemah secara lafzhiyah) bismi [dengan nama] -llaahi [Allah] -rrahmaani [Maha Pemurah] -rrahiim(i) [Maha Penyayang] Surah Al A’raaf [Tempat tertinggi] (7): 55. ud’uu [berdo'alah kamu] rabbakum [Tuhanmu] tadharru’an [berendah diri] wakhufyah(tan) [dan suara yang lembut] innahuu [sesungguhnya Dia] laa yuhibbu [tidak menyukai] -lmu’tadiin(a) [orang-orang yang melampaui batas]. *** Dari Sahabat

Dzikir

(Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring … (QS Ali Imran 191). Dzikir atau mengingat Allah merupakan aktivitas yang dilakukan terutama oleh hati dan lisan berupa tasbih atau menyucikan Allah Ta’ala, memuji, dan menyanjung-Nya, menyebutkan sifat-sifat kebesaran dan keagungan serta keindahan dan kesempurnaan-Nya. Dzikir telah menjadi kebiasaan kaum Muslimin dalam mengarungi kehidupan sehari-hari atas dasar kesadaran bahwa itu merupakan perintah Allah dan rasul-Nya. Rasulullah menyebut orang yang tidak mengingat Allah sebagai orang yang mati, “Perumpamaan orang-orang yang dzikir kepada Allah dengan yang tidak adalah seperti orang yang hidup dengan yang mati,” (HR Bukhari). Banyak sekali perintah Allah dan rasul-Nya untuk berdzikir di antaranya QS Al Baqoroh: 152. Rasullah bersabda, “Ada dua kalimat yang ringan diucapkan lisan, tetapi berat dalam timbangan dan disukai oleh Allah yaitu, Subhanallahi wabihamdihi, subhanallahil azhim.” Dalam hadis lain, “Dzikir yang paling utama ialah La ilaha ilallah, sedangkan doa yang paling utama ialah Alhamdulillah.” (HR Nasai). Keutamaan dzikir tidak terbatas pada tasbih, tahlil, tahmid, dan takbir. Setiap orang yang beramal karena Allah, demi menaati perintah-Nya maka, ia disebut dzikir kepada Allah SWT. Demikian yang dikatakan oleh Said bin Zubair ra dan ulama lainnya. Atha ra berkata, “Majelis dzikir adalah majelis halal dan haram yang membahas bagaimana Anda menjual dan membeli, shalat, shaum, menikah, bermuamalah, dan pergi haji.” Rasulullah bersabda, “Jika kamu lewat taman-taman surga hendaklah kamu ikut bercengkrama!” Mereka bertanya, “Apa taman-taman surga itu, Ya Rasulullah?” Beliau menjawab, “Halaqoh-halaqoh dzikir, karena sesungguhnya Allah SWT mempunyai malaikat yang berkeliling mencari halaqoh-halaqoh dzikir, apabila mereka mendatangi orang-orang yang berdzikir tersebut akan berhenti dan melingkari mereka”. (HR Tirmidzi). Ibnu Mas’ud ra jika mengucapkan hadis ini, berkata, “Aku tidak maksudkan itu halaqoh-halaqoh yang membahas kisah-kisah, melainkan halaqoh yang membahas fikih.” Diriwayatkan oleh Anas ra bahwa maknanya begitu juga. Dengan demikian, dzikirnya seorang Muslim dalam kondisi saat ini adalah tidak sebatas pada ucapan-ucapan tasbih, takbir, tahmid, dan istigfar, tapi yang lebih penting adalah bagaimana kita dalam setiap aktivitas kita senantiasa terikat pada perintah dan larangan Allah SWT. Apalagi dalam kondisi yang serba semrawut dan penuh ketidakjelasan seperti sekarang ini, di mana krisis yang tak kunjung berakhir, kerusuhan, teror, huru-hara, dan pemaksaan kehendak masih terus menghantui dan membayangi kehidupan kita. Sudah sepatutnya kita lebih mempergiat aktivitas berdzikir. Karena pada hakikatnya semua musibah yang menimpa kita adalah cobaan, ujian, sekaligus azab dari Allah lantaran perbuatan kita sendiri yang tidak bertahkim dan mengatur segala aspek kehidupan kita dengan apa yang diturunkan Allah yaitu Islam. Allah SWT berfirman: Telah banyak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali ke jalan yang benar (Islam). (QS Ar-Ruum: 41). ***

Zamah Saari

itikaf2Dzikir (Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring … (QS Ali Imran 191). Dzikir atau mengingat Allah merupakan aktivitas yang dilakukan terutama oleh hati dan lisan berupa tasbih atau menyucikan Allah Ta’ala, memuji, dan menyanjung-Nya, menyebutkan sifat-sifat kebesaran dan keagungan serta keindahan dan kesempurnaan-Nya. Dzikir telah menjadi kebiasaan kaum Muslimin dalam mengarungi kehidupan sehari-hari atas dasar kesadaran bahwa itu merupakan perintah Allah dan rasul-Nya. Rasulullah menyebut orang yang tidak mengingat Allah sebagai orang yang mati, “Perumpamaan orang-orang yang dzikir kepada Allah dengan yang tidak adalah seperti orang yang hidup dengan yang mati,” (HR Bukhari). Banyak sekali perintah Allah dan rasul-Nya untuk berdzikir di antaranya QS Al Baqoroh: 152. Rasullah bersabda, “Ada dua kalimat yang ringan diucapkan lisan, tetapi berat dalam timbangan dan disukai oleh Allah yaitu, Subhanallahi wabihamdihi, subhanallahil azhim.” Dalam hadis lain, “Dzikir yang paling utama ialah La ilaha ilallah, sedangkan doa yang paling utama ialah Alhamdulillah.” (HR Nasai). Keutamaan dzikir tidak terbatas pada tasbih, tahlil, tahmid, dan takbir. Setiap orang yang beramal karena Allah, demi menaati perintah-Nya maka, ia disebut dzikir kepada Allah SWT. Demikian yang dikatakan oleh Said bin Zubair ra dan ulama lainnya. Atha ra berkata, “Majelis dzikir adalah majelis halal dan haram yang membahas bagaimana Anda menjual dan membeli, shalat, shaum, menikah, bermuamalah, dan pergi haji.” Rasulullah bersabda, “Jika kamu lewat taman-taman surga hendaklah kamu ikut bercengkrama!” Mereka bertanya, “Apa taman-taman surga itu, Ya Rasulullah?” Beliau menjawab, “Halaqoh-halaqoh dzikir, karena sesungguhnya Allah SWT mempunyai malaikat yang berkeliling mencari halaqoh-halaqoh dzikir, apabila mereka mendatangi orang-orang yang berdzikir tersebut akan berhenti dan melingkari mereka”. (HR Tirmidzi). Ibnu Mas’ud ra jika mengucapkan hadis ini, berkata, “Aku tidak maksudkan itu halaqoh-halaqoh yang membahas kisah-kisah, melainkan halaqoh yang membahas fikih.” Diriwayatkan oleh Anas ra bahwa maknanya begitu juga. Dengan demikian, dzikirnya seorang Muslim dalam kondisi saat ini adalah tidak sebatas pada ucapan-ucapan tasbih, takbir, tahmid, dan istigfar, tapi yang lebih penting adalah bagaimana kita dalam setiap aktivitas kita senantiasa terikat pada perintah dan larangan Allah SWT. Apalagi dalam kondisi yang serba semrawut dan penuh ketidakjelasan seperti sekarang ini, di mana krisis yang tak kunjung berakhir, kerusuhan, teror, huru-hara, dan pemaksaan kehendak masih terus menghantui dan membayangi kehidupan kita. Sudah sepatutnya kita lebih mempergiat aktivitas berdzikir. Karena pada hakikatnya semua musibah yang menimpa kita adalah cobaan, ujian, sekaligus azab dari Allah lantaran perbuatan kita sendiri yang tidak bertahkim dan mengatur segala aspek kehidupan kita dengan apa yang diturunkan Allah yaitu Islam. Allah SWT berfirman: Telah banyak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali ke jalan yang benar (Islam). (QS Ar-Ruum: 41). ***

Copyright @ 2013 Muslim Journey.