Oleh : Muzammil Alfatih bin Muhlani “Sesungguhnya Allah senantiasa menerima taubat seorang hamba, selain hamba itu belum mengalama Ghargharah,” (Al Hadist) Perkataan ‘Ghargharah’ di dalam Hadist yang diriwayatkan oleh Tirmidzi di atas ialah keadaan di mana seseorang sedang bertarung melawan maut atau saat di mana ia akan melepaskan nyawanya. Sinonim Ghargharah ialah Sakaratul Maut. Tentang sakaratul maut ini, ada sebuah Hadist berbunyi: “Allahumma hawwin alaiya fii sakaratil mauti…” [Ya Allah, mudahkanlah bagiku kelak dalam menghadapi sakaratul maut] Di dalam Al Qur’an, tertulis: “Kullu nafsin dzaaiqotul mauti….” Kata ‘nafs’ dalam ayat tersebut di atas dapat diartikan jiwa atau nyawa, jadi ‘kullu nafs’ adalah setiap yang mempunya jiwa/nyawa. Kehidupan manusia menurut sebuah Hadizt, bermula dari 120 hari setelah terjadinya pembuahan. Pada saat itu Allah meniupkan rokh kepada janin. Waktu itu masih merupakan calon manusia. Jadi dapat dikatakan : “Hidup ialah berpadunya antara rokh (jiwa) dan jasad (jasmani).” Nyawa atau rokh menurut Imam Ghozali ialah :”Suatu jeni zat halus yang bersumber di dalam lubang-lubang hati manusia, yang memancarkan ke seluruh anggota tubuhnya.” Dikatakan bahwa hidup dapat diibaratkan dengan cahaya yang berada di suatu ruangan, di mana rokh adalah lampunya. Bekerjanya rokh dalam jasad adalah ibarat bekerjanya cahaya dalam ruangan. (Ikhyaau ‘uluumuddiin, juz III hal 3). Ghazali lebih lanjut mengatakan bahwa sakitnya orang-yang menghadapi sakaratul maut itu tidak dapat diceritakan dan tiada yang dapat mengetahuinya secara pasti, kecuali mereka yang memang telah mengalaminya. Seseorang yang sedang demikian berarti sedang mengalami pencabutan rokhnya dari seluruh urat, daging, tulang, rambut, kulit, dsb. Dan itu dapat dibayangkan betapa nyerinya sakaratul maut itu! Orang yang dipukul jasadnya biasanya menjerit atau mengadakan perlawanan sekedar untuk mengurang sakit dan lari menyelamatkan diri. Semua dapat dilakukannya jika ia masih mempunyai tenaga. Seseorang yang sedang mengalami ghargharah tidak demikian keadannya. Ia tidak dapat menjerit, meminta tolong, tidak dapat melawan dan melarikan diri. Sebab jasmani dan akalnya hampir tak berfungsi lagi. Lalu apa yang dapat dilakukannya? Pasrah. Itulah satu-satunya sikap yang benar dan baik. Pasrah sambil menahan rasa sakit/nyeri saat dicabut nyawanya. Ilmu Kedokteran modern belum berhasil mengungkap banyak hal yang menyangkut sakaratul maut ini. Juga tidak dapat diketahui faktor-faktor apa saja yang menyebabkan sakaratul maut itu, dan usaha apa yang bisa mencegahnya. Seandainya sudah berhasil menunda dan mencegah sakarat, besar kemungkinan di bumi ini takkan ditemukan pusara-pusara. Ada pendapat bahwa tingkat siksaan dalam sakarat tidak selalu sama bagi setiap orang. Bergantung kepada kadar iman dan dosa yang dibuatnya. Di masyarakat ada semacam pemeo, bahwa seenteng-entengnya sakarat ialah seperti seekor kambing yang sedang dikuliti. Bahwa sekarat merupakan sesuatu yang berat dan menimbulkan siksaan dalam bentuk tersendiri. Terbukti dari ucapan dan doa Rasulullah saw, “Allahumma hawwin ‘alaiya fii sakaratil mauti,” Pernah diceritakan mengenai masalah sakarat ini. Seorang ulama tua di hari-hari akhir hayatnya selalu mengajarkan hal-hal yang menyangkut kematian kepada murid-murdinya. Ulama tersebut membacakan sebuah Hadist yang berbunyi, “Laqqinuu mautakum la ilaha illallahu (Orang yang hampir mati talqinkanlah dengan menyruhnya mengucapkan kalimat suci Lailaha Illaallah)” Kemudian dibacakan pula sebuah Hadist, “Man Kaana aakhiru kalaamihi lailaha illaallahu, dakholal jannah,” (Siapa yang akhir ucapannya Lailaaha illaallah, maka masuklah ke sorga) Ketika sang ulama yang guru itu sedang menghadapi sakaratul maut, para muridnya tak lupa akan pesan ajarannya itu. Maka dituntunnya guru untuk mengucapkan kalimat Lailahaa illaallah. Tetapi apa kata guru? “Tidak” teriaknya. Tiga kali murid-murid mentaqinkannya, tiga kali pula sang guru berteriak “Tidak”. Dan semua yang menyaksikan menjadi heran. Beberapa saat kemudian, keadaan sang guru bertambah baik. Setelah baik benar berceritalah sang guru bahwa ketika para muridnya menalqinkan kalimah suci itu datang makhluk aneh menjelma dalam pikirannya menyuruh “mempertuhan” dirinya. Sang guru menolak suruhan itu dengan mengatakan “tidak”. Tahulah semua, bahwa jawaban “tidak” dari sang guru tadi ditujukan kepada makhluk yang mempertuhankan dirinya. Setelah bercerita itu, sang guru mengucapkan kalimah suci dengan urut dan lancar, tenang dan mantap. Dan setelah selesai berucap, terdiamlah sang ulama/guru untuk selamanya. Dari kisah ini disiratkan dalam keadaan sakaratul maut, masih saja datang godaan dari syetan yang terkutuk, walaupun dia itu ulama dan guru. Masa/saat sakaratul maut adalah masa tertutupnya pintu taubah. “Dan tidaklah tobat itu diterima Allah dari orang-orang yang melakukan kejahatan/dosa, hingga bila datang ajal/sakaratul maut kepada mereka (barulah) mereka mengatakan ‘sesungguhnya saya bertaubat sekarang’. Dan tak pula diterima taubat orang-orang yang mati dalam kekafiran, bagi mereka itu Kami sediakan siksa yang pedih.” (4:18). Wallahu’alam bishowab. *** (Diambil dari berbagai sumber. Petikan buletin Jum’at yang dibuat sendiri oleh penulis).
Selasa, 02 April 2013
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 comments:
Posting Komentar