Selasa, 02 April 2013

Filled Under:

Ibarat Emergency Exit di Pesawat

Prof Dr M Quraish Shihab: Sejak lama istilah poligami, jumlah yang tidak sedikit dari perempuan yang berhak digauli, sudah dikenal dalam kehidupan manusia. Tidak hanya di kalangan masyarakat Arab Jahiliyah tapi juga negara-negara Eropa seperti di Jerman, Swiss, Belanda, Denmark, Swedia, Norwegia hingga Inggris. Islam membolehkan poligami berdasar firman Allah SWT pada Alquran surat Nisa (4) ayat 3. Namun demikian, bukan berarti ayat itu membuka lebar-lebar pintu poligami tanpa batas dan syarat, tetapi dalam saat yang sama ia tidak juga dapat dikatakan menutup pintunya rapat-rapat, sebagaimana dikehendaki sementara orang. ”Poligami itu bukan anjuran, tetapi salah satu solusi yang diberikan kepada mereka yang sangat membutuhkan dan memenuhi syarat-syaratnya. Poligami mirip dengan pintu darurat dalam pesawat terbang yang hanya boleh dibuka dalam keadaan emergency tertentu,” tandas Quraish kepada Republika di ruang kerjanya Pusat Studi al Quran (PSQ) Ciputat Tangerang Selasa (5/12). Berikut ini penjelasan lengkap tentang apa dan bagaimana poligami menurut Islam: Kapan istilah poligami mulai muncul? Poligami telah dikenal oleh masyarakat manusia, yaitu hubungan dengan perempuan yang berhak digauli dengan jumlah lebih dari satu. Dalam Perjanjian Lama misalnya, disebutkan bahwa Nabi Sulaiman AS memiliki tujuh ratus ‘istri’ bangsawan dan tiga ratus gundik. Poligami meluas di samping dalam masyarakat Arab Jahiliyah juga pada bangsa Ibrani dan Sicilia yang kemudian melahirkan sebagian besar bangsa Rusia, Lithuania, Polandia, dan sebagainya. Bagaimana pandangan Islam tentang poligami? Islam membolehkan poligami berdasar firman Allah dalam QS an-Nisa’ ayat 3 yang artinya: ”Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap perempuan (yatim), maka nikahilah yang kamu senangi dari perempuan-perempuan (lain): dua-dua, tiga-tiga atau empat-empat. Lalu jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka seorang saja, atau budak-budak perempuan yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” Ayat ini turun berkaitan dengan sikap sementara pemelihara anak yatim perempuan yang bermaksud menikahi mereka karena harta mereka tapi enggan berlaku adil. Pada ayat tersebut disebutkan adanya syarat berlaku adil, bisa dijelaskan? Dalam ayat tersebut terdapat kata khiftum yang biasa diartikan takut, yang juga dapat diartikan mengetahui, menunjukkan bahwa siapa saja yang yakin atau menduga keras atau bahkan menduga tidak akan berlaku adil terhadap istri-istrinya yang yatim maupun yang bukan, maka mereka tidak diperkenankan oleh ayat tersebut untuk berpoligami. Yang diperkenanakan berpoligami hanyalah yang yakin atau menduga keras dapat berlaku adil. Yang ragu, apakah bisa berlaku adil atau tidak, seyogyanya tidak berpoligami. Ada yang menyebutkan ayat tersebut merupakan perintah untuk berpoligami karena adanya fi’il amr (kata kerja perintah, red)? Ayat ini tidak menganjurkan apalagi mewajibkan berpoligami, tetapi ia hanya berbicara tentang bolehnya poligami. Poligami dalam ayat itu merupakan pintu kecil yang hanya dapat dilalui oleh siapa yang sangat membutuhkan dan dengan syarat yang tidak ringan. Islam mendambakan kebahagiaan keluarga, kebahagiaan yang antara lain didukung oleh cinta kepada pasangan. Cinta yang sebenarnya menuntut agar seseorang tidak mencintai kecuali pasangannya. Kira-kira apa yang melatarbelakangi seseorang berpoligami? Bukankah kenyataan menunjukkan bahwa jumlah lelaki lebih sedikit dari jumlah perempuan? Bukankah rata-rata usia perempuan lebih panjang dari usia lelaki, sedang potensi masa subur lelaki lebih lama daripada potensi masa subur perempuan? Hal ini bukan saja karena mereka mengalami haid, tapi juga karena mereka mengalami manopouse sedang lelaki tidak mengalami keduanya. Bukankah peperangan yang hingga kini tidak kunjung dapat dicegah lebih banyak merenggut nyawa lelaki daripada nyawa perempuan? Maka poligami ketika itu adalah jalan keluar yang paling tepat. Namun sekali lagi perlu diingat poligami bukanlah anjuran apalagi kewajiban. Seandainya ia anjuran, pasti Allah SWT menciptakan perempuan lebih banyak empat kali lipat dari jumlah laki-laki, karena tidak adanya menganjurkan sesuatu kalau apa yang dianjurkan tidak tersedia. Ayat ini hanya memberi wadah bagi mereka yang mengingingkannya, ketika menghadapi kondisi atau kasus tertentu. Poligami mirip dengan pintu darurat dalam pesawat terbang, yang hanya boleh dibuka dalam keadaan emergency tertentu. Bagaimana dengan anggapan berpoligami adalah sunnah Rasul? Tidak bisa dikatakan bahwa Rasul SAW menikahi lebih dari satu perempuan dan pernikahan semacam itu hendaknya diteladani. Karena, tidak semua apa yang dilakukan Rasul SAW perlu diteladani sebagaimana tidak semua yang wajib atau terlarang bagi beliau, wajib atau terlarang pula bagi umatnya. Bukankah Rasul SAW antara lain wajib bangun shalat malam dan tidak boleh menerima zakat? Bukankah tidak batal wudlu beliau bila tertidur? Selanjutnya perlu dipertanyakan buat mereka yang beranggapan poligami adalah sunah Rasul SAW. ”Apakah benar mereka benar-benar ingin meneladani Rasul SAW dalam pernikahannya?” Kalau benar demikian, maka perlu mereka sadari Rasul SAW baru berpoligami setelah pernikahan pertamanya berlalu sekian lama setelah meninggalnya Khadijah RA. Kita ketahui Rasul SAW menikah dalam usia 25 tahun, 15 tahun setelah pernikahan beliau dengan Sayyidah Khadijah RA, beliau diangkat menjadi Nabi. Istri beliau ini wafat pada tahun ke-10 kenabian Beliau. Ini berarti beliau bermonogami selama 25 tahun. Lalu setelah tiga atau empat tahun sesudah wafatnya Khadijah RA, baru beliau menggauli Aisyah RA yakni pada tahun kedua atau ketiga Hijriyah, sedang beliau wafat dalam tahun ke-11 Hijriyah dalam usia 63 tahun. Ini berarti beliau berpoligami hanya dalam waktu delapan tahun, jauh lebih pendek daripada hidup bermonogami beliau, baik dihitung berdasar masa kenabian lebih-lebih jika dihitung seluruh masa pernikahan beliau. Jika demikian, maka mengapa bukan masa yang lebih banyak itu yang diteladani? Mengapa mereka yang bermaksud meneladani Rasul SAW itu tidak meneladaninya dalam memilih calon-calon istri yang telah mencapai usia senja? Semua istri Nabi SAW selain Aisyah adalah janda-janda yang berusia di atas 45 tahun? Di samping itu, mengapa mereka tidak meneladani beliau dalam kesetiaannya yang demikian besar terhadap istri petamanya, sampai-sampai beliau menyatakan kecintaan dan kesetiaannya walau di hadapan istri-istri beliau yang lain? *** Dari REPUBLIKA

0 comments:

Posting Komentar

Copyright @ 2013 Muslim Journey.