Selasa, 02 April 2013

Filled Under:

menggugah

Berlomba Menebar Rahmat “Balighu ‘annii walaw aayah ” (Sampaikan dariku meski satu ayat, HR Bukhari & Turmudzi). Hadits tersebut kita yakini shohih dan merupakan kewajiban setiap muslim untuk melaksanakannya. Rasulullah saw. juga dikenal bersifat tabligh, senantiasa menyampaikan wahyu dari Allah SWT. secara sempurna kepada ummatnya. Kata balighu berasal dari kata baligha / ablagha yang bermakna menyampaikan informasi, dalam berbagai bentuknya. Kata ‘annii dapat bermakna “dariku”, yaitu Kitabullah dan Sunnah Rasul saw, maupun “tentang aku”, yakni tentang segala aspek peri kehidupan Rasul saw. Kata aayah dapat bermakna tekstual (naskah ayat al Qur-an maupun Hadits) maupun kontekstual (tanda-tanda kekuasaan Allah SWT). Dengan demikian hadits ini mewajibkan kita untuk mengabarkan tentang Islam yang sempurna dalam keseluruhan dimensinya, meskipun baru satu sisi yang mampu kita ungkapkan. Karena makna bahasa tersebut, khususnya makna kata balighu, selama ini hadits tersebut dimaknai sebatas perintah berda’wah, baik yang dilakukan oleh para ‘alim ‘ulama dalam tabligh / kajian atau penulisan buku, maupun kalangan awam dalam pergaulanan sehari-hari. Namun demikian tidaklah semua muslim memiliki keterampilan, kesempatan dan kepercayaan diri untuk menyampaikan informasi dalam bentuk yang dapat dipahami orang lain, sehingga mereka tidak dapat mengamalkan hadits tersebut. Di samping itu jika semua orang “harus” berbicara atau menulis, siapakah lagi yang akan mendengarkan dan membaca? Saya berpendapat hadits ini mungkin sebenarnya dapat bermakna lebih luas. Kata balighu boleh jadi tidak hanya bermakna perintah menyampaikan informasi, tetapi juga menyampaikan manfa’at / maslahat dari setiap ayat / hadits kepada yang membutuhkannya. Dengan pengertian ini setiap muslim sesungguhnya dapat mengamalkan hadits tersebut, apa pun keahlian dan kesempatan yang dimilikinya. Produsen dapat menghasilkan manfaat berupa barang atau jasa, distributor menghantarkannya ke pasar-pasar dan pusat layanan atau langsung ke lokasi konsumen, sedangkan teknisi / praktisi membantu mewujudkan manfaat tersebut sesuai kebutuhan konsumen secara efektif. Sebagai konsekuensinya, tentu saja semua muslim harus berupaya memahami hikmah dari ayat-ayat suci al Qur’an dan hadits-hadits Rasul saw. sejauh dan sebanyak yang mampu dipahaminya. Selanjutnya kita berusaha sekuat tenaga mewujudkan hikmah / manfaat ayat tersebut sesuai dengan segala sumber daya dan kemampuan yang telah diamanahkan Allah SWT kepada kita. Perkembangan ilmu pengetahuan / teknologi mutakhir menjadi penting artinya dalam memfasilitasi proses transformasi dari kalam al Khaliq menjadi manfaat nyata bagi makhluq tersebut. “Siapa menghendaki dunia hendaklah dengan ilmu. Siapa menghendaki akhirat hendaklah dengan ilmu. Siapa menghendaki keduanya hendaklah dengan ilmu.” (al Hadits) Jika kita kaji berbagai temuan ilmiah di berbagai bidang ilmu, sesungguhnya semua tidak lain membuktikan kebenaran absolut Sunatullah yang termaktub pula dalam Kitabullah dan Sunnah Rasul saw. Sangat disayangkan pada kenyataannya sedikit sekali cendekiawan muslim yang secara produktif menyampaikan fenomena tersebut (makna kontekstual “ayat”) kepada ummat dalam bahasa populer. Padahal tulisan-tulisan dan pemaparan semacam ini dapat menghantarkan ummat untuk mengenal Tuhannya ( ma’rifatullah) dengan lebih baik, dan menggugah kesadaran serta kebanggaan sebagai muslim (izzatul muslimin). Dikotomi keilmuan antara ilmu agama / ukhrowi dan umum / duniawi yang selama ini masih berjalan menghambat proses “membumikan al-Qur-an”. Kondisi ini diperparah dengan semakin maraknya pemikiran yang menyanjung sekularisme dan irrelevansi Qur-an – Sunnah dalam kehidupan ultra-modern saat ini. “…Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu ialah yang lebih taqwanya…” .(QS al Hujuraat 49:13) “…Sesungguhnya yang bertaqwa kepada Allah dari kalangan hamba-hambaNya hanyalah orang-orang yang berilmu…” (QS Faathir 35:28) Seandainya semua muslim mengamalkan hadits ini dengan baik, niscaya kita akan saling berlomba-lomba dalam kebajikan ( fastabiqul khairat), tidak hanya dalam menuntut ilmu (tholabul ‘ilmi), tetapi juga dengan memberi sebanyak-banyaknya manfaat kepada lingkungan sekitar ( rahmatan lil ‘alamin). “Sebaik-baik di antaramu adalah yang paling banyak manfaat bagi orang lain.” ( H.R. Bukhari dan Muslim). Wallahu a’lam bish showab. *** Oleh: Nurul Hidayati Fithriyah.

0 comments:

Posting Komentar

Copyright @ 2013 Muslim Journey.