Jadilah-Pelita (1) Suatu malam, Umar bin Abdul Azis sedang sibuk bekerja di salah satu ruangan istananya. Tak disangkanya, salah seorang putranya masuk hendak membicarakan sesuatu. “Untuk perkara apakah wahai putraku ke sini, untuk urusan negarakah ataukah urusan keluarga kita?” begitu tanya Umar. “Urusan keluarga, wahai ayahanda”, jawab sang anak. Maka secepat kilat Umar mematikan lentera di ruangan tersebut sehingga gelap gulita suasananya. “Mengapa ayahanda mematikan lentera itu?”, tanya sang anak dengan penuh keheranan. “Anakku, lentera ini milik negara, minyaknya juga dibeli dengan uang negara, sehingga hanya boleh dipergunakan untuk urusan negara, bukankah engkau datang untuk urusan keluarga?” begitu Umar menjelaskan. Tak lama kemudian Umar mengambil lentera lain dari ruangan dalam dan berkata: “Anakku sekarang bicaralah, lentera ini milikku dan minyaknya juga dibeli dengan uangku sendiri, maka kita berhak memakainya untuk pembicaraan mengenai keluarga kita”, demikian Umar menegaskan. Kisah Umar ini sering dikutip para ustad, da’i, aktivis Islam dan para kyai untuk menjadi contoh bagaimana Umar yang juga sering dijuluki khulafaur rasyidin yang ke-5 sangat berhati-hati dalam menjaga urusan ummat, memisahkan hak dan kewajiban pribadi dan negara. Menjaga benar dirinya akan hal-hal syubhat dan begitu takut dirinya kelak diadili karena mendzalimi rakyatnya. Sejatinya ada beberapa pelajaran penting yang bisa kita peroleh. Pelajaran yang tidak hanya untuk direnungi di ruang-ruang kosong dan hampa akan realita. Pelajaran untuk menjadi pembanding dan pengingat di tengah-tengah kenyataan yang harus dihadapi dalam kehidupan harian para pelayan ummat atau pejabat publik dalam bahasa modern sekarang ini. Kisah Umar begitu mudah kita tuturkan dan begitu indah dan menenteramkan kita dengarkan. Tetapi senyatanya sulit dan bahkan sulit sekali dijalankan dan begitu langka dan bahkan nyaris sulit sekali kita temukan pada jaman sekarang. Lantas, mari kita kupas satu persatu kisah Umar ini, untuk diambil pelajarannya. Pertama, kisah kesungguhan hidup sederhana. Sebelum ditunjuk sebagai khalifah, Umar dikenal kaya. Akan tetapi begitu ditunjuk sebagai penguasa, maka ia lepaskan semua kekayannya dan memilih kehidupan yang sangat sederhana sampai-sampai keluarganya mengeluh akan hal ini. Menurut ukuran para raja saat itu, sungguh sangat pantas seorang penguasa yang daerah kekuasannya membentang dari Yaman di sebelah Tenggara, Mesir di sebelah Barat, Persia di sebelah Timur Laut, melebihi kekuasaan para Raja-Raja atau Amir di Timur Tengah sekarang ini, duduk dengan megah dengan singgasana bertaburkan intan permata, pakaian kebesaran yang indah dan kendaraan yang nyaman. Akan tetapi menyadari betapa beratnya tanggung-jawab seorang khalifah, maka ia memilih jalan sederhana, jalan sunyi yang jauh dari hidup glamour dan foya-foya. Jalan yang tidak lazim, pilihan hidup aneh dan jauh dari keumuman para raja dan penguasa pada jamannya. Tetapi sikap hidup sederhananya tidak lantas sederhana prestasinya. Bahkan di masa kepemimpinan Umar, dalam buku-buku sejarah dituturkan tidak ada lagi orang yang menerima zakat di negri muslim, ini menggambarkan kemakmuran hidup rakyatnya. Dan di masanya seekor keledai tidak merasa takut berjalan ditengah padang pasir khawatir diterkam serigala, sebuah gambaran akan keamanan negara. Kesederhanaan hidupnya berbanding terbalik dengan prestasinya dalam menjalankan roda pemerintahan. Kesederhanaan hidupnya menjadi kemuliaan dirinya di hadapan manusia seluruhnya. Saat harta dan tahta ada di genggamannya, hatinya tidak lantas menggenggamnya. Dunia ada dalam tangannya tetapi tidak di hatinya. Sederhana tentu bukan berarti miskin. Lawan kata sederhana adalah mewah, gaya hidup gemerlap, glamor yang menampakkan semua kemegahan tampilan luar. Sederhana juga bukan berarti lemah, tetapi sejatinya adalah mengambil aksesoris dunia secukupnya dan tidak berlebih. Sifat ini muncul dan lahir dari kedalaman hati, bahwa kemuliaan, harga diri dan kehormatan muncul bukan bersumber dari duniawi, tetapi semua itu karena pribadi seseorang. Mungkin kaum muslimin sekarang akan bertanya: bukankah itu jaman dulu yang sangat jauh dari realita sekarang. Mari kita tengok di sebuah negri berbalut salju, Norwegia. Di Negri ini beberapa tahun lalu, ada seorang Perdana Menteri yang memang juga seorang pengusaha, membeli sebuah mobil diatas rata-rata penduduk Norwegia dengan uangnya sendiri. Maka tak lama kemudian, ramailah media masa mengkritiknya, dan akhirnya sang Perdana Menteri ini menjual lagi mobil mewahnya. Di sebuah negeri yang pasti kisah Umar ini tidak pernah dituturkan, masih ada sifat malu para pemimpinnya karena kritik rakyatnya. Akhirnya ia rela melepaskan mobil mewahnya. Padahal tidak ada UU yang melarang ia menggunakan mobil mewah yang dibeli dengan uangnya sendiri. Tetapi ia seorang pemimpin, seorang Perdana Menteri yang harus peka atas kehidupan rakyatnya. Atas kesadaran seperti itu, ia rela menggunakan mobilnya yang seperti normalnya rakyatnya menggunakan mobil. Ia tidak ingin tampil beda dari kebanyakan rakyatnya. Atau tengoklah, bagaimana Wapres Muhammad Hatta yang tidak memberitahu istrinya akan rencana sanering (pemotongan nilai mata uang) yang akan dilakukan negara, sehingga pada saat sanering dilakukan, uang tabungan istrinya yang dikumpulkan berbulan-bulan untuk membeli mesin jahit, nilainya berkurang, padahal sesaat sebelum sanering uang tabungan tersebut hampir mencukupi. Ia tahu menjaga rahasia negara yang kalau dia obral bisa menguntungkan sebagian dan merugikan sebagian lainnya. Maka ia mengambil sikap seorang negarawan, rahasia negara harus dijaga walauun terhadap keluarganya sendiri. Atau kisah kesederhanaan Muhammad Natsir sang perdana mentri yang kita kenal dengan mosi integralnya sehingga menyelamatkan NKRI, ia menolak mobil dinas yang disediakan negara. Bagaimanakah kisah ini diperbandingkan dengan kehidupan para pelayan ummat (baca pejabat publik) yang dulunya bersemangat menuturkan kisah Umar ini sebagai landasan memupuk cita-cita besar akan perjuangan masa depan. Sebuah cita-cita yang di rajut di balik dinding-dinding rumah petak sempit, diruangan masjid sederhana, di padepokan nun jauh di pelosok desa. Saat itu, tidak ada bayangan sama sekali akan dunia dengan segala kemewahannya yang kelak mungkin ditemuinya. Jangankan membayangkan mobil mewah, rumah besar, jabatan tinggi, sekedar untuk maka layak tiga kali sehari dengan lauk daging saja susah. Sekedar membeli susu anaknya saja belum tentu kesampaian. Kedua, memisahkan kepentingan pribadi, keluarga dan golongan dari kepentingan negara dan rakyat. Jabatan khalifah adalah amanah ummat, tangguh-jawab atas rakyat. Harus ada pemisahan yang jelas antara fasilitas negara dan kekayaan pribadi. Kekuasaan untuk mengelola kekayaan negara, bukan berarti boleh dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi. Umar telah metelakkan contoh yang kokoh, ditinjau dari ilmu tata negara sekarang ini, Umar telah menerapkan prinsip-prinsip Good Corporate Governance atau menerapkan tata kelola pemerintahan yang baik. Tidak membiarkan kekayaan negara di manfaatkan untuk dirinya atau keluarganya atau golongannya, melainkan fasilitas negara hanya untuk rakyat. Ia juga tidak bermaksud menggunakan pengaruhnya sebagai kepala negara demi memuluskan proyek-proyek pemerintah untuk memperkaya diri, keluarga atau golongannya. Sungguh teladan yang sangat sempurna. Hendaknya begitulah para pelayan ummat (pejabat publik) dalam menjalankan tanggung-jawab jabatannya. Di Jepang, kita mendengar ada seorang pejabat mundur dengan sukarela karena memberi perlakuan khusus atas rekan bisnisnya untuk mendapatkan proyek. Atau tengoklah kisah Muh Hatta diatas, keteguhannya menjaga rahasia negara berupa informasi sanering ia jaga benar, sampai-sampai istrinyapun tidak ia beri tahu. Sehingga uang tabungannya yang sudah dikumpulkan berbulan-bulan untuk membeli mesin jahit nilainya mengecil karena sanering. Padahal apalah salahnya Muh Hatta memberi tahu saja informasi itu, sehingga dengan tambahan sedikit uang istrinya sudah bisa membeli mesin jahit sebelum sanering dilakukan. Toh ini bukan korupsi. Tetapi sekali lagi, teladan luar biasa dari seorang pejabat publik yang tahu memisahkan kepentingan negara dan kepentingan pribadi. Bagaimana di negri ini? Kita membaca seorang wakil rakyat, pemimpin sebuah partai, memanggil seorang pejabat kementrian untuk datang ke kantor partainya. Tidakkah ia malu pada Umar yang mematikan lentera Istananya karena anaknya datang untuk urusan keluarga. Pada jaman Umar, tentu teori “tata kelola pemerintahan yang baik atau good corporate governance” mungkin belum ada, tetapi ia sudah mempraktekkkannya. Sangat sulit dimengerti, bahwa pencampur adukan kepentingan publik dan golongan terjadi begitu nyata. Kalaulah tujuannya memang baik yaitu meyampaikan permasalahan umum, yang pasti cara seperti ini salah, karena tidak sesuai dengan logika sehat menjalankan pemerintahan. Semoga pelajaran Lentera Istana Umar masih belum terlambat untuk diingat dan dicontoh. Wassalam *** Oleh Akhmad
Sabtu, 14 September 2013
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 comments:
Posting Komentar