Namaku Izrail
“Wahai anakku! Jika ada sesuatu yang tak bisa kau pastikan bila dia datang, maka persiapkan dirimu untuk menghadapinya sebelum dia mendatangimu sedang engkau dalam keadaan lengah”
(Nasihat Luqman kepada anaknya)
Tiba-tiba saja ia berdiri dihadapanku. Memperkenalkan diri entah dari mana. Terus terang, aku melongo ketika orang atau lebih tepatnya mahluk itu ada dihadapanku. Entah kenapa, aku tidak terlalu kaget. Hanya saja, memang muncul rasa heran dan takut. Tubuhku yang sedang berbaring setengah terangkat. Aku menatap bengong melihatnya berdiri di hadapanku. Meski rasa takut menyergapku, aku seakan-akan tidak merasa asing dengan sosok ini.
Kayanya pernah kenal, tapi dimana gitu. Dalam beberapa saat aku seperti pikun. Lupa. Tepatnya nggak tau apakah pernah bertemu dengannya atau tidak. Sepertinya aku mengalami dejavu, pikirku.
Cukup lama ia memandangku dengan diam, setelah dia menyebutkan namanya begitu saja. Padahal aku nggak minta diperkenalkan. Boro-boro perkenalan, dia begitu saja mengada, makanya siapa diapun aku nggak ngeh. Izrail katanya. Siapa ya? Rasanya nama itu pernah kudengar dengan baik. Tapi aku lagi-lagi tidak mampu menggali memori dari otakku yang tiba-tiba menjadi beku.
Ia nampaknya termasuk mahluk yang tak mau tau. Tepatnya super cuek. Apakah aku mau atau tidak, nampaknya ia memang tak peduli. Bilamana ia mau, ia akan memperkenalkan diri. Bila tidak, ya sudah lewat begitu saja. Tak peduli orang yang disapanya mau atau tidak. Apakah yang di datanginya jantungan atau tidak. Baginya itu nampaknya tidak menjadi soal benar.
Apalagi kemunculannya yang tiba-tiba begitu. Seperti menyergap dari ketiadaan, muncul begitu saja. Bagi yang penakut, mungkin kemunculannya bisa membuat semaput. Dia seperti hantu. Untungnya aku termasuk bukan manusia yang kagetan. Sehingga kemunculannya yang tiba-tiba itu tidak terlalu membuatku semaput. Tapi yang jelas memang otakku jadi beku. Seperti sekarang ini. Memandang dengan bodoh kesosok yang luar biasa ganteng ini.
Kupikir-pikir, memang aku belum pernah melihat wajah seperti dia ini. Wajahnya lebih mirip manekin yang dipajang ditoko-toko ketimbang manusia. Halus, berkulit bersih, bahkan seperti menimbulkan pendar sinar. Meskipun, kebersihan kulitnya agak sedikit tidak lazim dengan warna bersih yang memerah dadu seperti pipi bayi itu. Dia senyam-senyum dikulum, seperti seorang teman lama yang sedang menggoda. Wah, pikirku, ni orang kalau ikut kontes Indonesian Idol atau AFI barangkali langsung menang, yang lainnya langsung bertumbangan.
“Sudah tau siapa aku?”, lanjutnya memecahkan kebingunganku.
“Eh..emmmm yyyaa…siapa ya”, dengan sedikit gemetaran dan tergagap-gagap aku menjadi grogi, tapi lagi-lagi aku masih belum ngeh siapa dia, padahal dia sudah menyebutkan namanya. Nama itu memang terdengar tidak asing. Cuma, aku lagi-lagi lupa dimana pernah mendengar nama itu.
Dia tersenyum simpul. Swear, senyumnya termasuk kategori senyum manis bagi makhluk berjenis kelamin laki-laki (terus terang saja gender ini perlu saya buat dengan font italyc karena saya sendiri bingung ini orang laki-laki atau perempuan).
Kemudian dengan perlahan ia berkata” Aku diminta menjemputmu…”.
“Siapa?”, tanyaku masih setengah bingung.
“Dia…”, katanya pendek.
“Dia siapa ya?”, tanyaku lagi, otakku masih beku, tak bisa menduga dan tak tahu dengan yang ia maksud.
“Kkkamu sendiri siapa?”, tanyaku dengan sedikit gagap tetapi lebih mantap.
Keberanianku muncul begitu saja. Nampaknya, ia tidak kaget dengan reaksiku yang nampaknya masih belum begitu jelas. Aku sendiri masih mencoba mengingat-ingat. Tapi, rasanya memang sel-sel kelabu otakku jadi tumpul tak bisa berpikir. Entah kenapa, kemampuan berpikirku jadi mandeg. Daya ingatku seperti berputar-putar tak menentu, tak bisa mengatur alur logis yang benar. Melompat-lompat dan terputus-putus begitu saja seperti komputer yang perangkat lunaknya error karena kerusakan prosesornya. Kira-kira pernah kenal dimana dengan sosok aneh ini. Tanpa ba-bi-bu lagi nongol dan langsung memperkenalkan diri. Kucoba mengingat-ingat sekiranya aku pernah bertemu dengannya. Disuatu tempat, di suatu waktu.
Disela-sela kepikunannku, aku mencoba mengingat-ingat. Apakah teman sekolahku dulu pikirku. Ah, kelihatannya bukan. Tapi tetap tak bisa kuingat, siapakah pemilik sosok ganjil dihadapanku ini. Lagi pula kami masih sering kumpul-kumpul satu sama lain, meskipun sudah hampir 10 tahun angkatan kami habis alias pada lulus dari bangku kuliah. Ah, nampaknya bukan. Pelan-pelan kuhimpun daya ingatku, sedikit demi sedikit aku merasakan otakku melumer.
Tak ada dari temanku yang penampilannya mirip dia ini. Meskipun dari lain jurusan, aku masih ingat satu persatu beberapa temanku semasa kuliah dulu. Frame demi frame aku mencoba memutar kembali wajah-wajah temanku. Si Bambang yang pernah dipenjara dulu karena aksi bakar ban di kampus. Atau si Nirwan yang jadi budayawan. Walaupun aku cuma satu dua kali ketemu dengan dia toh aku masih mengingat wajahnya. Bahkan beberapa teman satu kampus yang cuma kenal muka pun aku masih rada-rada ingat. Lha yang ada didepanku ini benar-benar asing banget. Walaupun samar-samar wajah itu seperti familiar dengan ku.
Wajah sesosok wanita melintas sekilas, Ah tapi bukan dia, bukan dia, dia sudah lama pergi. Aku tepiskan bayangan yang melintas dari masa lalu itu. Entah kapan ketemunya akupun tidak tau. Tapi memang ada satu wajah yang sempat melintas dikepalaku, tapi tidak mungkin dia, soalnya dia memang cewek. Tapi, yah yang berdiri di hadapanku ini memang susah kujelaskan apakah cewek atau cowok. Ahhh, mungkin kawan se SMA dulu pikirku. Mencoba tidak menyerah, untuk mengingat dia yang tiba-tiba berdiri didepanku. Ingatanku pun melayang ke SMA dulu untuk mencari-cari dan mencocokkan siapa gerakan teman SMA yang mirip-mirip dia ini. Lagi-lagi aku tidak menemukan sesorang pun yang mirip dia. Kemudian kujelajahi kenangan SMP dan sekolah dasar.
Blank…
Benar-benar blank nih pikirku, persis komputer yang tidak ada BIOS-nya. Siapa dia ini ya. Aku membatin, sambil menatap sosoknya. Mereka-reka, mencoba mengingat dan menggali dari sel-sel kelabu diotakku. Uhh…, rasanya…nggak ada ingatan sama sekali tentang sosok yang satu ini.
“Ngomong-ngomong sebenarnya kamu ini siapa…”, kegugupan dan kebengonganku sudah hampir lenyap. Ganti keingintahuanku muncul tentang dia sendiri.
Sejenak ia menatapku lekat-lekat, kemudian “Ehm..aku sebenarnya pernah kamu kenal duluuuuu sekali”. Ia malah menjadi sedikit grogi. Ia mencoba memberi penekanan pada kata dulu. Jadinya terdengar sedikit aneh. Dan terus terang, senyum dikulumnya itu membuat beberapa bulu-bulu halus ditekukku mulai meremang.
“Dddulu kapan yyya?” lanjutku setengah gemetar menuntaskan keingintahuanku.
“Ya dulu, sewaktu kamu baru mau disinari oleh Dia”.
Ha….apa maksudnya “disinari”. Disinari apaan ya.
(Sepotong ayat tiba-tiba melintas, membuka suatu kenangan asosiatif masa yang telah lama sekali berlalu, Alif Laam Mim Raa, (QS 13:1).
Lagi pula, kok ucapannya sangat takzim sewaktu ia ucapkan “Dia”. Bahkan setengah takut-takut.
“Aku diminta segera menjemputmu”, katanya sedikit lebih takzim kepadaku.
“Haaa”. Aku melongo antara bingung, heran, takut, dan takjub menjadi satu.
Namanya Izrail
“Ya Allah”, ujarku setengah tak percaya. “Engkau…engkau… Izrail malaikat?”, tanyaku.
Ia mengangguk. Baru kusadari ia yang berdiri di hadapanku ini memang berkulit sangat bersih. Bahkan bisa kubilang bersinar. Persis seperti gambaran buku-buku tentang orang-orang yang ahli ibadah. Halus, nyaris tanpa otot dan bulu. Ya mirip kulit bayilah. Ya bulu, sama sekali tidak ada bulu dikulitnya. Wajahnya ganteng, bahkan nyaris cantik. Mungkin kenyal-kenyal dikit kalau dipegang-pegang seperti bunyi iklan sabun mandi “Dove”, pikirku. Aku yakin, ia bisa menjadi Casanova nomor wahid kalau ia mau. Atau kalau mau jadi iklan sabun mandi, mungkin cocok untuk sabun mandi apapun. Dalam arti sabun mandi kecantikan atau kegantengan. Soalnya memang sampai saat ini, kalau saja ia tidak bersuara, sulit sekali membedakan antara laki-laki atau wanita.
Rambutnya teratur rapi tidak panjang dan tidak terlalu pendek, lurus tergerai. Sedang-sedang saja, tidak seperti orang yang habis bercukur maupun tidak bercukur lama. Malah nampaknya tidak pernah ditumbuhi kumis. Alisnya nyaris bertemu diatas hidungnya yang bangir. Dengan sorot mata yang lembut namun dingin. Bibirnya seolah terus-menerus tersenyum simpul, setengah meledek melihat kebingungan dan sekarang kekagetanku. Bahkan, sebenarnya lebih mirip bibir joker musuh bebuyutannya tokoh komik Batman dan Robin atau salah satu bintang film yang menjadi ikon sabun mandi terkenal. Walah…, senyumnya memang mirip Tamara Blezinky.
Tidak ada yang aneh sebenarnya kalau saja orang tidak berada dalam jarak dekat. Aku yang cuma beberapa puluh senti darinya bisa melihat keganjilan sosok yang jangkung dan tampan ini. Bau harum yang tak pernah kucium dari bunga atau pewangi manapun dihirup hidungku. Rasanya bau harum, manis, dan menenangkan. Kok ya, si Izrail ini pake minyak wangi darimana pikirku. Bisa membuat aroma terapi seperti itu. Mungkin efek wewangian ini juga yang menenangkan diriku, Entahlah, aku sendiri masing dipengaruhi kebengongan dan kebingungan.
Aku masih membanding-bandingkan sosoknya dengan beberapa public figure yang sering kulihat di bioskop dan televisi. Seingatku tidak ada peragawan ataupun bintang film yang mirip dengan dia ini. Leonardo Di Caprio yang tampan imut-imut pun tidak seperti dia, atau Pau Min Che yang aktor F4 pun jauh banget. Entah suku apa si Izrail ini. Dari melongo, kaget, bingung sekarang ada yang merambat pelan-pelan disekujur tubuhku. Bulu-bulu kudukku berdiri serentak, meremang diantara keringatku yang mulai merembes dan terasa dingin disekujur tubuhku. Aku mendadak disergap rasa takut amat sangat.
Namun itu tak berlangsung lama. Entah darimana datangnya, perasaanku yang campur aduk itu menemukan titik keseimbangannya manakala mencermati sosok yang berdiri dihadapanku ini. Wah, memang efek wewangian ini yang membuatku tenang pikirku. Tubuhku sudah kembali ke posisi rebahan di pembaringan. Tanpa daya. Kuamati lagi sosok Izrail yang ada di hadapanku. Tepatnya bukan dihadapanku. Tapi diujung ranjangku.
Ya, saat itu aku sebenarnya lagi terbaring lemas dipembaringanku. Bukan sakit atau pun meriang. Cuma seperti kurang gairah. Waktu itu sudah menjelang tengah malam. Jadi sebenarnya aku sudah bersiap-siap mau rebahan untuk tidur setelah membolak-balik beberapa lembar surat dari Al Qur’an versi H.B. Jassin yang diberi judul “Bacaan Mulia”. Namun kedatangannya yang tiba-tiba membuyarkan kantukku. Tak ada yang bisa kukatakan saat itu. Pelan-pelan, karena kulihat ia juga cuma berdiri disitu, aku mulai mencoba menenangkan diri. Menatapnya dengan tolol. Lalu kuberanikan diri membuka dialog lagi setelah beberapa detik kebisuan melanda kami berdua. Aku mulai menyadari datangnya sesuatu.
“Sudah waktunyakah aku?”, tanyaku pelan. Sangat pelan sekali. Kupikir ia tak mendengar ucapanku. “Ya, sudah saatnya menghadap Dia”, katanya. Beberapa jenak aku pun cuma bisa menatapnya lagi. Tanpa komentar dan rasa apapun. Hambar. Lalu entah bagaimana tiba-tiba saja aku nyeletuk tenang. Lagi-lagi, kurasakan ketenanganku karena pengaruh wewangiannya.
“Boleh aku meminta sesuatu sebelum engkau mengambilku…”, harapku. Ia tidak kelihatan bimbang, malah sepertinya sudah tau kalau aku akan sedikit rewel. Ia cuma mengangguk. Lalu, entah ide darimana, lidahku fasih bertanya. “Ceritakan tentang kamu…”.
Hikayat Izrail
Begitu saja. Ketika Ia Berkehendak melimpahkan rahmat dan kasih sayang-Nya, maka aku mengada seperti yang lainnya dari jenisku. Tercipta begitu saja dari al-Haba dan Nur Muhammad, berkas-berkas debu dan cahaya yang memanifestasikan Kun Fa Yakuun. Aku adalah satu diantara yang tak terhitung, yang Dia ciptakan untuk menjaga kelangsungan Kun Fa Yakuun. Aku adalah bagian dari Kehendak dan Kemahakuasaan-Nya. Ada milyaran proses yang menyertai Kuasa-Nya. Sejumlah itulah kami ada. Baik yang nyata maupun yang kasat mata. Baik yang terasa maupun tidak terasa. Baik di dalam maupun di tapal batas semesta.
Masing-masing dari kami mempunyai tugas-tugas yang spesifik. Aku adalah salah satunya yang bertugas setiap saat, bersiap sedia bilamana semua makhluk sudah tiba untuk dikembalikan kepadaNya. Karena aku dari jenis makhluk yang mengikuti kepatuhan-Nya, maka aku sebenarnya tidak pernah terikat oleh ruang dan waktu, kendati aku selalu mengikuti arus Sang Waktu, seperti layaknya mahluk lain yang berada dalam kisaran tersebut.
Jadi pendeknya aku tak pernah mati, sebelum yang lainnya kumatikan atas kehendak-Nya. Atau makhluk semacam itulah; Yang bertasbih tanpa kenal lelah, tak kenal waktu ataupun pengertian-pengertian relativistik seperti yang dinisbahkan kepada kaummu.
Tugasku ya seperti yang kamu rasakan ini, mengembalikan serpihan-serpihan cahaya kembali ke asalnya, ke awal mula penyaksian-Nya, ketika kalian bersaksi “Ya, Kami bersaksi!” . Aku biasanya cuma sekedar menerima catatan dari Lauh Mahfuzh, siapa-siapa yang harus kujemput saat itu. Hanya saja, karena aku tak pernah mengenal waktu, aku bisa berada dimana saja, kapan saja, tapi bukan Coca Cola lho.
O ya, ngomong-nomong soal debu & cahaya. Memang aku terbuat dari serpihan-serpihan debu & cahaya yang menjaga proses Kun Fa yakuun. Sebenarnya, aku dan yang lainnya ada karena Dia mempunyai Kehendak dan Keinginan Yang Tak Terbantahkan; Dia ada karena Kekekalan diri-Nya, kemandirian-Nya, sehingga bagi selain-Nya, maka Dia adalah Perbendaharaan Tersembunyi.
Aku ada, makhluk lainnya juga ada, semata-mata karena limpahan rahmat dan kasih sayang-Nya, sehingga ketika Dia mendeklarasikan Kekekalan-Nya dan Kemandirian-Nya yang Absolut maka Dia berkata:
“Kuntu kanzan makhfiyyan fa ahbabtu an u’rafa fa khalaqtu al-khalqa fabi ‘arafu-ni –Aku pada mulanya adalah harta yang tersembunyi, kemudian Aku ingin dikenal, Kuciptakanlah makhluk maka melalui Aku mereka kenal Aku.
Dia ucapkan Basmalah sebagai Rahmat dan Kasih Sayang yang Dia limpahkan, sebagai bagian dari Perbendaharaan-Nya yang tak akan ternilai oleh semua makhluk-Nya, tak akan terbalaskan kecuali oleh rahmat dan hidayah-Nya sendiri. Maka, dalam pemeliharaan Asma Ar-Rahmaan dan ar-Rahiim, Dia firmankan kehendak-Nya “Jadilah!” dan muncullah cahaya kemegahan-Nya sebagai Nur Muhammad, sebagai citra awal mula-Nya yang sempurna; kemudian aku mengetahui bahwa melaluinya aku akan mengenal-Nya.
Dalam pusaran wawu, yang berputar melawan detak Sang Waktu, Nur Muhammad adalah cahaya-Nya yang tidak tercitrakan di alam nyata; kecuali bagi mereka yang memiliki qolbu Mukminin dan mereka yang menempatkan dirinya sebagai bagian darinya. Ketika Nur Muhammad menyinari zarah tanpa massa, yang kelak ditakdirkan menjadi al-Haba, maka dalam kuatnya pusaran wawu, Thaasin adalah firman-Nya yang memaujudkan kekuasaan-Nya, terciptalah minyak zaitun yang diberkahi, yang kilau kemilaunya mampu menerangi, kendati tanpa disentuh api.
Simetri Kegaiban Mutlak-Nya pecah mandiri karena kehendak-Nya semata; Maka dari Kegaiban Mutlak-Nya, melimpah dengan Rahmat dan Kasih Sayang-Nya, al-Iradah-Nya goncangkan kegaiban sehingga gelombang al-Qudrah-Nya maujud mencapai batas-batas untuk segera munculkan al-Haba sebagai debu awal mula dan semburat cahaya Nur Muhammad meneranginya, hingga “Jadilah!” lelehan minyak zaitun itu seperti minyak tak tembus cahaya, lantas kehendak-Nya terkonfirmasikan sebagai plasma awal mula yang meledak-ledak dengan sendirinya, ciptakan gelombang Dentuman Awal Mula (Big-Bang), yang lontarkan al-Haba sebagai debu-debu materi pemula, yang luaskan ruang awal-mula dalam ketakberhinggaan Sang Waktu yang mengada menjadi fondasi alam nyata; darinya muncul salah satu kaumku yang mampu menjangkau setiap sudut-sudut semesta; membangun superspace awal mula; Dari Nur Muhammad, maujud salah satu kaumku mengikat semua maujud al-Haba menjadi semua makhluk, baik sendiri-sendiri sebagai
gelembung-gelembung kuantum, maupun sintesa dari banyak zarah menjadi citarasa-citarasa , inti-inti, atom-atom, molekul-molekul, sel-sel, jaringan-jaringan, organ-organ, obyek-obyek, menjadi galaksi-galaksi, menjadi bintang-bintang, menjadi planet-planet, batuan, pegunungan, lautan, tumbuhan, binatang, manusia, dan menjadi dirimu.
Kaum mu, tercipta dari proses setelah milyaran tahun Kun Fa Yakuun berjalan. Itulah tanah lempung dari seluruh penjuru bumi, yang pernah kuambil dulu. Lantas kemudian Dia tiupkan Ruh dari cahaya-Nya. Dia berfirman ketika itu,
Alif Laam Ra, (Qs 2:1)
Alif Laam Mim Ra (Qs 13:1)
Cahayamu Dia ciptakan dengan penuh rahmat, kasih sayang dan kemuliaan-Nya. Maka “Jadilah!” kaummu yang mengemban semua amanat kesempurnaan citra-Nya; Amanat yang tak sanggup diemban kaumku, amanat yang tak sanggup diemban oleh semua makhluk kecuali kaummu. Adam yang diciptakan sebagai manusia sempurna pertama, adalah moyangmu, yang memahami asmaa-a-kullahaa, yang menjadi khalifah pertama mengemban amanat itu.
Kamu mungkin heran, kalau aku sendiri sebenarnya mahluk yang sangat tak kasat mata. Serpihan al-Haba dan Nur Muhammad adalah bahan bakuku, yang terhalus ciptakan diriku. Disaat tertentu kaumku jadi sangat nyata dan bisa berbentuk apa saja.
Persis seperti cahaya yang memantul atau bayang-bayang yang timbul dari setiap makhluk dibawah cahaya. Karena aku dekat dengan esensi dirimu, maka penampakkanku sebenarnya sangat tergantung pada apapun yang menggerakkan tindakanmu, motivasimu, dan niat-niatmu. Bagi kaum sejenis ku, bentuk tak berarti apa-apa.
Selama milyaran tahun, Dia telah menetapkan masing-masing dari kami dengan urusan-urusan yang spesifik. Dia telah berfirman, Thaahaa (QS 20:1) Untuk menyingkapkan segala sesuatu, dari Asma-asma-Nya yang menjadi ketentuannya. Yang kelak engkau kenal sebagai, Alif, Ba, Jim, Dal (ABJAD) 1,2,3,4 (desimal) 10101010….(biner)
Kami adalah kaum spesialis, dengan perintah-perintah-Nya, yang tak bisa kami bantah. Kami menyertai setiap gerak-gerik segala makhluk selain kaum kami. Karena tugas kami memang begitu. Kami awasi segala perilaku dan tindak tanduk kaummu, kesesatanmu, kemuliaan-mu. Kami bukan memata-matai, tetapi sekedar mencatat atau tugas-tugas khusus lainnya.
Semuanya kami catat sesuai dengan yang kami ketahui. Tapi lebih tepatnya menjadi saksi atas proses kesempurnaanmu, dengan rahmat, anugerah, kasih sayang, hikmah, keadilan dan kebijaksaan-Nya. Dia telah berfirman dengan kelembutan sebelum semuanya ditampilkan dengan Basmalah, Kaf ha ya Ain Shaad (Qs 19:1) Kelembutan itu adalah “yatalaththaf” (Qs 18:19) yang memunculkan Rahmat dan Kasih Sayangnya ketika Kun fa Yakuun (Qs 36:82) dicetuskan sebagai perintah penciptaan dengan ketentuan yang pasti terjadi (QS 69:1).
Tugas yang kuemban entah sampai kapan, aku sendiri tidak pernah diberi tahu. Seperti aku misalnya. Tugasku sangat spesifik untuk mengembalikan ruh segala mahluk kembali kepada-Nya. Setelah itu, ya sudah, petugas yang lain dari jenisku akan meneruskan proses itu. Begitu saja setiap saat dari waktu ke waktu. Monoton memang. Tapi entah kenapa aku senang-senang saja menjalankan titah-Nya itu. Bagiku menjalankan perintah-Nya bukan sekedar tugas atau perintah. Tapi menggairahkan unsur-unsur pembentukanku.
Entah sudah berapa banyak aku mengembalikan ruh setiap mahluk di semesta ini. Dari kaum apa saja, dari ras apa saja. Yang baik-baik ataupun yang durhaka. Yang sedang sekarat ataupun yang sehat-sehat saja. Pokoknya, yang berdiam disetiap sudut semesta, yang mengikuti proses sejak Kun Fa yakuun difirmankan.
Aku sendiri, tentu saja menjadi bagian dari proses itu. Tapi karena kuasa-Nya, tugas kami memang cuma menjaga agar proses itu berjalan seperti yang Ia Kehendaki. Kehendak-Nya adalah Kemutlakkan-Nya. Maka kaum kami seringkali merupakan bagian dari apa yang disebut sunnatullah. Aturan dan ketetapan-ketetapan yang menyertai kun fa yakuun, baik yang pasti atau tidak pasti.
Kenapa Aku? Kenapa aku yang ditugasi begitu? Ini ada sejarahnya. Kan tadi sudah kukatakan, bahwa aku dulu pernah mengambil debu dari bumi. Ketika Dia hendak menciptakan Adam, moyangmu itu, Dia mengutus satu malaikat yang sebenarnya tugasnya memikul ‘Arsy untuk membawa debu dari bumi.
Ketika dia ngotot ingin mengambil debu dari bumi, Bumi berkata “Aku memintamu demi Zat Yang telah mengutusnya agar engkau tidak mengambil apa pun dariku sekarang yang neraka memiliki bagian darinya”. Malaikat pemikul Arsy terkejut, maka dia pun batal mengambil debu bumi.
Ketika ia melaporkan kepada-Nya, Dia berfirman “Apa yang mencegahmu untuk membawa apa yang telah aku perintahkan kepadamu?”. Dia menjawab, “Bumi telah meminta kepadaku demi keagungan-Mu, sehingga aku merasa berat untuk menolak sesuatu yang meminta demi Keagungan-Mu”. Maka Allah kemudian mengutus malaikat lainnya kepada bumi, tetapi bumi mengatakan alasan yang persis sama seperti sebelumnya.
Demikian sampai entah berapa milyar tahun dalam ukuranmu sampai Allah mengutus semuanya. Akhirnya Allah mengutusku untuk mengambil debu. Bumi pun mengatakan seperti sebelumnya. Tapi, sudah menjadi kehendak-Nya kalau segala sesuatu yang berhubungan dengan debu dan tanah liat akan ditugaskan kepadaku. Aku berkata kepada bumi,”Sesungguhnya Dia yang mengutusku lebih berhak untuk ditaati daripada kamu”.
Bumipun bungkam seribu bahasa dan pasrah atas kehendak-Nya. Akupun mengambil dari permukaan bumi seluruh tanah yang baik dan buruk, semua unsur yang ada di Bumi yang mengandung Carbon, Hidrogen dan Oksigen, dan membawanya kepada-Nya. Lalu Dia mengucurkan air surga kekumpulan debu bumi itu sehingga menjadi lumpur hitam yang diberi bentuk yaitu minthiin (Qs 23:12), dan darinya Ia menciptakan Adam.” Itulah sebabnya kenapa aku ditugaskan untuk mengambil ruh manusia dan mengembalikannya ke Yang Berhak Menentukan Nasib.
Aku tak mengenal belas kasihan. Dulu, aku pernah berbelas kasih kepada manusia yang hendak kucabut nyawanya. Namun, kehendak Allah mengandung rahasia-rahasia yang tersembunyi, sehingga akupun malu melakukan penentangan Kehendak-Nya. Suatu hari, aku diperintahkan mencabut nyawa seorang perempuan di padang pasir yang panas. Ketika kudatangi, dia baru saja melahirkan anak laki-laki. Aku menaruh belas kasihan kepada perempuan itu karena keterpencilannya, dan juga kasihan terhadap anak laki-laki perempuan itu karena masih bayi namun tidak terawat di tengah padang pasir yang buas. Namun fatal akibatnya, karena anak kecil dimana aku menaruh belas kasih itu ternyata adalah penguasa lalim dan tiran yang tak ada duanya di bumi. Dari situ, aku memahami bahwa “Mahasuci Dia yang memperlihatkan kebaikan kepada yang dikehendaki-Nya!”.
Ketika aku berbelas kasihan, maka aku tidak mencabut nyawa bayi itu, tapi aku kemudian menyesalinya karena apa yang kuanggap kebaikan ternyata benih kejahatan yang kubiarkan tumbuh karena aku salah menafsirkan kehendak Tuhan
Izrail terdiam sejenak. Agaknya ia masih mengenang apa yang dilakukannya dulu. Kemudian ia melanjutkan. Jangan tanya siapakah ibu bapakku, seperti layaknya makhluk lainnya yang beribu bapak. Katakan saja, aku manifestasi Kehendak Yang Kuasa. Manifestasi al-Qudrah setelah Ia memfirmankan “kun!”.
Seperti saya bilang tadi, kaum sejenisku tercipta begitu saja karena Ia Berkehendak. Kalau kamu bertanya berapakah banyak tugas yang telah kulakukan? Aku sendiri tidak tahu. Benar-benar tidak tahu. Karena pengetahuan tentang itu tidak kami miliki.
Ada yang lain dari jenisku yang melakukan hitung menghitung. Itu bukan tugasku. Aku jadinya memang mahluk yang sangat spesifik. Sebenarnya kalau soal spesialisasi begini, kami tidak ada apa-apanya dibanding kalian manusia. Soalnya, hanya kaum kalianlah yang diberi kehendak bebas untuk berpikir, memilah dan memilih dengan bertanggung jawab. Kaum kami tak sanggup memikulnya, karena kami telah melihat dampak-dampaknya yang mengerikan.
Dia pun menghendaki kami bertasbih dan sujud dihadapan Nenek Moyangmu. Pernah kami protes begini-begitu sewaktu kami diberitahu bahwa Dia Berkehendak menciptakan mahluk manusia. Namun, Dia Maha Mengetahui atas apapun yang terjadi sejak Awal dan Akhir.
Kami sebenarnya terikat Sang Waktu seperti kaummu. Sang Waktu adalah kaum sejenisku. Ialah yang memungkinkan perubahan. Kami sebenarnya pun tau kalau manusia akan selalu begini begitu di semesta yang Dia ciptakan dengan rahmat dan kasih Sayang-Nya yang tak terbalaskan. Yang tidak kami miliki ada pada makhluk yang satu ini. Keinginan, akal, dan atribut lain yang kami tau bakal jadi masalah nanti.
Kami memang sedikit iri, sampai Dia menunjukkan kuasaNya atas semua makhluk manusia. Kalian sebenarnya lebih tahu dari kami atas segala mahluk yang pernah Ia ciptakan.
Kami pun lalu sujud dihadapan nenek moyangmu, Adam. Cuma satu makhluk yang tak mau sujud. Ialah Iblis yang kemudian akan selalu mendampingi kalian dalam proses Kun Fa yakuun. Maka, iapun terkutuk. Allah berfirman :
“Keluarlah engkau dari padanya, karena sesungguhnya engkau terkutuk, dan sesungguhnya laknat atasmu sampai hari kemudian.”
Begitulah, Iblis pun menjadi musuh abadimu dan musuhmu yang sejati. Ia menyusup di kumpulan-kumpulan debu al-Haba yang sekarang maujud menjadi semua bentuk, karena keinginan, karena hasrat, karena syahwat, karena ketamakan, kerakusan, kesombongan, dan penyakit-penyakit Sang Iblis lainnya. Aku tak kuasa mengusirnya dari sekitarmu, soalnya memang bukan tugasku. Kan tadi sudah kubilang kaumku adalah kaum spesialis. Begitulah aku.
Izrail mengakhiri kisahnya. Aku terdiam. Kemudian, karena tugas-tugasnya itu aku bertanya tentang cara dia mengakhiri kehidupan seseorang, cara dia mengambil ruh makhluk bernyawa. “Proses pengambilan ruh? “, dia mengangkat alisnya.
Sebenarnya bagaimana caraku mengambil ruhmu itu tergantung dari banyak hal. Dan semuanya ada didiri kamu sendiri. Ada yang mungkin menurutmu kelihatan mudah, ada juga yang sulit. Ada yang berkesan ada juga yang tidak menyimpan kesan apa-apa. Aku sendiri tidak tau kenapa bisa tidak berkesan sama sekali. Ia maunya begitu kok.
Cara mengambilnya pun macam-macam. Kan sudah ku bilang kalau bahan dasarku adalah cahaya. Penampakanku sebenarnya tergantung dari kamu sendiri. Ada banyak hal yang mempengaruhi penampakan ku. Tapi, yang utama memang segala gerak gerik dan tingkah laku yang pernah kamu lakukan di semesta ini, akan mempengaruhi wujud penampakkanku.
Demikian juga cara mengambil ruh kehidupan yang bersemayam di wujud fisikmu, tergantung pada kebandelan dan kepatuhanmu. Memang kaum mu ini termasuk makhluk yang diistimewakan-Nya. Sangat disayang, sangat sempurna dibanding makhluk lainnya. Hanya, seringkali kaum kamu itu ngeyel.
Kalau tidak, malah bisa dibilang pin-pinbo alias pintar pintar bodoh. Dan yang paling menjengkelkan, kalau kaum kamu ini sudah dikuasai oleh penyakitnya Sang Iblis yang terusir. Walah, susahnya minta ampun. Padahal pengambilan ini sebenarnya proses yang biasa-biasa saja. Kamu sendiri kan tahu tiap saat ada saja yang kuambil. Dengan baik-baik atau dengan paksa, dengan sendiri-sendiri atau berkelompok, dengan senang atau dengan ketakutan. Memang sih aku sering datang tiba-tiba. Maklum namanya cuma makhluk yang cuma menjalankan perintah. Aku sendiri tidak tahu kapan harus segera menemuimu. Itu rahasia Dia Yang Penuh Rahasia.
Kaum kami pun, yang bisa dibilang 100 % patuh dan selalu beribadah kepada-Nya, tak tau apa-apa kalau menyangkut urusan takdir makhluk. Sungguh, tugas kaum kami cuma memenuhi perintah Dia. Memang sih seringkali ada delay sewaktu kami menjalankan tugas. Biasanya kalau ada delay, kehadiran kami akan didahului aura yang mempengaruhi kelakukan mahluk yang akan kami ambil. Mungkin kamu sendiri tidak menyadari hal itu. Tapi begitulah. Kaum kamu sebenarnya ada di dalam genggaman-Nya dengan ketat. Ada yang digenggam erat-erat. Ada yang direnggangkan, sampai kesombongan menyergapnya. Dan mengira, dirinya sangat hebat dan berkuasa, sampai-sampai dia pun menafikan peran Tuhannya. Padahal, semua malapetaka, semua kehinaan, semua hal yang buruk-buruk dapat terhindar dari dia semata-mata karena Dia sangat menyayanginya.
Akhirnya, kesombongan itu menjerumuskan dirinya dalam banyak kesesatan dan kebodohan. Benar, sombong, bodoh dan sesat itu sebenarnya hampir beriringan, karena itulah karakter Azazil, sang Iblis yang mengira dirinya pantas disujudi karena ilusi kesuciannya. Banyak kaummu yang terkena ilusi palsu itu. Maka berhati-hatilah, sebenarnya semua manusia mempunyai peluang untuk tergelincir ke dalam perangkap tipu daya Sang Durjana yang dikutuk oleh-Nya.
Kami yang mempunyai tugas mengambil sebenarnya cuma satu. Berhubung kami tidak terikat dalam proses yang kalian jalani, tidak oleh ruang maupun waktu, sepintas kami kelihatan ada banyak. Memang begitulah kejadiannya. Dalam satu waktu ukuran kalian, kami bisa serentak mengambil banyak ruh dengan berbagai cara, dimana saja.
Sudah tak terbilang, berapa milyar ruh yang kuputuskan dari semua harapan dan impiannya, dari semua angan-angan dan cita-citanya, dari semua keasyikannya, dari semua kesenangannya, hartanya, istrinya, anak-anaknya, saudara-saudaranya, rumah-rumahnya, mobil-mobilnya, perusahaan-perusahaannya, jabatan-jabatannya, pacar-pacar gelapnya, dan lain-lainnya.
Tapi, itu tak cukup untuk mengingatkan manusia. Hingga iapun seperti keledai dipenggilingan masa, terperosok di lubang yang sama dari masa ke masa.
Kelalaian manusia dari mengingat kedatanganku nampaknya sudah menjadi penyakit zaman. Dari waktu ke waktu melakukan tugasku, kelalaian mereka terhadap kedatanganku menimbulkan rasa sombong dan berpanjang angan-angan. Entah sudah berapa banyak aku menghanguskan “business plan” mereka. Kaummu semestinya mengingat syair yang dibuat oleh seorang arif ini,
Ketahuilah, sesungguhnya ruh dalam keadaan telanjang dalam tubuh seorang hamba, ia akan diambil apabila dikehendaki dan dilepaskan apabila dikehendaki oleh-Nya. Maka Bersiaplah untuk mati wahai jiwa dan berusahalah untuk selamat, orang bijak yang siap meyakini bahwa tak ada keabadian bagi kehidupan dan tak ada tempat pelarian dari kematian.
Engkau hanya peminjam apa yang mesti dikembalikan. Kita bukanlah pemilik kehidupan ini, juga bukan pemilik tempat hidup ini. Kita tak berharta, tak berkeluarga, tidak juga anak-anak kita miliki.
Semuanya orang-orang telanjang. Jiwa kita menuju masa yang dekat, Yang Meminjamkan akan mengambil yang dipinjamkan.
Sebenarnya aku juga ditugaskan untuk mematikan malaikat, setan, iblis, pohon, binatang, dan makhluk bernyawa lainnya. Maka ia yang bernyawa, pastilah akan gemetar melihat kedatanganku.
Sebenarnya, ada banyak cara aku menarik ruh dari tubuh atau jasad mahluk bernyawa. Hal itu sebenarnya tergantung dari segala hal yang membentuk kamu, amal-amal kamu, dan kelakukan kamu. Mau tau bagaimana aku menarik ruh dari tubuh manusia? Aku menariknya langsung dari jasad yang hidup melalui ubun-ubun kepala.
Kamu seringkan menyedot minuman dari dalam botol? Persis! Seperti itulah aku menarik ruh manusia dari tubuhnya. Saat itu kulakukan, seluruh sel-sel genetis tubuhmu mulai dari ujung kaki, sedikit demi sedikit akan mati. Maka, jemari kakilah yang akan mengalami kematian pertama kali, baru kemudian bergerak ke telapak kaki, tungkai, kemudian ke betis, lalu paha dan seterusnya. Pada keadaan ruh kutarik, ujung-ujung kaki akan mengejang, kaku. Dengan cara yang sama setiap bagian tubuh pelan-pelan akan kesakitan amat sangat dan kemudian mati rasa, bertanda ruh sudah melalui bagian itu. Maka, berpisahnya tubuh dengan ruh akan terjadi setelah ruh dan tubuh merasakan sakit yang sangat dahsyat.
Bagaimana rasanya. Susah kugambarkan, karena aku cuma melihat saja, kan aku yang mencabut nyawa. Aku cuma melihat saja bagaimana manusia yang kucabut nyawanya berkelojotan dengan berbagai ekspresi rasa sakit yang dia rasakan saat itu. Jadi aku sendiri ndak tahu bagaimana rasanya ketika ruh kutarik dari jasad manusia.
Tapi, baiklah, dari pengalamanku mungkin gambarannya bisa kusimpulkan demikian : Rasanya seperti disayat-sayat karena ruh kehidupanmu, yang menempel disetiap atom tubuhmu, sel-sel genetismu yang menjadi jaringan syaraf, otot, pembuluh darah, persendian, rambut, kulit kepala, kulit yang membungkus tubuhmu, dan semua bagian tubuhmu kutarik-tarik, kubetot-betot dengan keras. Bayangkan saja jika ruhmu enggan meninggalkan dunia, maka semakin enggan, semakin sakitlah rasanya. Kalau ndak percaya, coba saja kamu cubit kulitmu keras-keras. Sakit kan!
Kamu pernah kan mengalami luka disayat. Perih! Begitulah teriakan sebagian dari mereka yang kucabut ruhnya. Tapi luka tersayat yang sering dialami manusia tidak seberapa dibandingkan dengan tercabutnya ruh dari jasadmu dengan paksa. Kalau sayatan luka kan cuma terjadi di sekitar luka saja, itupun sakitnya sudah luar biasa dan terasa di bagian tubuh lainnya. Bisa dibayangkan bagaimana kalau seluruh sel tubuh terasa disayat-sayat. Jangan heran kalau manusia akan berkeringat, menjerit, melolong-lolong, meraung-raung, dan menggeliat-geliat berkelojotan ketika ruh ditarik keluar dari kepompong tubuhnya.
Manusia akan terkuras tenaganya, akibat kelelahannya, ia bahkan tak lagi dapat bernafas, ia akan merasakan seperti tertimpa beban berat kesombongan, kedengkian, ketamakan, kemaksiatan, dan kejahilan lainnya. Namun demikian, apabila tubuh kuat, suara yang dikeluarkan ketika bernafas akan berbeda-beda. Ada yang dengan susah payah, ada yang mudah. Sesuai dengan amal yang pernah dilakukan tubuhnya.
Rasa sakit yang tak terkira muncul karena ruh yang lembut menjadi jinak dan menyatu setelah berhubungan dengan tubuh. Keduanya kemudian bercampur dan saling merasuki satu sama lain, sehingga keduanya seperti menjadi sesuatu yang satu. Ruh dan jasad menjadi melekat. Keduanya tak akan terpisahkan, kecuali dengan suatu upaya penarikan yang kuat, sehingga manusia merasakannya sebagai suatu kepayahan yang amat sangat dan sakit yang luar biasa.
Ketahuilah, kesukaanmu akan syahwat, nafsu dan materi serta keduniawian cenderung akan semakin melekatkan ruhmu dalam jasadmu. Kenapa demikian, ini karena atom-atom tubuhmu semakin memiliki energi yang tinggi, sehingga ikatan-ikatan atomis dalam tubuhmu akan semakin kuat.
Dikatakan bahwa tubuhmu menyimpan energi dalam yang berlebihan, sehingga seringkali energi berlebihan ini melonjak-lonjak dengan liar dan menumbuhkan berbagai syahwat dan nafsu. Kromosom-kromosommu akan terganggu, kode-kodenya yang asli akan jungkir balik, bahkan akibat langsungnya akan muncul menjadi berbagai penyakit yang payah seperti kanker, jantung, atau pikun. Itulah yang akan mencelakakanmu, akan menyiksamu.
Jadi semakin lekat ruh dalam jasad maka semakin sakitlah engkau rasakan ketika aku menarik-nariknya karena keengganan ruhmu meninggalkan jasadmu. Setelah rasa sakit tak terkira dan kekuatan jasad menurun, suara akan berangsur hilang, dan setiap bagian tubuh perlahan-lahan akan menjadi kaku.
Sakitnya penarikan ruh memang menggentarkan siapapun juga. Jangankan manusia biasa, para nabi dan rasul pun menggigil ketakutan manakala aku datang. Karena alasan itulah, seorang nabi yang paling dimuliakan diantara nabi-nabi dan rasul-rasul, Muhammad SAW, memohon kepada Allah SWT agar membebaskan beliau dari penderitaan dan kepedihan kematian.
Beliaupun sudah mengingatkan, “Perbanyaklah mengingat sesuatu yang menghancurkan kelezatan, yakni kematian.” Banyak orang arif dan ulama yang membuat syair tentang hilangnya kelezatan ketika aku datang. Kata mereka,
Allah menyebut keadaan tersebut dengan “sakrah”, karena sakitnya kematian disertai dengan keburukan yang dihimpun akan membuat semaput pemiliknya, sehingga biasanya kesadarannya hilang. Allah berfirman, “Dan datanglah sakratul maut dengan sebenar-benarnya. Itulah yang kamu selalu lari daripadanya (QS 50:19)”[17].
Bagaimana gambaran yang jelas mengenai rasa sakit dan penderitaan kematian memang bermacam-macam. Sehingga terdapat gambaran yang tidak persis sama, namun intinya serupa yaitu suatu rasa sakit yang tak terkirakan. Kamu mungkin dapat menyimak dari beberapa kisah tentang kematian berikut ini.
Hasan bin Ali pernah mendengar sabda Nabimu yang mulia yang mengatakan padanya bahwa “pedihnya kematian setara dengan luka-luka tiga ratus tusukan pedang”. Ali Bin Abu Thalib kwj. bahkan menyebutkan setara dengan seribu pukulan pedang. Bisa kamu bayangkan bukan bagaimana sakitnya. Jangankan dipukul pedang, lha luka tergores silet saja bisa membuat manusia mengaduh-aduh nggak karuan, apalagi dipukul-pukul seribu kali dengan pedang.
Gambaran lain menyebutkan, kalau pedihnya kematian itu lebih tajam dari gigi gergaji, lebih tajam dari mata gunting, lebih menyakitkan daripada dipanggang diatas kawah panas gunung berapi. Makanya ada pepatah yang mengatakan bahwa “maut lebih menyakitkan daripada tusukan pedang, gergaji, atau sayatan gunting”.
Para nabi dan rasulpun mempunyai gambaran yang menakutkan betapa pedihnya ketika aku datang. Dikisahkan ketika Nabi Musa meninggal dunia dan ditanya Allah bagaimana rasa sakitnya kematian yang ia rasakan, ia menjawab bahwa kejadian itu seperti seekor burung yang dipanggang hidup-hidup, tapi nyawanya tidak juga lepas dan ia tidak menemukan cara untuk melepaskan diri. Musa juga menggambarkan peristiwa itu seperti kambing hidup yang sedang dikuliti.
Bukankah Aisyah r.a pernah juga mengatakan bahwa ketika Nabi SAW akan meninggalkan dunia fana ini, ada secangkir air penuh tergeletak didekat beliau. Beliau mencelupkan tangannya kedalam cangkir berulang-ulang dan membasahi dan membasuh wajahnya. Beliau berdoa kepada Allah supaya dibebaskan dari sakratul maut.
Demikian juga, khalifah kedua Umar bin Khatab r.a. meminta Ka’ab menggambarkan keadaan ketika seseorang dalam sakratul maut. Dia menjawab “Pencabutan nyawa dari badan dapat dibandingkan dengan pencabutan duri-duri dari tubuh manusia sedemikian rupa sehingga seluruh tubuh merasakan cengkeraman rasa sakit yang amat sangat.”
Itulah sekelumit gambaran bagaimana kami melakukan tugas pencabutan ruh dari tubuh manusia dan rasa sakit yang dirasakannya. Perlu kamu ketahui juga, kalau pengaruh pencabutan ruh, atau kematian itu tidak cuma sekedar ketika ruh dicabut dari jasadmu. Namun pengaruhnya akan terus-menerus dirasakan sampai keliang lahat.
Akan kuceritakan sebuah riwayat lama yang menginformasikan hal ini. Pernah sekelompok orang datang kekuburan dan berdoa kepada Allah untuk menghidupkan seseorang yang telah meninggal. Maksud mereka adalah ingin mengetahui bagaimana penderitaan yang dialami si mati pada saat aku beraksi. Atas idzin Allah, si mati yang kebetulan seorang yang bertakwa pun hidup kembali. Ia berkata, “Aku meninggal 50 tahun yang lalu, namun hingga kini rasa pedihnya belum hilang dari hatiku!”. Bayangkan! Rasa sakit yang dialami ruh si mati yang nampaknya tidak hilang begitu saja, namun terasakan hingga puluhan tahun.
Aura kedatanganku yang menguat biasanya kalian sebut sebagai Sakratul Maut. Dalam keadaan sakratul maut, setiap saat sekarat demi sekarat akan manusia lalui, penderitaan demi penderitaan akan dirasakan, sakit demi sakit akan mengingatkan manusia pada semua perbuatannya, dan hal itu terus akan terjadi sampai ruhnya mencapai kerongkongannya.
Pada titik kritis ini, berhentilah perhatian manusia kepada dunia dan semua yang ada di dalamnya. Berhentilah semua harapan-harapan dan angan-angan mereka. Saat itu, simetri kegaiban pun terkuak dihadapannya, pemandangan alam akhirat pun muncul begitu saja. Pintu tobatpun ditutup dan manusia pun diliputi oleh kesedihan dan penyesalan. Ia mungkin akan teringat sabda Rasulullah SAW “Tobat seorang manusia tetap diterima selama dia belum sampai pada kondisi sakratul maut (yaitu sampainya nyawa di kerongkongan)”. Maka semakin menyesallah ia. Tapi semua itu terlambat dan ketika aku menampakkan diriku semakin nyata, maka saat itu jangan pernah bertanya tentang pahit getirnya kematian ketika sakratul maut tiba. Pendek kata karena kengerian tentang kedatanganku maka Rasulullah SAW pernah bersabda tentang aku, dengan sabdanya beliau sebenarnya hanya ingin mengingatkan manusia, katanya:
“Kalau kalian melihat ajal dan perjalanannya, pastilah kalian akan membenci angan-angan dan tipu dayanya.
Tak seorangpun penghuni rumah kecuali ada Malaikat Maut yang memperhatikan mereka dua kali sehari. Orang yang didapati ajalnya telah habis, maka dia cabut nyawanya.
Bila keluarganya menangis sedih, dia bertanya ‘Mengapa kalian menangis?’ Dan mengapa kalian bersedih?
Demi Allah, Aku tidak mengurangi umur kalian, tidak pula mengekang rezeki kalian, dan akupun tidak berdosa.
Sesungguhnya aku benar-benar akan kembali kepada kalian (yang masih hidup saat itu), kemudian kembali, dan kemudian kembali, sehingga aku tidak menyisakan seorangpun dari kalian.’”
Demikianlah, aku akan datang tanpa diundang dan pergi tanpa diantar. Ia yang saatnya sudah ditentukan, maka ia akan menghadapi aku sesuai dengan keadaannya, rasa sakitnya, dan kengeriannya.
Banyak ungkapan yang menggambarkan bagaimana rasa sakit ketika aku mencabut nyawa manusia. Namun, percayalah itu semua tidaklah lengkap benar karena keluarbiasaan sakratul maut tidak dapat diketahui dengan pasti, kecuali oleh orang yang merasakannya sendiri. Tahukah kamu, bahwa pencabutan nyawa termasuk kondisi spiritual yang cuma bisa dirasakan oleh orang yang kucabut nyawanya. Jadi, orang lain mungkin menggambarkan dengan ungkapan yang berbeda-beda. Tapi, begitulah kematian, ia hanya bisa dirasakan oleh yang meregang nyawanya sendirian.
Karena kematian termasuk keadaan ruhani, maka menjadi jelas bahwa keadaan ruhanimu sangat mempengaruhi bagaimana rasanya mati. Orang lain cuma bisa mengira-ngira saja dengan menganalogi-kannya dengan rasa sakit yang benar-benar pernah dialaminya, atau dengan cara mengamati orang lain yang sedang meregang nyawa. Lewat analogi pula akan diketahui bahwa setiap anggota badan yang tidak bernyawa, tidak bisa lagi merasakan rasa sakit.
Akan kuperjelas lagi bagaimana rasa sakitnya kematian. Gambarkan saja satu bagian dirimu terbakar api, maka rasa sakit yang dialami akan menjalar keseluruh tubuh dan jiwa. Dan sesuai dengan kadar yang menjalar ke jiwa, maka sebesar itu pula kadar yang dialami oleh seseorang. Akan tetapi, rasa sakit yang dirasakan selama sakratul maut menghunjam jiwa dan menyebar keseluruh tubuh. Sehingga bagi yang sedang sekarat, maka ia merasakan dirinya ditarik-tarik, dibetot, dan dicerabut dari setiap sel, urat nadi, syaraf, persendian, dari setiap akar rambut yang tumbuh dibadannya dan kulit kepala, hingga kaki. Jadi, jangan Anda tanyakan lagi bagaimana derita dan rasa sakit yang tengah dialami oleh mereka yang dijemput olehku!
Maka, perhatikanlah sekiranya kamu mengalami suatu peristiwa yang berhubungan dengan kematian, apakah itu kematian salah satu keluargamu, tetanggamu, atau teman-temanmu. Perhatikan bagaimanakah keadaannya! Gunakan pengalamanmu dalam mengiringi kematian sebagai pelajaran dan peringatan bagimu, bahwa tak ada yang abadi, semua pasti akan mati!
***
Dari Sahabat
“Wahai anakku! Jika ada sesuatu yang tak bisa kau pastikan bila dia datang, maka persiapkan dirimu untuk menghadapinya sebelum dia mendatangimu sedang engkau dalam keadaan lengah”
(Nasihat Luqman kepada anaknya)
Tiba-tiba saja ia berdiri dihadapanku. Memperkenalkan diri entah dari mana. Terus terang, aku melongo ketika orang atau lebih tepatnya mahluk itu ada dihadapanku. Entah kenapa, aku tidak terlalu kaget. Hanya saja, memang muncul rasa heran dan takut. Tubuhku yang sedang berbaring setengah terangkat. Aku menatap bengong melihatnya berdiri di hadapanku. Meski rasa takut menyergapku, aku seakan-akan tidak merasa asing dengan sosok ini.
Kayanya pernah kenal, tapi dimana gitu. Dalam beberapa saat aku seperti pikun. Lupa. Tepatnya nggak tau apakah pernah bertemu dengannya atau tidak. Sepertinya aku mengalami dejavu, pikirku.
Cukup lama ia memandangku dengan diam, setelah dia menyebutkan namanya begitu saja. Padahal aku nggak minta diperkenalkan. Boro-boro perkenalan, dia begitu saja mengada, makanya siapa diapun aku nggak ngeh. Izrail katanya. Siapa ya? Rasanya nama itu pernah kudengar dengan baik. Tapi aku lagi-lagi tidak mampu menggali memori dari otakku yang tiba-tiba menjadi beku.
Ia nampaknya termasuk mahluk yang tak mau tau. Tepatnya super cuek. Apakah aku mau atau tidak, nampaknya ia memang tak peduli. Bilamana ia mau, ia akan memperkenalkan diri. Bila tidak, ya sudah lewat begitu saja. Tak peduli orang yang disapanya mau atau tidak. Apakah yang di datanginya jantungan atau tidak. Baginya itu nampaknya tidak menjadi soal benar.
Apalagi kemunculannya yang tiba-tiba begitu. Seperti menyergap dari ketiadaan, muncul begitu saja. Bagi yang penakut, mungkin kemunculannya bisa membuat semaput. Dia seperti hantu. Untungnya aku termasuk bukan manusia yang kagetan. Sehingga kemunculannya yang tiba-tiba itu tidak terlalu membuatku semaput. Tapi yang jelas memang otakku jadi beku. Seperti sekarang ini. Memandang dengan bodoh kesosok yang luar biasa ganteng ini.
Kupikir-pikir, memang aku belum pernah melihat wajah seperti dia ini. Wajahnya lebih mirip manekin yang dipajang ditoko-toko ketimbang manusia. Halus, berkulit bersih, bahkan seperti menimbulkan pendar sinar. Meskipun, kebersihan kulitnya agak sedikit tidak lazim dengan warna bersih yang memerah dadu seperti pipi bayi itu. Dia senyam-senyum dikulum, seperti seorang teman lama yang sedang menggoda. Wah, pikirku, ni orang kalau ikut kontes Indonesian Idol atau AFI barangkali langsung menang, yang lainnya langsung bertumbangan.
“Sudah tau siapa aku?”, lanjutnya memecahkan kebingunganku.
“Eh..emmmm yyyaa…siapa ya”, dengan sedikit gemetaran dan tergagap-gagap aku menjadi grogi, tapi lagi-lagi aku masih belum ngeh siapa dia, padahal dia sudah menyebutkan namanya. Nama itu memang terdengar tidak asing. Cuma, aku lagi-lagi lupa dimana pernah mendengar nama itu.
Dia tersenyum simpul. Swear, senyumnya termasuk kategori senyum manis bagi makhluk berjenis kelamin laki-laki (terus terang saja gender ini perlu saya buat dengan font italyc karena saya sendiri bingung ini orang laki-laki atau perempuan).
Kemudian dengan perlahan ia berkata” Aku diminta menjemputmu…”.
“Siapa?”, tanyaku masih setengah bingung.
“Dia…”, katanya pendek.
“Dia siapa ya?”, tanyaku lagi, otakku masih beku, tak bisa menduga dan tak tahu dengan yang ia maksud.
“Kkkamu sendiri siapa?”, tanyaku dengan sedikit gagap tetapi lebih mantap.
Keberanianku muncul begitu saja. Nampaknya, ia tidak kaget dengan reaksiku yang nampaknya masih belum begitu jelas. Aku sendiri masih mencoba mengingat-ingat. Tapi, rasanya memang sel-sel kelabu otakku jadi tumpul tak bisa berpikir. Entah kenapa, kemampuan berpikirku jadi mandeg. Daya ingatku seperti berputar-putar tak menentu, tak bisa mengatur alur logis yang benar. Melompat-lompat dan terputus-putus begitu saja seperti komputer yang perangkat lunaknya error karena kerusakan prosesornya. Kira-kira pernah kenal dimana dengan sosok aneh ini. Tanpa ba-bi-bu lagi nongol dan langsung memperkenalkan diri. Kucoba mengingat-ingat sekiranya aku pernah bertemu dengannya. Disuatu tempat, di suatu waktu.
Disela-sela kepikunannku, aku mencoba mengingat-ingat. Apakah teman sekolahku dulu pikirku. Ah, kelihatannya bukan. Tapi tetap tak bisa kuingat, siapakah pemilik sosok ganjil dihadapanku ini. Lagi pula kami masih sering kumpul-kumpul satu sama lain, meskipun sudah hampir 10 tahun angkatan kami habis alias pada lulus dari bangku kuliah. Ah, nampaknya bukan. Pelan-pelan kuhimpun daya ingatku, sedikit demi sedikit aku merasakan otakku melumer.
Tak ada dari temanku yang penampilannya mirip dia ini. Meskipun dari lain jurusan, aku masih ingat satu persatu beberapa temanku semasa kuliah dulu. Frame demi frame aku mencoba memutar kembali wajah-wajah temanku. Si Bambang yang pernah dipenjara dulu karena aksi bakar ban di kampus. Atau si Nirwan yang jadi budayawan. Walaupun aku cuma satu dua kali ketemu dengan dia toh aku masih mengingat wajahnya. Bahkan beberapa teman satu kampus yang cuma kenal muka pun aku masih rada-rada ingat. Lha yang ada didepanku ini benar-benar asing banget. Walaupun samar-samar wajah itu seperti familiar dengan ku.
Wajah sesosok wanita melintas sekilas, Ah tapi bukan dia, bukan dia, dia sudah lama pergi. Aku tepiskan bayangan yang melintas dari masa lalu itu. Entah kapan ketemunya akupun tidak tau. Tapi memang ada satu wajah yang sempat melintas dikepalaku, tapi tidak mungkin dia, soalnya dia memang cewek. Tapi, yah yang berdiri di hadapanku ini memang susah kujelaskan apakah cewek atau cowok. Ahhh, mungkin kawan se SMA dulu pikirku. Mencoba tidak menyerah, untuk mengingat dia yang tiba-tiba berdiri didepanku. Ingatanku pun melayang ke SMA dulu untuk mencari-cari dan mencocokkan siapa gerakan teman SMA yang mirip-mirip dia ini. Lagi-lagi aku tidak menemukan sesorang pun yang mirip dia. Kemudian kujelajahi kenangan SMP dan sekolah dasar.
Blank…
Benar-benar blank nih pikirku, persis komputer yang tidak ada BIOS-nya. Siapa dia ini ya. Aku membatin, sambil menatap sosoknya. Mereka-reka, mencoba mengingat dan menggali dari sel-sel kelabu diotakku. Uhh…, rasanya…nggak ada ingatan sama sekali tentang sosok yang satu ini.
“Ngomong-ngomong sebenarnya kamu ini siapa…”, kegugupan dan kebengonganku sudah hampir lenyap. Ganti keingintahuanku muncul tentang dia sendiri.
Sejenak ia menatapku lekat-lekat, kemudian “Ehm..aku sebenarnya pernah kamu kenal duluuuuu sekali”. Ia malah menjadi sedikit grogi. Ia mencoba memberi penekanan pada kata dulu. Jadinya terdengar sedikit aneh. Dan terus terang, senyum dikulumnya itu membuat beberapa bulu-bulu halus ditekukku mulai meremang.
“Dddulu kapan yyya?” lanjutku setengah gemetar menuntaskan keingintahuanku.
“Ya dulu, sewaktu kamu baru mau disinari oleh Dia”.
Ha….apa maksudnya “disinari”. Disinari apaan ya.
(Sepotong ayat tiba-tiba melintas, membuka suatu kenangan asosiatif masa yang telah lama sekali berlalu, Alif Laam Mim Raa, (QS 13:1).
Lagi pula, kok ucapannya sangat takzim sewaktu ia ucapkan “Dia”. Bahkan setengah takut-takut.
“Aku diminta segera menjemputmu”, katanya sedikit lebih takzim kepadaku.
“Haaa”. Aku melongo antara bingung, heran, takut, dan takjub menjadi satu.
Namanya Izrail
“Ya Allah”, ujarku setengah tak percaya. “Engkau…engkau… Izrail malaikat?”, tanyaku.
Ia mengangguk. Baru kusadari ia yang berdiri di hadapanku ini memang berkulit sangat bersih. Bahkan bisa kubilang bersinar. Persis seperti gambaran buku-buku tentang orang-orang yang ahli ibadah. Halus, nyaris tanpa otot dan bulu. Ya mirip kulit bayilah. Ya bulu, sama sekali tidak ada bulu dikulitnya. Wajahnya ganteng, bahkan nyaris cantik. Mungkin kenyal-kenyal dikit kalau dipegang-pegang seperti bunyi iklan sabun mandi “Dove”, pikirku. Aku yakin, ia bisa menjadi Casanova nomor wahid kalau ia mau. Atau kalau mau jadi iklan sabun mandi, mungkin cocok untuk sabun mandi apapun. Dalam arti sabun mandi kecantikan atau kegantengan. Soalnya memang sampai saat ini, kalau saja ia tidak bersuara, sulit sekali membedakan antara laki-laki atau wanita.
Rambutnya teratur rapi tidak panjang dan tidak terlalu pendek, lurus tergerai. Sedang-sedang saja, tidak seperti orang yang habis bercukur maupun tidak bercukur lama. Malah nampaknya tidak pernah ditumbuhi kumis. Alisnya nyaris bertemu diatas hidungnya yang bangir. Dengan sorot mata yang lembut namun dingin. Bibirnya seolah terus-menerus tersenyum simpul, setengah meledek melihat kebingungan dan sekarang kekagetanku. Bahkan, sebenarnya lebih mirip bibir joker musuh bebuyutannya tokoh komik Batman dan Robin atau salah satu bintang film yang menjadi ikon sabun mandi terkenal. Walah…, senyumnya memang mirip Tamara Blezinky.
Tidak ada yang aneh sebenarnya kalau saja orang tidak berada dalam jarak dekat. Aku yang cuma beberapa puluh senti darinya bisa melihat keganjilan sosok yang jangkung dan tampan ini. Bau harum yang tak pernah kucium dari bunga atau pewangi manapun dihirup hidungku. Rasanya bau harum, manis, dan menenangkan. Kok ya, si Izrail ini pake minyak wangi darimana pikirku. Bisa membuat aroma terapi seperti itu. Mungkin efek wewangian ini juga yang menenangkan diriku, Entahlah, aku sendiri masing dipengaruhi kebengongan dan kebingungan.
Aku masih membanding-bandingkan sosoknya dengan beberapa public figure yang sering kulihat di bioskop dan televisi. Seingatku tidak ada peragawan ataupun bintang film yang mirip dengan dia ini. Leonardo Di Caprio yang tampan imut-imut pun tidak seperti dia, atau Pau Min Che yang aktor F4 pun jauh banget. Entah suku apa si Izrail ini. Dari melongo, kaget, bingung sekarang ada yang merambat pelan-pelan disekujur tubuhku. Bulu-bulu kudukku berdiri serentak, meremang diantara keringatku yang mulai merembes dan terasa dingin disekujur tubuhku. Aku mendadak disergap rasa takut amat sangat.
Namun itu tak berlangsung lama. Entah darimana datangnya, perasaanku yang campur aduk itu menemukan titik keseimbangannya manakala mencermati sosok yang berdiri dihadapanku ini. Wah, memang efek wewangian ini yang membuatku tenang pikirku. Tubuhku sudah kembali ke posisi rebahan di pembaringan. Tanpa daya. Kuamati lagi sosok Izrail yang ada di hadapanku. Tepatnya bukan dihadapanku. Tapi diujung ranjangku.
Ya, saat itu aku sebenarnya lagi terbaring lemas dipembaringanku. Bukan sakit atau pun meriang. Cuma seperti kurang gairah. Waktu itu sudah menjelang tengah malam. Jadi sebenarnya aku sudah bersiap-siap mau rebahan untuk tidur setelah membolak-balik beberapa lembar surat dari Al Qur’an versi H.B. Jassin yang diberi judul “Bacaan Mulia”. Namun kedatangannya yang tiba-tiba membuyarkan kantukku. Tak ada yang bisa kukatakan saat itu. Pelan-pelan, karena kulihat ia juga cuma berdiri disitu, aku mulai mencoba menenangkan diri. Menatapnya dengan tolol. Lalu kuberanikan diri membuka dialog lagi setelah beberapa detik kebisuan melanda kami berdua. Aku mulai menyadari datangnya sesuatu.
“Sudah waktunyakah aku?”, tanyaku pelan. Sangat pelan sekali. Kupikir ia tak mendengar ucapanku. “Ya, sudah saatnya menghadap Dia”, katanya. Beberapa jenak aku pun cuma bisa menatapnya lagi. Tanpa komentar dan rasa apapun. Hambar. Lalu entah bagaimana tiba-tiba saja aku nyeletuk tenang. Lagi-lagi, kurasakan ketenanganku karena pengaruh wewangiannya.
“Boleh aku meminta sesuatu sebelum engkau mengambilku…”, harapku. Ia tidak kelihatan bimbang, malah sepertinya sudah tau kalau aku akan sedikit rewel. Ia cuma mengangguk. Lalu, entah ide darimana, lidahku fasih bertanya. “Ceritakan tentang kamu…”.
Hikayat Izrail
Begitu saja. Ketika Ia Berkehendak melimpahkan rahmat dan kasih sayang-Nya, maka aku mengada seperti yang lainnya dari jenisku. Tercipta begitu saja dari al-Haba dan Nur Muhammad, berkas-berkas debu dan cahaya yang memanifestasikan Kun Fa Yakuun. Aku adalah satu diantara yang tak terhitung, yang Dia ciptakan untuk menjaga kelangsungan Kun Fa Yakuun. Aku adalah bagian dari Kehendak dan Kemahakuasaan-Nya. Ada milyaran proses yang menyertai Kuasa-Nya. Sejumlah itulah kami ada. Baik yang nyata maupun yang kasat mata. Baik yang terasa maupun tidak terasa. Baik di dalam maupun di tapal batas semesta.
Masing-masing dari kami mempunyai tugas-tugas yang spesifik. Aku adalah salah satunya yang bertugas setiap saat, bersiap sedia bilamana semua makhluk sudah tiba untuk dikembalikan kepadaNya. Karena aku dari jenis makhluk yang mengikuti kepatuhan-Nya, maka aku sebenarnya tidak pernah terikat oleh ruang dan waktu, kendati aku selalu mengikuti arus Sang Waktu, seperti layaknya mahluk lain yang berada dalam kisaran tersebut.
Jadi pendeknya aku tak pernah mati, sebelum yang lainnya kumatikan atas kehendak-Nya. Atau makhluk semacam itulah; Yang bertasbih tanpa kenal lelah, tak kenal waktu ataupun pengertian-pengertian relativistik seperti yang dinisbahkan kepada kaummu.
Tugasku ya seperti yang kamu rasakan ini, mengembalikan serpihan-serpihan cahaya kembali ke asalnya, ke awal mula penyaksian-Nya, ketika kalian bersaksi “Ya, Kami bersaksi!” . Aku biasanya cuma sekedar menerima catatan dari Lauh Mahfuzh, siapa-siapa yang harus kujemput saat itu. Hanya saja, karena aku tak pernah mengenal waktu, aku bisa berada dimana saja, kapan saja, tapi bukan Coca Cola lho.
O ya, ngomong-nomong soal debu & cahaya. Memang aku terbuat dari serpihan-serpihan debu & cahaya yang menjaga proses Kun Fa yakuun. Sebenarnya, aku dan yang lainnya ada karena Dia mempunyai Kehendak dan Keinginan Yang Tak Terbantahkan; Dia ada karena Kekekalan diri-Nya, kemandirian-Nya, sehingga bagi selain-Nya, maka Dia adalah Perbendaharaan Tersembunyi.
Aku ada, makhluk lainnya juga ada, semata-mata karena limpahan rahmat dan kasih sayang-Nya, sehingga ketika Dia mendeklarasikan Kekekalan-Nya dan Kemandirian-Nya yang Absolut maka Dia berkata:
“Kuntu kanzan makhfiyyan fa ahbabtu an u’rafa fa khalaqtu al-khalqa fabi ‘arafu-ni –Aku pada mulanya adalah harta yang tersembunyi, kemudian Aku ingin dikenal, Kuciptakanlah makhluk maka melalui Aku mereka kenal Aku.
Dia ucapkan Basmalah sebagai Rahmat dan Kasih Sayang yang Dia limpahkan, sebagai bagian dari Perbendaharaan-Nya yang tak akan ternilai oleh semua makhluk-Nya, tak akan terbalaskan kecuali oleh rahmat dan hidayah-Nya sendiri. Maka, dalam pemeliharaan Asma Ar-Rahmaan dan ar-Rahiim, Dia firmankan kehendak-Nya “Jadilah!” dan muncullah cahaya kemegahan-Nya sebagai Nur Muhammad, sebagai citra awal mula-Nya yang sempurna; kemudian aku mengetahui bahwa melaluinya aku akan mengenal-Nya.
Dalam pusaran wawu, yang berputar melawan detak Sang Waktu, Nur Muhammad adalah cahaya-Nya yang tidak tercitrakan di alam nyata; kecuali bagi mereka yang memiliki qolbu Mukminin dan mereka yang menempatkan dirinya sebagai bagian darinya. Ketika Nur Muhammad menyinari zarah tanpa massa, yang kelak ditakdirkan menjadi al-Haba, maka dalam kuatnya pusaran wawu, Thaasin adalah firman-Nya yang memaujudkan kekuasaan-Nya, terciptalah minyak zaitun yang diberkahi, yang kilau kemilaunya mampu menerangi, kendati tanpa disentuh api.
Simetri Kegaiban Mutlak-Nya pecah mandiri karena kehendak-Nya semata; Maka dari Kegaiban Mutlak-Nya, melimpah dengan Rahmat dan Kasih Sayang-Nya, al-Iradah-Nya goncangkan kegaiban sehingga gelombang al-Qudrah-Nya maujud mencapai batas-batas untuk segera munculkan al-Haba sebagai debu awal mula dan semburat cahaya Nur Muhammad meneranginya, hingga “Jadilah!” lelehan minyak zaitun itu seperti minyak tak tembus cahaya, lantas kehendak-Nya terkonfirmasikan sebagai plasma awal mula yang meledak-ledak dengan sendirinya, ciptakan gelombang Dentuman Awal Mula (Big-Bang), yang lontarkan al-Haba sebagai debu-debu materi pemula, yang luaskan ruang awal-mula dalam ketakberhinggaan Sang Waktu yang mengada menjadi fondasi alam nyata; darinya muncul salah satu kaumku yang mampu menjangkau setiap sudut-sudut semesta; membangun superspace awal mula; Dari Nur Muhammad, maujud salah satu kaumku mengikat semua maujud al-Haba menjadi semua makhluk, baik sendiri-sendiri sebagai
gelembung-gelembung kuantum, maupun sintesa dari banyak zarah menjadi citarasa-citarasa , inti-inti, atom-atom, molekul-molekul, sel-sel, jaringan-jaringan, organ-organ, obyek-obyek, menjadi galaksi-galaksi, menjadi bintang-bintang, menjadi planet-planet, batuan, pegunungan, lautan, tumbuhan, binatang, manusia, dan menjadi dirimu.
Kaum mu, tercipta dari proses setelah milyaran tahun Kun Fa Yakuun berjalan. Itulah tanah lempung dari seluruh penjuru bumi, yang pernah kuambil dulu. Lantas kemudian Dia tiupkan Ruh dari cahaya-Nya. Dia berfirman ketika itu,
Alif Laam Ra, (Qs 2:1)
Alif Laam Mim Ra (Qs 13:1)
Cahayamu Dia ciptakan dengan penuh rahmat, kasih sayang dan kemuliaan-Nya. Maka “Jadilah!” kaummu yang mengemban semua amanat kesempurnaan citra-Nya; Amanat yang tak sanggup diemban kaumku, amanat yang tak sanggup diemban oleh semua makhluk kecuali kaummu. Adam yang diciptakan sebagai manusia sempurna pertama, adalah moyangmu, yang memahami asmaa-a-kullahaa, yang menjadi khalifah pertama mengemban amanat itu.
Kamu mungkin heran, kalau aku sendiri sebenarnya mahluk yang sangat tak kasat mata. Serpihan al-Haba dan Nur Muhammad adalah bahan bakuku, yang terhalus ciptakan diriku. Disaat tertentu kaumku jadi sangat nyata dan bisa berbentuk apa saja.
Persis seperti cahaya yang memantul atau bayang-bayang yang timbul dari setiap makhluk dibawah cahaya. Karena aku dekat dengan esensi dirimu, maka penampakkanku sebenarnya sangat tergantung pada apapun yang menggerakkan tindakanmu, motivasimu, dan niat-niatmu. Bagi kaum sejenis ku, bentuk tak berarti apa-apa.
Selama milyaran tahun, Dia telah menetapkan masing-masing dari kami dengan urusan-urusan yang spesifik. Dia telah berfirman, Thaahaa (QS 20:1) Untuk menyingkapkan segala sesuatu, dari Asma-asma-Nya yang menjadi ketentuannya. Yang kelak engkau kenal sebagai, Alif, Ba, Jim, Dal (ABJAD) 1,2,3,4 (desimal) 10101010….(biner)
Kami adalah kaum spesialis, dengan perintah-perintah-Nya, yang tak bisa kami bantah. Kami menyertai setiap gerak-gerik segala makhluk selain kaum kami. Karena tugas kami memang begitu. Kami awasi segala perilaku dan tindak tanduk kaummu, kesesatanmu, kemuliaan-mu. Kami bukan memata-matai, tetapi sekedar mencatat atau tugas-tugas khusus lainnya.
Semuanya kami catat sesuai dengan yang kami ketahui. Tapi lebih tepatnya menjadi saksi atas proses kesempurnaanmu, dengan rahmat, anugerah, kasih sayang, hikmah, keadilan dan kebijaksaan-Nya. Dia telah berfirman dengan kelembutan sebelum semuanya ditampilkan dengan Basmalah, Kaf ha ya Ain Shaad (Qs 19:1) Kelembutan itu adalah “yatalaththaf” (Qs 18:19) yang memunculkan Rahmat dan Kasih Sayangnya ketika Kun fa Yakuun (Qs 36:82) dicetuskan sebagai perintah penciptaan dengan ketentuan yang pasti terjadi (QS 69:1).
Tugas yang kuemban entah sampai kapan, aku sendiri tidak pernah diberi tahu. Seperti aku misalnya. Tugasku sangat spesifik untuk mengembalikan ruh segala mahluk kembali kepada-Nya. Setelah itu, ya sudah, petugas yang lain dari jenisku akan meneruskan proses itu. Begitu saja setiap saat dari waktu ke waktu. Monoton memang. Tapi entah kenapa aku senang-senang saja menjalankan titah-Nya itu. Bagiku menjalankan perintah-Nya bukan sekedar tugas atau perintah. Tapi menggairahkan unsur-unsur pembentukanku.
Entah sudah berapa banyak aku mengembalikan ruh setiap mahluk di semesta ini. Dari kaum apa saja, dari ras apa saja. Yang baik-baik ataupun yang durhaka. Yang sedang sekarat ataupun yang sehat-sehat saja. Pokoknya, yang berdiam disetiap sudut semesta, yang mengikuti proses sejak Kun Fa yakuun difirmankan.
Aku sendiri, tentu saja menjadi bagian dari proses itu. Tapi karena kuasa-Nya, tugas kami memang cuma menjaga agar proses itu berjalan seperti yang Ia Kehendaki. Kehendak-Nya adalah Kemutlakkan-Nya. Maka kaum kami seringkali merupakan bagian dari apa yang disebut sunnatullah. Aturan dan ketetapan-ketetapan yang menyertai kun fa yakuun, baik yang pasti atau tidak pasti.
Kenapa Aku? Kenapa aku yang ditugasi begitu? Ini ada sejarahnya. Kan tadi sudah kukatakan, bahwa aku dulu pernah mengambil debu dari bumi. Ketika Dia hendak menciptakan Adam, moyangmu itu, Dia mengutus satu malaikat yang sebenarnya tugasnya memikul ‘Arsy untuk membawa debu dari bumi.
Ketika dia ngotot ingin mengambil debu dari bumi, Bumi berkata “Aku memintamu demi Zat Yang telah mengutusnya agar engkau tidak mengambil apa pun dariku sekarang yang neraka memiliki bagian darinya”. Malaikat pemikul Arsy terkejut, maka dia pun batal mengambil debu bumi.
Ketika ia melaporkan kepada-Nya, Dia berfirman “Apa yang mencegahmu untuk membawa apa yang telah aku perintahkan kepadamu?”. Dia menjawab, “Bumi telah meminta kepadaku demi keagungan-Mu, sehingga aku merasa berat untuk menolak sesuatu yang meminta demi Keagungan-Mu”. Maka Allah kemudian mengutus malaikat lainnya kepada bumi, tetapi bumi mengatakan alasan yang persis sama seperti sebelumnya.
Demikian sampai entah berapa milyar tahun dalam ukuranmu sampai Allah mengutus semuanya. Akhirnya Allah mengutusku untuk mengambil debu. Bumi pun mengatakan seperti sebelumnya. Tapi, sudah menjadi kehendak-Nya kalau segala sesuatu yang berhubungan dengan debu dan tanah liat akan ditugaskan kepadaku. Aku berkata kepada bumi,”Sesungguhnya Dia yang mengutusku lebih berhak untuk ditaati daripada kamu”.
Bumipun bungkam seribu bahasa dan pasrah atas kehendak-Nya. Akupun mengambil dari permukaan bumi seluruh tanah yang baik dan buruk, semua unsur yang ada di Bumi yang mengandung Carbon, Hidrogen dan Oksigen, dan membawanya kepada-Nya. Lalu Dia mengucurkan air surga kekumpulan debu bumi itu sehingga menjadi lumpur hitam yang diberi bentuk yaitu minthiin (Qs 23:12), dan darinya Ia menciptakan Adam.” Itulah sebabnya kenapa aku ditugaskan untuk mengambil ruh manusia dan mengembalikannya ke Yang Berhak Menentukan Nasib.
Aku tak mengenal belas kasihan. Dulu, aku pernah berbelas kasih kepada manusia yang hendak kucabut nyawanya. Namun, kehendak Allah mengandung rahasia-rahasia yang tersembunyi, sehingga akupun malu melakukan penentangan Kehendak-Nya. Suatu hari, aku diperintahkan mencabut nyawa seorang perempuan di padang pasir yang panas. Ketika kudatangi, dia baru saja melahirkan anak laki-laki. Aku menaruh belas kasihan kepada perempuan itu karena keterpencilannya, dan juga kasihan terhadap anak laki-laki perempuan itu karena masih bayi namun tidak terawat di tengah padang pasir yang buas. Namun fatal akibatnya, karena anak kecil dimana aku menaruh belas kasih itu ternyata adalah penguasa lalim dan tiran yang tak ada duanya di bumi. Dari situ, aku memahami bahwa “Mahasuci Dia yang memperlihatkan kebaikan kepada yang dikehendaki-Nya!”.
Ketika aku berbelas kasihan, maka aku tidak mencabut nyawa bayi itu, tapi aku kemudian menyesalinya karena apa yang kuanggap kebaikan ternyata benih kejahatan yang kubiarkan tumbuh karena aku salah menafsirkan kehendak Tuhan
Izrail terdiam sejenak. Agaknya ia masih mengenang apa yang dilakukannya dulu. Kemudian ia melanjutkan. Jangan tanya siapakah ibu bapakku, seperti layaknya makhluk lainnya yang beribu bapak. Katakan saja, aku manifestasi Kehendak Yang Kuasa. Manifestasi al-Qudrah setelah Ia memfirmankan “kun!”.
Seperti saya bilang tadi, kaum sejenisku tercipta begitu saja karena Ia Berkehendak. Kalau kamu bertanya berapakah banyak tugas yang telah kulakukan? Aku sendiri tidak tahu. Benar-benar tidak tahu. Karena pengetahuan tentang itu tidak kami miliki.
Ada yang lain dari jenisku yang melakukan hitung menghitung. Itu bukan tugasku. Aku jadinya memang mahluk yang sangat spesifik. Sebenarnya kalau soal spesialisasi begini, kami tidak ada apa-apanya dibanding kalian manusia. Soalnya, hanya kaum kalianlah yang diberi kehendak bebas untuk berpikir, memilah dan memilih dengan bertanggung jawab. Kaum kami tak sanggup memikulnya, karena kami telah melihat dampak-dampaknya yang mengerikan.
Dia pun menghendaki kami bertasbih dan sujud dihadapan Nenek Moyangmu. Pernah kami protes begini-begitu sewaktu kami diberitahu bahwa Dia Berkehendak menciptakan mahluk manusia. Namun, Dia Maha Mengetahui atas apapun yang terjadi sejak Awal dan Akhir.
Kami sebenarnya terikat Sang Waktu seperti kaummu. Sang Waktu adalah kaum sejenisku. Ialah yang memungkinkan perubahan. Kami sebenarnya pun tau kalau manusia akan selalu begini begitu di semesta yang Dia ciptakan dengan rahmat dan kasih Sayang-Nya yang tak terbalaskan. Yang tidak kami miliki ada pada makhluk yang satu ini. Keinginan, akal, dan atribut lain yang kami tau bakal jadi masalah nanti.
Kami memang sedikit iri, sampai Dia menunjukkan kuasaNya atas semua makhluk manusia. Kalian sebenarnya lebih tahu dari kami atas segala mahluk yang pernah Ia ciptakan.
Kami pun lalu sujud dihadapan nenek moyangmu, Adam. Cuma satu makhluk yang tak mau sujud. Ialah Iblis yang kemudian akan selalu mendampingi kalian dalam proses Kun Fa yakuun. Maka, iapun terkutuk. Allah berfirman :
“Keluarlah engkau dari padanya, karena sesungguhnya engkau terkutuk, dan sesungguhnya laknat atasmu sampai hari kemudian.”
Begitulah, Iblis pun menjadi musuh abadimu dan musuhmu yang sejati. Ia menyusup di kumpulan-kumpulan debu al-Haba yang sekarang maujud menjadi semua bentuk, karena keinginan, karena hasrat, karena syahwat, karena ketamakan, kerakusan, kesombongan, dan penyakit-penyakit Sang Iblis lainnya. Aku tak kuasa mengusirnya dari sekitarmu, soalnya memang bukan tugasku. Kan tadi sudah kubilang kaumku adalah kaum spesialis. Begitulah aku.
Izrail mengakhiri kisahnya. Aku terdiam. Kemudian, karena tugas-tugasnya itu aku bertanya tentang cara dia mengakhiri kehidupan seseorang, cara dia mengambil ruh makhluk bernyawa. “Proses pengambilan ruh? “, dia mengangkat alisnya.
Sebenarnya bagaimana caraku mengambil ruhmu itu tergantung dari banyak hal. Dan semuanya ada didiri kamu sendiri. Ada yang mungkin menurutmu kelihatan mudah, ada juga yang sulit. Ada yang berkesan ada juga yang tidak menyimpan kesan apa-apa. Aku sendiri tidak tau kenapa bisa tidak berkesan sama sekali. Ia maunya begitu kok.
Cara mengambilnya pun macam-macam. Kan sudah ku bilang kalau bahan dasarku adalah cahaya. Penampakanku sebenarnya tergantung dari kamu sendiri. Ada banyak hal yang mempengaruhi penampakan ku. Tapi, yang utama memang segala gerak gerik dan tingkah laku yang pernah kamu lakukan di semesta ini, akan mempengaruhi wujud penampakkanku.
Demikian juga cara mengambil ruh kehidupan yang bersemayam di wujud fisikmu, tergantung pada kebandelan dan kepatuhanmu. Memang kaum mu ini termasuk makhluk yang diistimewakan-Nya. Sangat disayang, sangat sempurna dibanding makhluk lainnya. Hanya, seringkali kaum kamu itu ngeyel.
Kalau tidak, malah bisa dibilang pin-pinbo alias pintar pintar bodoh. Dan yang paling menjengkelkan, kalau kaum kamu ini sudah dikuasai oleh penyakitnya Sang Iblis yang terusir. Walah, susahnya minta ampun. Padahal pengambilan ini sebenarnya proses yang biasa-biasa saja. Kamu sendiri kan tahu tiap saat ada saja yang kuambil. Dengan baik-baik atau dengan paksa, dengan sendiri-sendiri atau berkelompok, dengan senang atau dengan ketakutan. Memang sih aku sering datang tiba-tiba. Maklum namanya cuma makhluk yang cuma menjalankan perintah. Aku sendiri tidak tahu kapan harus segera menemuimu. Itu rahasia Dia Yang Penuh Rahasia.
Kaum kami pun, yang bisa dibilang 100 % patuh dan selalu beribadah kepada-Nya, tak tau apa-apa kalau menyangkut urusan takdir makhluk. Sungguh, tugas kaum kami cuma memenuhi perintah Dia. Memang sih seringkali ada delay sewaktu kami menjalankan tugas. Biasanya kalau ada delay, kehadiran kami akan didahului aura yang mempengaruhi kelakukan mahluk yang akan kami ambil. Mungkin kamu sendiri tidak menyadari hal itu. Tapi begitulah. Kaum kamu sebenarnya ada di dalam genggaman-Nya dengan ketat. Ada yang digenggam erat-erat. Ada yang direnggangkan, sampai kesombongan menyergapnya. Dan mengira, dirinya sangat hebat dan berkuasa, sampai-sampai dia pun menafikan peran Tuhannya. Padahal, semua malapetaka, semua kehinaan, semua hal yang buruk-buruk dapat terhindar dari dia semata-mata karena Dia sangat menyayanginya.
Akhirnya, kesombongan itu menjerumuskan dirinya dalam banyak kesesatan dan kebodohan. Benar, sombong, bodoh dan sesat itu sebenarnya hampir beriringan, karena itulah karakter Azazil, sang Iblis yang mengira dirinya pantas disujudi karena ilusi kesuciannya. Banyak kaummu yang terkena ilusi palsu itu. Maka berhati-hatilah, sebenarnya semua manusia mempunyai peluang untuk tergelincir ke dalam perangkap tipu daya Sang Durjana yang dikutuk oleh-Nya.
Kami yang mempunyai tugas mengambil sebenarnya cuma satu. Berhubung kami tidak terikat dalam proses yang kalian jalani, tidak oleh ruang maupun waktu, sepintas kami kelihatan ada banyak. Memang begitulah kejadiannya. Dalam satu waktu ukuran kalian, kami bisa serentak mengambil banyak ruh dengan berbagai cara, dimana saja.
Sudah tak terbilang, berapa milyar ruh yang kuputuskan dari semua harapan dan impiannya, dari semua angan-angan dan cita-citanya, dari semua keasyikannya, dari semua kesenangannya, hartanya, istrinya, anak-anaknya, saudara-saudaranya, rumah-rumahnya, mobil-mobilnya, perusahaan-perusahaannya, jabatan-jabatannya, pacar-pacar gelapnya, dan lain-lainnya.
Tapi, itu tak cukup untuk mengingatkan manusia. Hingga iapun seperti keledai dipenggilingan masa, terperosok di lubang yang sama dari masa ke masa.
Kelalaian manusia dari mengingat kedatanganku nampaknya sudah menjadi penyakit zaman. Dari waktu ke waktu melakukan tugasku, kelalaian mereka terhadap kedatanganku menimbulkan rasa sombong dan berpanjang angan-angan. Entah sudah berapa banyak aku menghanguskan “business plan” mereka. Kaummu semestinya mengingat syair yang dibuat oleh seorang arif ini,
Kita lalai dari mati di pagi dan sore hari,
Seperti penghuni dunia yang lalai, Dari kematian di sore dan pagi hari,
Seseorang berjalan di suatu hari seperti tubuh tanpa ruh, Didepan
mataku, setiap yang hidup adalah isyarat kematian, Merintihlah jiwamu
wahai orang miskin, bila engkau merintih, Sungguh, kau akan mati meski
kau berumur seperti Nuh.
Aku rasanya sudah kebal dengan semua keadaan ruh yang kutarik dalam
keadaan apapun. Pembantu-pembantuku sejumlah mahluk berruh yang ada di
semesta ini. Jadi, setiap saat sebenarnya aku mengintip semua makhluk,
mengincar semua makhluk. Begitu sinyal terakhir diisyaratkan Allah SWT
maka akupun akan beraksi memadamkan semua kepongahan dan harapan
manusia.Ketahuilah, sesungguhnya ruh dalam keadaan telanjang dalam tubuh seorang hamba, ia akan diambil apabila dikehendaki dan dilepaskan apabila dikehendaki oleh-Nya. Maka Bersiaplah untuk mati wahai jiwa dan berusahalah untuk selamat, orang bijak yang siap meyakini bahwa tak ada keabadian bagi kehidupan dan tak ada tempat pelarian dari kematian.
Engkau hanya peminjam apa yang mesti dikembalikan. Kita bukanlah pemilik kehidupan ini, juga bukan pemilik tempat hidup ini. Kita tak berharta, tak berkeluarga, tidak juga anak-anak kita miliki.
Semuanya orang-orang telanjang. Jiwa kita menuju masa yang dekat, Yang Meminjamkan akan mengambil yang dipinjamkan.
Sebenarnya aku juga ditugaskan untuk mematikan malaikat, setan, iblis, pohon, binatang, dan makhluk bernyawa lainnya. Maka ia yang bernyawa, pastilah akan gemetar melihat kedatanganku.
Sebenarnya, ada banyak cara aku menarik ruh dari tubuh atau jasad mahluk bernyawa. Hal itu sebenarnya tergantung dari segala hal yang membentuk kamu, amal-amal kamu, dan kelakukan kamu. Mau tau bagaimana aku menarik ruh dari tubuh manusia? Aku menariknya langsung dari jasad yang hidup melalui ubun-ubun kepala.
Kamu seringkan menyedot minuman dari dalam botol? Persis! Seperti itulah aku menarik ruh manusia dari tubuhnya. Saat itu kulakukan, seluruh sel-sel genetis tubuhmu mulai dari ujung kaki, sedikit demi sedikit akan mati. Maka, jemari kakilah yang akan mengalami kematian pertama kali, baru kemudian bergerak ke telapak kaki, tungkai, kemudian ke betis, lalu paha dan seterusnya. Pada keadaan ruh kutarik, ujung-ujung kaki akan mengejang, kaku. Dengan cara yang sama setiap bagian tubuh pelan-pelan akan kesakitan amat sangat dan kemudian mati rasa, bertanda ruh sudah melalui bagian itu. Maka, berpisahnya tubuh dengan ruh akan terjadi setelah ruh dan tubuh merasakan sakit yang sangat dahsyat.
Bagaimana rasanya. Susah kugambarkan, karena aku cuma melihat saja, kan aku yang mencabut nyawa. Aku cuma melihat saja bagaimana manusia yang kucabut nyawanya berkelojotan dengan berbagai ekspresi rasa sakit yang dia rasakan saat itu. Jadi aku sendiri ndak tahu bagaimana rasanya ketika ruh kutarik dari jasad manusia.
Tapi, baiklah, dari pengalamanku mungkin gambarannya bisa kusimpulkan demikian : Rasanya seperti disayat-sayat karena ruh kehidupanmu, yang menempel disetiap atom tubuhmu, sel-sel genetismu yang menjadi jaringan syaraf, otot, pembuluh darah, persendian, rambut, kulit kepala, kulit yang membungkus tubuhmu, dan semua bagian tubuhmu kutarik-tarik, kubetot-betot dengan keras. Bayangkan saja jika ruhmu enggan meninggalkan dunia, maka semakin enggan, semakin sakitlah rasanya. Kalau ndak percaya, coba saja kamu cubit kulitmu keras-keras. Sakit kan!
Kamu pernah kan mengalami luka disayat. Perih! Begitulah teriakan sebagian dari mereka yang kucabut ruhnya. Tapi luka tersayat yang sering dialami manusia tidak seberapa dibandingkan dengan tercabutnya ruh dari jasadmu dengan paksa. Kalau sayatan luka kan cuma terjadi di sekitar luka saja, itupun sakitnya sudah luar biasa dan terasa di bagian tubuh lainnya. Bisa dibayangkan bagaimana kalau seluruh sel tubuh terasa disayat-sayat. Jangan heran kalau manusia akan berkeringat, menjerit, melolong-lolong, meraung-raung, dan menggeliat-geliat berkelojotan ketika ruh ditarik keluar dari kepompong tubuhnya.
Manusia akan terkuras tenaganya, akibat kelelahannya, ia bahkan tak lagi dapat bernafas, ia akan merasakan seperti tertimpa beban berat kesombongan, kedengkian, ketamakan, kemaksiatan, dan kejahilan lainnya. Namun demikian, apabila tubuh kuat, suara yang dikeluarkan ketika bernafas akan berbeda-beda. Ada yang dengan susah payah, ada yang mudah. Sesuai dengan amal yang pernah dilakukan tubuhnya.
Rasa sakit yang tak terkira muncul karena ruh yang lembut menjadi jinak dan menyatu setelah berhubungan dengan tubuh. Keduanya kemudian bercampur dan saling merasuki satu sama lain, sehingga keduanya seperti menjadi sesuatu yang satu. Ruh dan jasad menjadi melekat. Keduanya tak akan terpisahkan, kecuali dengan suatu upaya penarikan yang kuat, sehingga manusia merasakannya sebagai suatu kepayahan yang amat sangat dan sakit yang luar biasa.
Ketahuilah, kesukaanmu akan syahwat, nafsu dan materi serta keduniawian cenderung akan semakin melekatkan ruhmu dalam jasadmu. Kenapa demikian, ini karena atom-atom tubuhmu semakin memiliki energi yang tinggi, sehingga ikatan-ikatan atomis dalam tubuhmu akan semakin kuat.
Dikatakan bahwa tubuhmu menyimpan energi dalam yang berlebihan, sehingga seringkali energi berlebihan ini melonjak-lonjak dengan liar dan menumbuhkan berbagai syahwat dan nafsu. Kromosom-kromosommu akan terganggu, kode-kodenya yang asli akan jungkir balik, bahkan akibat langsungnya akan muncul menjadi berbagai penyakit yang payah seperti kanker, jantung, atau pikun. Itulah yang akan mencelakakanmu, akan menyiksamu.
Jadi semakin lekat ruh dalam jasad maka semakin sakitlah engkau rasakan ketika aku menarik-nariknya karena keengganan ruhmu meninggalkan jasadmu. Setelah rasa sakit tak terkira dan kekuatan jasad menurun, suara akan berangsur hilang, dan setiap bagian tubuh perlahan-lahan akan menjadi kaku.
Sakitnya penarikan ruh memang menggentarkan siapapun juga. Jangankan manusia biasa, para nabi dan rasul pun menggigil ketakutan manakala aku datang. Karena alasan itulah, seorang nabi yang paling dimuliakan diantara nabi-nabi dan rasul-rasul, Muhammad SAW, memohon kepada Allah SWT agar membebaskan beliau dari penderitaan dan kepedihan kematian.
Beliaupun sudah mengingatkan, “Perbanyaklah mengingat sesuatu yang menghancurkan kelezatan, yakni kematian.” Banyak orang arif dan ulama yang membuat syair tentang hilangnya kelezatan ketika aku datang. Kata mereka,
Ingatlah kematian yang menghancurkan kelezatan,
Dan bersiaplah untuk kematian yang akan datang, Wahai yang hatinya lalai
dari mengingat kematian, Ingatlah tempatmu sebelum tiba saat
perjumpaan, Bertobatlah kepada Allah dari kelalaian dan segala yang
lezat, Sesungguhnya kematian sangatlah dekat, Ingatlah musibah hari-hari
dan saat-saat yang terlewat, Jangan merasa tenang dengan dunia dan
perhiasannya yang melekat.
Dalam Al-Qur’an, Allah menggambarkan kesakitan saat penarikan ruh
dalam firman dengan gambaran berikut “Dan bertaut betis (kiri) dengan
betis (kanan) (QS 75:29)”, yang banyak ditafsirkan oleh ulama sebagai
berhimpunnya rasa sakit sakratul maut dengan kerugian karena melepaskan
ridha Allah.Allah menyebut keadaan tersebut dengan “sakrah”, karena sakitnya kematian disertai dengan keburukan yang dihimpun akan membuat semaput pemiliknya, sehingga biasanya kesadarannya hilang. Allah berfirman, “Dan datanglah sakratul maut dengan sebenar-benarnya. Itulah yang kamu selalu lari daripadanya (QS 50:19)”[17].
Bagaimana gambaran yang jelas mengenai rasa sakit dan penderitaan kematian memang bermacam-macam. Sehingga terdapat gambaran yang tidak persis sama, namun intinya serupa yaitu suatu rasa sakit yang tak terkirakan. Kamu mungkin dapat menyimak dari beberapa kisah tentang kematian berikut ini.
Hasan bin Ali pernah mendengar sabda Nabimu yang mulia yang mengatakan padanya bahwa “pedihnya kematian setara dengan luka-luka tiga ratus tusukan pedang”. Ali Bin Abu Thalib kwj. bahkan menyebutkan setara dengan seribu pukulan pedang. Bisa kamu bayangkan bukan bagaimana sakitnya. Jangankan dipukul pedang, lha luka tergores silet saja bisa membuat manusia mengaduh-aduh nggak karuan, apalagi dipukul-pukul seribu kali dengan pedang.
Gambaran lain menyebutkan, kalau pedihnya kematian itu lebih tajam dari gigi gergaji, lebih tajam dari mata gunting, lebih menyakitkan daripada dipanggang diatas kawah panas gunung berapi. Makanya ada pepatah yang mengatakan bahwa “maut lebih menyakitkan daripada tusukan pedang, gergaji, atau sayatan gunting”.
Para nabi dan rasulpun mempunyai gambaran yang menakutkan betapa pedihnya ketika aku datang. Dikisahkan ketika Nabi Musa meninggal dunia dan ditanya Allah bagaimana rasa sakitnya kematian yang ia rasakan, ia menjawab bahwa kejadian itu seperti seekor burung yang dipanggang hidup-hidup, tapi nyawanya tidak juga lepas dan ia tidak menemukan cara untuk melepaskan diri. Musa juga menggambarkan peristiwa itu seperti kambing hidup yang sedang dikuliti.
Bukankah Aisyah r.a pernah juga mengatakan bahwa ketika Nabi SAW akan meninggalkan dunia fana ini, ada secangkir air penuh tergeletak didekat beliau. Beliau mencelupkan tangannya kedalam cangkir berulang-ulang dan membasahi dan membasuh wajahnya. Beliau berdoa kepada Allah supaya dibebaskan dari sakratul maut.
Demikian juga, khalifah kedua Umar bin Khatab r.a. meminta Ka’ab menggambarkan keadaan ketika seseorang dalam sakratul maut. Dia menjawab “Pencabutan nyawa dari badan dapat dibandingkan dengan pencabutan duri-duri dari tubuh manusia sedemikian rupa sehingga seluruh tubuh merasakan cengkeraman rasa sakit yang amat sangat.”
Itulah sekelumit gambaran bagaimana kami melakukan tugas pencabutan ruh dari tubuh manusia dan rasa sakit yang dirasakannya. Perlu kamu ketahui juga, kalau pengaruh pencabutan ruh, atau kematian itu tidak cuma sekedar ketika ruh dicabut dari jasadmu. Namun pengaruhnya akan terus-menerus dirasakan sampai keliang lahat.
Akan kuceritakan sebuah riwayat lama yang menginformasikan hal ini. Pernah sekelompok orang datang kekuburan dan berdoa kepada Allah untuk menghidupkan seseorang yang telah meninggal. Maksud mereka adalah ingin mengetahui bagaimana penderitaan yang dialami si mati pada saat aku beraksi. Atas idzin Allah, si mati yang kebetulan seorang yang bertakwa pun hidup kembali. Ia berkata, “Aku meninggal 50 tahun yang lalu, namun hingga kini rasa pedihnya belum hilang dari hatiku!”. Bayangkan! Rasa sakit yang dialami ruh si mati yang nampaknya tidak hilang begitu saja, namun terasakan hingga puluhan tahun.
Aura kedatanganku yang menguat biasanya kalian sebut sebagai Sakratul Maut. Dalam keadaan sakratul maut, setiap saat sekarat demi sekarat akan manusia lalui, penderitaan demi penderitaan akan dirasakan, sakit demi sakit akan mengingatkan manusia pada semua perbuatannya, dan hal itu terus akan terjadi sampai ruhnya mencapai kerongkongannya.
Pada titik kritis ini, berhentilah perhatian manusia kepada dunia dan semua yang ada di dalamnya. Berhentilah semua harapan-harapan dan angan-angan mereka. Saat itu, simetri kegaiban pun terkuak dihadapannya, pemandangan alam akhirat pun muncul begitu saja. Pintu tobatpun ditutup dan manusia pun diliputi oleh kesedihan dan penyesalan. Ia mungkin akan teringat sabda Rasulullah SAW “Tobat seorang manusia tetap diterima selama dia belum sampai pada kondisi sakratul maut (yaitu sampainya nyawa di kerongkongan)”. Maka semakin menyesallah ia. Tapi semua itu terlambat dan ketika aku menampakkan diriku semakin nyata, maka saat itu jangan pernah bertanya tentang pahit getirnya kematian ketika sakratul maut tiba. Pendek kata karena kengerian tentang kedatanganku maka Rasulullah SAW pernah bersabda tentang aku, dengan sabdanya beliau sebenarnya hanya ingin mengingatkan manusia, katanya:
“Kalau kalian melihat ajal dan perjalanannya, pastilah kalian akan membenci angan-angan dan tipu dayanya.
Tak seorangpun penghuni rumah kecuali ada Malaikat Maut yang memperhatikan mereka dua kali sehari. Orang yang didapati ajalnya telah habis, maka dia cabut nyawanya.
Bila keluarganya menangis sedih, dia bertanya ‘Mengapa kalian menangis?’ Dan mengapa kalian bersedih?
Demi Allah, Aku tidak mengurangi umur kalian, tidak pula mengekang rezeki kalian, dan akupun tidak berdosa.
Sesungguhnya aku benar-benar akan kembali kepada kalian (yang masih hidup saat itu), kemudian kembali, dan kemudian kembali, sehingga aku tidak menyisakan seorangpun dari kalian.’”
Demikianlah, aku akan datang tanpa diundang dan pergi tanpa diantar. Ia yang saatnya sudah ditentukan, maka ia akan menghadapi aku sesuai dengan keadaannya, rasa sakitnya, dan kengeriannya.
Banyak ungkapan yang menggambarkan bagaimana rasa sakit ketika aku mencabut nyawa manusia. Namun, percayalah itu semua tidaklah lengkap benar karena keluarbiasaan sakratul maut tidak dapat diketahui dengan pasti, kecuali oleh orang yang merasakannya sendiri. Tahukah kamu, bahwa pencabutan nyawa termasuk kondisi spiritual yang cuma bisa dirasakan oleh orang yang kucabut nyawanya. Jadi, orang lain mungkin menggambarkan dengan ungkapan yang berbeda-beda. Tapi, begitulah kematian, ia hanya bisa dirasakan oleh yang meregang nyawanya sendirian.
Karena kematian termasuk keadaan ruhani, maka menjadi jelas bahwa keadaan ruhanimu sangat mempengaruhi bagaimana rasanya mati. Orang lain cuma bisa mengira-ngira saja dengan menganalogi-kannya dengan rasa sakit yang benar-benar pernah dialaminya, atau dengan cara mengamati orang lain yang sedang meregang nyawa. Lewat analogi pula akan diketahui bahwa setiap anggota badan yang tidak bernyawa, tidak bisa lagi merasakan rasa sakit.
Akan kuperjelas lagi bagaimana rasa sakitnya kematian. Gambarkan saja satu bagian dirimu terbakar api, maka rasa sakit yang dialami akan menjalar keseluruh tubuh dan jiwa. Dan sesuai dengan kadar yang menjalar ke jiwa, maka sebesar itu pula kadar yang dialami oleh seseorang. Akan tetapi, rasa sakit yang dirasakan selama sakratul maut menghunjam jiwa dan menyebar keseluruh tubuh. Sehingga bagi yang sedang sekarat, maka ia merasakan dirinya ditarik-tarik, dibetot, dan dicerabut dari setiap sel, urat nadi, syaraf, persendian, dari setiap akar rambut yang tumbuh dibadannya dan kulit kepala, hingga kaki. Jadi, jangan Anda tanyakan lagi bagaimana derita dan rasa sakit yang tengah dialami oleh mereka yang dijemput olehku!
Maka, perhatikanlah sekiranya kamu mengalami suatu peristiwa yang berhubungan dengan kematian, apakah itu kematian salah satu keluargamu, tetanggamu, atau teman-temanmu. Perhatikan bagaimanakah keadaannya! Gunakan pengalamanmu dalam mengiringi kematian sebagai pelajaran dan peringatan bagimu, bahwa tak ada yang abadi, semua pasti akan mati!
***
Dari Sahabat
0 comments:
Posting Komentar