Miskin Atau Kayakah Saya?
“Orang miskin susah diatur, maunya dikasihani terus”. Barangkali kita pernah mendengar ungkapan ini, atau kalimat serupa, bisa jadi mungkin sering. Pola berinteraksi kita antar sesama, hablum minannas, bergeser dari tatanan semula yang diinginkan. Tatanan yang dimaksud, tak lain adalah pola yang disokong dengan etika-etika rabbani, hablum minallah.
Walhasil, yang terjadi bukanlah saling hormat menghormati, dan memberi. Melainkan sifat congkak dan takabur. Jarak antara si miskin dan si kaya, seakan semakin jelas, dan memperlihatkan kepada kita bahwa dikotomi status, atau kasta dalam tradisi India, kian Alas dan legal saja.
Tidak bermaksud untuk menyalahkan si kaya, toh harta dan kekayaan termasuk kebutuhan asasi, setiap orang pasti punya keinginan memilikinya “Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kepada apa-apa yang diingini, yaitu wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak…” QS. Ali Imran (3) : 14. Keinginan itu manusiawi. Lantas apa masalahnya? Benar, apabila fitrah itu tidak lagi tulus, berubah menjadi ambisi yang berujung pada hubbuddunya, cinta akan dunia yang berlebihan. Ya, ujung-ujungnya, kita menduga bahwa gemerlap, kekayaan duniawi itu milik kita.
Lebih naïf lagi, jika ambisi itu mendorong si kaya untuk mengatakan dengan lantang :”wahai si miskin, seakan lupa bahwa segala yang dimiliki adalah titipin, amanat, bahkan ujian dari Allah swt: “dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah cobaan dan sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar”, QS. Al Anfal (8) : 28.
Tidak bolehkah saya kaya? Sudah Tentu boleh. Sebab, kemiskinan sendiri seperti yang pemah diriwayatkan adalah salah satu bibit kekufuran, Islam dengan tegas melawannya.
Kemudian, kaya seperti apakah yang dimaksudkan? ni’ma al mal al shalih li al abdi al shalih (sebaik-baik harta ialah yang dimiliki oleh seorang hamba yang shaleh”, demikian Rasul saw bersabda. Tak lain, kekayaan yang dimaksudkan dalam Islam ialah yang menuntun pada kesalehan spiritual, pribadi dan sosial.
Kondisi masyarakat kita, dan umat Islam pada umumnya, ternyata masih hidup di bawah garis kemiskinan. Sudah seharusnya di sinilah letak peran orang kaya berada. Al takaful al ijtima’i, solidaritas sosial, peka akan sesama, tangan yang di atas lebih baik dari tangan yang di bawah. Inilah konsep Islam.
Kuatir harta akan berkurang? Allah swt menjanjikan harta yang pernah diinfakkan tidak akan berkurang, QS. Saba’ (34): 39, Allah akan mengganti harta tersebut. Yakinlah bahwa rizki ada ditangan Nya. Disamping itu, Allah swt tidak pernah memerintahkan untuk mensedekahkan seluruh harta, hanya sebagian saja, mimma tuhibbuun, secukupnya dari apa yang kita sukai.
Bukan berarti ada anjuran bersedekah, lantas seluruh harta diinfakkan. Keseimbangan disini sangatlah dituntut. Manakah jatah untuk keluarga dan sebagian harta manakah yang hendak dinafkahkan. “wa laa tabsuth-haa kullal basthi..”, janganlah kamu terlalu mengulurkannya QS. Al Isra’ (17) : 29.
Beramal, namun tidak melalaikan kewajiban terhadap anak, istri dan keluarga. Berinfak, tapi tidak mengesampingkan kebutuhan yang bersifat wajib.
Selanjutnya, kemurahan hati si kaya seharusnya disikapi dewasa oleh sang miskin. Kondisi ekonomi yang dihadapi, tidak membuatnya membutakan mata hati, dan mengambil jalan pintas, atau sekedar berpangku tangan. Bilakah si miskin sadar bahwa kondisi tersebut adalah ujian, seberapa tabahkah ia menjalani. Sungguh hebat prinsip yang dimiliki seorang mukmin, yang apabila ditimpa kesusahan.dia bersabar, sebaliknya ketika mendapat nikmat ia syukuri. Demikian sabda Nabi saw.
Tidak menjadi jaminan bahwa seorang yang kaya, lebih dalam hal spiritual dari si miskin. Kita akan menemukan potret, seorang hartawan yang enggan berbagi, dan acuh tak acuh terhadap saudaranya. Tepat jika rasul saw pernah bersabda” kekayaan bukanlah hanya harta dan pangkat, melainkan ketenangan jiwa”.
Antara si miskin dan si kaya, sudah semestinya saling mengetahui hak dan kewajiban masing-masing. Keduanya mendapat ujian yang sama, harta dan kekayaan, yang membedakan hanyalah kesabaran yang dimiliki, mampukah sang hartawan dan si miskin menjaga hati kemudian bertanya pada nalurinya, miskin atau kayakah saya? Allahumma inna nasaluka al taufiq wa al sadad
***
Nashih Nashrulloh
Sumber: Tabloid Khalifah Edisi 28/Th II/2006
“Orang miskin susah diatur, maunya dikasihani terus”. Barangkali kita pernah mendengar ungkapan ini, atau kalimat serupa, bisa jadi mungkin sering. Pola berinteraksi kita antar sesama, hablum minannas, bergeser dari tatanan semula yang diinginkan. Tatanan yang dimaksud, tak lain adalah pola yang disokong dengan etika-etika rabbani, hablum minallah.
Walhasil, yang terjadi bukanlah saling hormat menghormati, dan memberi. Melainkan sifat congkak dan takabur. Jarak antara si miskin dan si kaya, seakan semakin jelas, dan memperlihatkan kepada kita bahwa dikotomi status, atau kasta dalam tradisi India, kian Alas dan legal saja.
Tidak bermaksud untuk menyalahkan si kaya, toh harta dan kekayaan termasuk kebutuhan asasi, setiap orang pasti punya keinginan memilikinya “Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kepada apa-apa yang diingini, yaitu wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak…” QS. Ali Imran (3) : 14. Keinginan itu manusiawi. Lantas apa masalahnya? Benar, apabila fitrah itu tidak lagi tulus, berubah menjadi ambisi yang berujung pada hubbuddunya, cinta akan dunia yang berlebihan. Ya, ujung-ujungnya, kita menduga bahwa gemerlap, kekayaan duniawi itu milik kita.
Lebih naïf lagi, jika ambisi itu mendorong si kaya untuk mengatakan dengan lantang :”wahai si miskin, seakan lupa bahwa segala yang dimiliki adalah titipin, amanat, bahkan ujian dari Allah swt: “dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah cobaan dan sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar”, QS. Al Anfal (8) : 28.
Tidak bolehkah saya kaya? Sudah Tentu boleh. Sebab, kemiskinan sendiri seperti yang pemah diriwayatkan adalah salah satu bibit kekufuran, Islam dengan tegas melawannya.
Kemudian, kaya seperti apakah yang dimaksudkan? ni’ma al mal al shalih li al abdi al shalih (sebaik-baik harta ialah yang dimiliki oleh seorang hamba yang shaleh”, demikian Rasul saw bersabda. Tak lain, kekayaan yang dimaksudkan dalam Islam ialah yang menuntun pada kesalehan spiritual, pribadi dan sosial.
Kondisi masyarakat kita, dan umat Islam pada umumnya, ternyata masih hidup di bawah garis kemiskinan. Sudah seharusnya di sinilah letak peran orang kaya berada. Al takaful al ijtima’i, solidaritas sosial, peka akan sesama, tangan yang di atas lebih baik dari tangan yang di bawah. Inilah konsep Islam.
Kuatir harta akan berkurang? Allah swt menjanjikan harta yang pernah diinfakkan tidak akan berkurang, QS. Saba’ (34): 39, Allah akan mengganti harta tersebut. Yakinlah bahwa rizki ada ditangan Nya. Disamping itu, Allah swt tidak pernah memerintahkan untuk mensedekahkan seluruh harta, hanya sebagian saja, mimma tuhibbuun, secukupnya dari apa yang kita sukai.
Bukan berarti ada anjuran bersedekah, lantas seluruh harta diinfakkan. Keseimbangan disini sangatlah dituntut. Manakah jatah untuk keluarga dan sebagian harta manakah yang hendak dinafkahkan. “wa laa tabsuth-haa kullal basthi..”, janganlah kamu terlalu mengulurkannya QS. Al Isra’ (17) : 29.
Beramal, namun tidak melalaikan kewajiban terhadap anak, istri dan keluarga. Berinfak, tapi tidak mengesampingkan kebutuhan yang bersifat wajib.
Selanjutnya, kemurahan hati si kaya seharusnya disikapi dewasa oleh sang miskin. Kondisi ekonomi yang dihadapi, tidak membuatnya membutakan mata hati, dan mengambil jalan pintas, atau sekedar berpangku tangan. Bilakah si miskin sadar bahwa kondisi tersebut adalah ujian, seberapa tabahkah ia menjalani. Sungguh hebat prinsip yang dimiliki seorang mukmin, yang apabila ditimpa kesusahan.dia bersabar, sebaliknya ketika mendapat nikmat ia syukuri. Demikian sabda Nabi saw.
Tidak menjadi jaminan bahwa seorang yang kaya, lebih dalam hal spiritual dari si miskin. Kita akan menemukan potret, seorang hartawan yang enggan berbagi, dan acuh tak acuh terhadap saudaranya. Tepat jika rasul saw pernah bersabda” kekayaan bukanlah hanya harta dan pangkat, melainkan ketenangan jiwa”.
Antara si miskin dan si kaya, sudah semestinya saling mengetahui hak dan kewajiban masing-masing. Keduanya mendapat ujian yang sama, harta dan kekayaan, yang membedakan hanyalah kesabaran yang dimiliki, mampukah sang hartawan dan si miskin menjaga hati kemudian bertanya pada nalurinya, miskin atau kayakah saya? Allahumma inna nasaluka al taufiq wa al sadad
***
Nashih Nashrulloh
Sumber: Tabloid Khalifah Edisi 28/Th II/2006
0 comments:
Posting Komentar