Orang Yang Menukar Maghfirah Dengan Siksaan
“Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa-apa yang telah diturunkan Allah, yaitu Al-Kitab dan menjualnya dengan harga yang sedikit (murah), mereka itu sebenarnya tidak memakan (tidak menelan) ke dalam perutnya melainkan api, dan Allah tidak akan berbicara kepada mereka pada Hari Kiamat dan tidak mensucikan mereka dan bagi mereka siksa yang amat pedih. Mereka itulah orang-orang yang membeli kesesatan dengan petunjukdan siksa dengan ampunan. Maka alangkah beraninya mereka menentang api neraka! Yang demikian itu adalah karena Allah telah menurunkan Al-Kitab dengan membawa kebenaran; dan sesungguhnya orang-orang yang berselisih tentang (kebenaran) Al-Kitab itu, benar-benar dalam penyimpangan yang jauh (dari kebenaran).” (QS. Al-Baqarah (2): 174-176)
Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan wahyu yang diturunkan Allah kepada Rasul-Nya, mengadakan ta’wil, merubah atau memasukkan yang tidak asli dari kitab dengan pendapatnya sendiri, hanya karena imbalan keduniaan yang tak berharga. Misalnya, uang suap, uapah atas fatwayang mereka keluarkan secara batil, dan keuntungan lain yang biasanya dipungut oleh para pemimpin dari orang-orang yang dipinain. Dikatakan bahwa imabalan itu sedikit dan tak berharga, karena dilakukan dengan menukarkan kebenaran dengan kebatilan -sekalipun imbalan itu nilainya banyak- tetap tidak ada harganya sama sekali. Di samping itu, pelakunya tidak akan bisa menikmati jerih payah yang dilakukannya. Kenikmatan tersebut hanya bersifat sementara atau hanya terbatas pada batas usia manusia. Hal ini seperti yang difirmankan Allah:
“..Padahal kemikmatan hidup didunia ini (dibandingkan dengan kehidupan) di akhirat hanyalah sedikit.” (QS. At-Taubah (9): 38)
Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan Kitabullah yang sebenarnya, kemudian menjualnya, maka upah yang mereka terima itu akan menjerumuskan kedalam neraka. Setelah itu, baru mereka mengerti akibat dari perbuatan menyembunyikan kebenaran itu.
Ayat tersebut bisa diartikan pula dengan kalimat, “Sesungguhnya mereka hanya memenuhi perut dengan api neraka.” Dengan kata lain, mereka tidak bisa menghentikan sikap tamak didalam melahap keduniaan, melainkan api neraka akan membakar mereka. Hal ini seperti yang dikatakan dalam sebuah hadits,
“Takkan bisa memenuhi perut anak Adam (manusia) melainkan tanah.”
Hukum ayat diatas bersifat umum, termasuk kaum muslimin dan non muslim. Sebab, Sunatullah akan berlaku umum yakni selalu membela kebenaran dan memerangi kebatilan.
Sesungguhnya llah berpaling dan murka terhadap mereka. Sebagaimana kebiasaan para raja, jika mereka sedang murka terhadap seseorang, maka mereka tidak mau mengajak berbicara. Tetapi jika mereka sedang dalam keadaan rida, mereka akan berlaku lemah lembut dan kasih sayang, disamping selalu menyambut dengan berseri-seri.
Allah tidak akan membersihkan kotoran dan dosa-dosa mereka dengan cara memberikan ampunan atau memberi maaf perbuatan mereka, selama ketika kematian mereeka masih dalam keadaan kafir.
Mereka akan disiksa dengan siksaan yang pedih dan menyakitkan.
Sesungguhnya orang-orang yang tertimpa siksa yang sangat pedih itu ialah orang-orang yang meninggalkan hidayah yang kebenarannya tidak diperselisihkan lagi. Hidayah tersebut adalah apa saja yang disampaikan oleh para Rasul dari Tuhannya. Mereka lebih suka memilih pendapat orang di dalam urusan agama, sedang pendapat tersebut tidak mempunyai dasar yang pasti, bahkan menyesatkan dan membingungkan. Karenanya, para pengikutnya selalu berada dalam perselisihan dan persengketaan.
Pengikut setia kesesatan itu berhak mendapat siksa sebagai ganti dari ampunan. Sebab, ia melakukan demikian itu lantaran kesadaran dan pilihannya sendiri, sebab hujjah kebenaran sudah tampak dihadapan matanya. Hal ini berarti ia telah menukar maghfirah (ampunan) dengan siksaan. Ringkasnya, mereka sendirilah yang mencelakakan dirinya karena telah memilih upah keduniawian, dan meremehkan pahala diakhirat.
Pada dasarnya perbuatan mereka dapat mengantarkan kedalam neraka adalah perbuatan yang telah disebut didalam ayat yang telah lalu dan sangat mengherankan. Mantapnya mereka menuju jalan keneraka dan tidak pedulinya mereka terhadap balasan yang akan ditimpakan kepada mereka menunjukkan bahwa mereka itu bersikap “sabar”sebagai penghuni neraka. Hal ini tentu sangat mengherankan, dan lebih mengherankan lagi jika sikap seperti itu ditampilkan oleh orang yang berpikiran waras.
Ungkapan seperti ini sama dengan suatu ucapan yang dikatakan kepada seseorang yang melakukan perbuatan yang dimurkai raja, “Alangkah kuatnya anda hidup terbelenggu dan tersekap didalam penjara.”Dengan kata lain, seseorang tidak melakukan hal tersebut bila tidak “sabar” dalam menahan siksaan. Tetapi, siapakah orang yang mampu bertahan terhadap siksaan mereka?
Siksaan tersebut telah ditetapkan untuk mereka akibat sikap menentangnya mereka terhadap kitabullah yang berisi kebenaran. Padahal, kebenaran itu selamanya akan berada dipihak yang menang. Siapapun yang menentang kebenaran, pasti akan terperosok kejurang kekalahan.
Pada dasarnya, orang-orang yang memperselisihkan kebenaran Kitabullah yang diturunkan Allah -padahal kitab ini berguna untuk menghilangkan segala persengketaan dan menyatukan pendapat- sebenarnya berada dipihak yang menyimpang dari kebenaran. Sebab, mereka sudah tidak mau mengambil kitab itu sebagai petunjuk. Sehingga setiap kelompok membuat caranya sendiri dengan berbagai perbedan yang tak dapat dihindarkan. Dengan demikian, timbul berbagai perselisihan dan perbedaan.
Ayat ini mengandung ancaman -selain ancaman yang tersebut didalam ayat sebelumnya- terhadap orang-orang yang menyembunyikan kebenaran. Orang-orang yang berselisih ini, masing-masing tidak terjalin suasana kebersamaan. Mereka ini tidak seperti yang dianjurkan didalam firman Allah:
“..dan bahwa (yang kami peringatkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalan-Nya….” (QS. Al-An’am (6): 153)
Karenanya, ahli kitab pun sebenarnya tidak boleh terbagi-bagi menjadi berbagai sekte. Sebagaimana dianjurkan didalam firman Allah:
“Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agamanya dan mereka menjadi bergolongan, tidak ada sedikit pun tanggungjawabmu terhadap mereka…” QS. Al-An’am (6): 159)
Jika terdapat kekeliruan didalam memahami sesuatu, mereka wajib mengembalikan persoalan tersebut kepada Al-Kitab dan As-Sunnah hingga persengketaan itu terhenti. Hal ini seperti dianjurkan didalam firman Allah:
“..Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya)…” (QS. An-Nisa”(4): 59)
Didalam Islam, tidak ada alasan bagi kaum muslimin mempersoalkan agamanya atau perselisihan didalam agama. Sebab, Allah telah menjadikan setiap musykilah (problem) itu jalan keluar. Disamping itu, perbedaan di antara kaum muslimin itu hendaknya tidak melahirkan perpecahan dan persengketaan. Karen, semuanya sudah cukup jelas dan mudah. Demikian pula para ahli agama merasakan kemudahan didalam meneliti masalah-masalah yang diperselisihkan. Kemudian, jika mereka melihat salah satu diantara pendapat yang beralasan itu benar, maka dijadikan sebagai pegangan. Biasanya, kuatnya hujjah itu bertalian erat dengan maslahat umat dan bertalian dengan hukum-hukum yang sesuai dengan mereka. Sehingga tidak ada lagi orang yang berani menjual maghfirah dengan siksaan.[]
*Tafsir Al-Maraghi*
***
Ahmad Mushthafa Al-Maraghi
“Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa-apa yang telah diturunkan Allah, yaitu Al-Kitab dan menjualnya dengan harga yang sedikit (murah), mereka itu sebenarnya tidak memakan (tidak menelan) ke dalam perutnya melainkan api, dan Allah tidak akan berbicara kepada mereka pada Hari Kiamat dan tidak mensucikan mereka dan bagi mereka siksa yang amat pedih. Mereka itulah orang-orang yang membeli kesesatan dengan petunjukdan siksa dengan ampunan. Maka alangkah beraninya mereka menentang api neraka! Yang demikian itu adalah karena Allah telah menurunkan Al-Kitab dengan membawa kebenaran; dan sesungguhnya orang-orang yang berselisih tentang (kebenaran) Al-Kitab itu, benar-benar dalam penyimpangan yang jauh (dari kebenaran).” (QS. Al-Baqarah (2): 174-176)
Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan wahyu yang diturunkan Allah kepada Rasul-Nya, mengadakan ta’wil, merubah atau memasukkan yang tidak asli dari kitab dengan pendapatnya sendiri, hanya karena imbalan keduniaan yang tak berharga. Misalnya, uang suap, uapah atas fatwayang mereka keluarkan secara batil, dan keuntungan lain yang biasanya dipungut oleh para pemimpin dari orang-orang yang dipinain. Dikatakan bahwa imabalan itu sedikit dan tak berharga, karena dilakukan dengan menukarkan kebenaran dengan kebatilan -sekalipun imbalan itu nilainya banyak- tetap tidak ada harganya sama sekali. Di samping itu, pelakunya tidak akan bisa menikmati jerih payah yang dilakukannya. Kenikmatan tersebut hanya bersifat sementara atau hanya terbatas pada batas usia manusia. Hal ini seperti yang difirmankan Allah:
“..Padahal kemikmatan hidup didunia ini (dibandingkan dengan kehidupan) di akhirat hanyalah sedikit.” (QS. At-Taubah (9): 38)
Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan Kitabullah yang sebenarnya, kemudian menjualnya, maka upah yang mereka terima itu akan menjerumuskan kedalam neraka. Setelah itu, baru mereka mengerti akibat dari perbuatan menyembunyikan kebenaran itu.
Ayat tersebut bisa diartikan pula dengan kalimat, “Sesungguhnya mereka hanya memenuhi perut dengan api neraka.” Dengan kata lain, mereka tidak bisa menghentikan sikap tamak didalam melahap keduniaan, melainkan api neraka akan membakar mereka. Hal ini seperti yang dikatakan dalam sebuah hadits,
“Takkan bisa memenuhi perut anak Adam (manusia) melainkan tanah.”
Hukum ayat diatas bersifat umum, termasuk kaum muslimin dan non muslim. Sebab, Sunatullah akan berlaku umum yakni selalu membela kebenaran dan memerangi kebatilan.
Sesungguhnya llah berpaling dan murka terhadap mereka. Sebagaimana kebiasaan para raja, jika mereka sedang murka terhadap seseorang, maka mereka tidak mau mengajak berbicara. Tetapi jika mereka sedang dalam keadaan rida, mereka akan berlaku lemah lembut dan kasih sayang, disamping selalu menyambut dengan berseri-seri.
Allah tidak akan membersihkan kotoran dan dosa-dosa mereka dengan cara memberikan ampunan atau memberi maaf perbuatan mereka, selama ketika kematian mereeka masih dalam keadaan kafir.
Mereka akan disiksa dengan siksaan yang pedih dan menyakitkan.
Sesungguhnya orang-orang yang tertimpa siksa yang sangat pedih itu ialah orang-orang yang meninggalkan hidayah yang kebenarannya tidak diperselisihkan lagi. Hidayah tersebut adalah apa saja yang disampaikan oleh para Rasul dari Tuhannya. Mereka lebih suka memilih pendapat orang di dalam urusan agama, sedang pendapat tersebut tidak mempunyai dasar yang pasti, bahkan menyesatkan dan membingungkan. Karenanya, para pengikutnya selalu berada dalam perselisihan dan persengketaan.
Pengikut setia kesesatan itu berhak mendapat siksa sebagai ganti dari ampunan. Sebab, ia melakukan demikian itu lantaran kesadaran dan pilihannya sendiri, sebab hujjah kebenaran sudah tampak dihadapan matanya. Hal ini berarti ia telah menukar maghfirah (ampunan) dengan siksaan. Ringkasnya, mereka sendirilah yang mencelakakan dirinya karena telah memilih upah keduniawian, dan meremehkan pahala diakhirat.
Pada dasarnya perbuatan mereka dapat mengantarkan kedalam neraka adalah perbuatan yang telah disebut didalam ayat yang telah lalu dan sangat mengherankan. Mantapnya mereka menuju jalan keneraka dan tidak pedulinya mereka terhadap balasan yang akan ditimpakan kepada mereka menunjukkan bahwa mereka itu bersikap “sabar”sebagai penghuni neraka. Hal ini tentu sangat mengherankan, dan lebih mengherankan lagi jika sikap seperti itu ditampilkan oleh orang yang berpikiran waras.
Ungkapan seperti ini sama dengan suatu ucapan yang dikatakan kepada seseorang yang melakukan perbuatan yang dimurkai raja, “Alangkah kuatnya anda hidup terbelenggu dan tersekap didalam penjara.”Dengan kata lain, seseorang tidak melakukan hal tersebut bila tidak “sabar” dalam menahan siksaan. Tetapi, siapakah orang yang mampu bertahan terhadap siksaan mereka?
Siksaan tersebut telah ditetapkan untuk mereka akibat sikap menentangnya mereka terhadap kitabullah yang berisi kebenaran. Padahal, kebenaran itu selamanya akan berada dipihak yang menang. Siapapun yang menentang kebenaran, pasti akan terperosok kejurang kekalahan.
Pada dasarnya, orang-orang yang memperselisihkan kebenaran Kitabullah yang diturunkan Allah -padahal kitab ini berguna untuk menghilangkan segala persengketaan dan menyatukan pendapat- sebenarnya berada dipihak yang menyimpang dari kebenaran. Sebab, mereka sudah tidak mau mengambil kitab itu sebagai petunjuk. Sehingga setiap kelompok membuat caranya sendiri dengan berbagai perbedan yang tak dapat dihindarkan. Dengan demikian, timbul berbagai perselisihan dan perbedaan.
Ayat ini mengandung ancaman -selain ancaman yang tersebut didalam ayat sebelumnya- terhadap orang-orang yang menyembunyikan kebenaran. Orang-orang yang berselisih ini, masing-masing tidak terjalin suasana kebersamaan. Mereka ini tidak seperti yang dianjurkan didalam firman Allah:
“..dan bahwa (yang kami peringatkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalan-Nya….” (QS. Al-An’am (6): 153)
Karenanya, ahli kitab pun sebenarnya tidak boleh terbagi-bagi menjadi berbagai sekte. Sebagaimana dianjurkan didalam firman Allah:
“Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agamanya dan mereka menjadi bergolongan, tidak ada sedikit pun tanggungjawabmu terhadap mereka…” QS. Al-An’am (6): 159)
Jika terdapat kekeliruan didalam memahami sesuatu, mereka wajib mengembalikan persoalan tersebut kepada Al-Kitab dan As-Sunnah hingga persengketaan itu terhenti. Hal ini seperti dianjurkan didalam firman Allah:
“..Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya)…” (QS. An-Nisa”(4): 59)
Didalam Islam, tidak ada alasan bagi kaum muslimin mempersoalkan agamanya atau perselisihan didalam agama. Sebab, Allah telah menjadikan setiap musykilah (problem) itu jalan keluar. Disamping itu, perbedaan di antara kaum muslimin itu hendaknya tidak melahirkan perpecahan dan persengketaan. Karen, semuanya sudah cukup jelas dan mudah. Demikian pula para ahli agama merasakan kemudahan didalam meneliti masalah-masalah yang diperselisihkan. Kemudian, jika mereka melihat salah satu diantara pendapat yang beralasan itu benar, maka dijadikan sebagai pegangan. Biasanya, kuatnya hujjah itu bertalian erat dengan maslahat umat dan bertalian dengan hukum-hukum yang sesuai dengan mereka. Sehingga tidak ada lagi orang yang berani menjual maghfirah dengan siksaan.[]
*Tafsir Al-Maraghi*
***
Ahmad Mushthafa Al-Maraghi