Berkaitan dengan terlepasnya Jiwa dari badan, Allah mengatakan bahwa Jiwa seseorang bisa ditahan sementara atau selamanya oleh Allah. Orang-orang yang tertidur disebut Allah sebagai orang yang Jiwanya ditahan sementara. Sedangkan orang mati, Jiwa ditahan selamanya, sampai waktu yang ditentukan. Yaitu, hari Kebangkitan. (QS. Az Zumar (39) : 42) Allah memegang Jiwa (orang) ketika matinya dan (memegang) Jiwa (orang) yang belum mati di waktu tidurnya; maka Dia tahanlah Jiwa (orang) yang telah Dia tetapkan kematiannya dan Dia melepaskan Jiwa yang lain sampai waktu yang ditentukan. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang berfikir. Ada 3 hal yang menarik dari ayat di atas. Yang pertama, adalah informasi bahwa Allah memegang Jiwa seseorang ketika mati atau tertidur. Allah memberikan gambaran, bahwa orang yang tertidur atau pun mati, Jiwanya dalam kendali Allah sepenuhnya. Tidak terlepas kemana-mana. Sehingga, terserah Allah Jiwa itu mau dikembalikan atau tidak ke dalam badan seseorang. Bagaimanakah menggambarkan hal itu dalam diri manusia? Seperti saya katakan di depan, bahwa Allah menempatkan Ruh dalam diri seseorang sebagai bagian dari EksistensiNya. Maka, ketika dalam tidur atau pun kematiannya, Jiwa tetap berada dalam ‘genggaman’ alias ‘kekuasaan’ Ruhnya. Meskipun badan sudah mati dan hancur, Jiwa tetap ‘hidup’ karena masih dalam pengaruh fungsi Ruh. Itulah yang dikatakan Allah dalam ayat-ayat sebelumnya, bahwa para pejuang yang gugur di jalan Allah tidaklah mati. Mereka tetap ‘hidup’ di sisi Allah bahkan memperoleh rezeki dariNya. Tapi, tentu saja kehidupan Jiwa setelah kematian badan itu tidaklah sama dengan ketika ia masih bersatu dengan badannya, sebagaimana telah kita diskusikan di depan. Yang kedua, adalah informasi bahwa bagi orang yang tidur, jiwa bakal dikembalikan saat dia bangun. Dalam konteks ini ‘memegang Jiwa’ juga memberikan kesan bahwa ‘kebebasan’ Jiwa pada saat orang itu tertidur dan mati tidak lagi sebagaimana ketika dia hidup. Seseorang yang tertidur apalagi mati tidaklah memiliki kebebasan berekspresi lagi, karena Jiwanya ‘dipegang’ oleh Allah. Sebaliknya, ketika seseorang telah terbangun dari tidurnya, Allah melepaskan Jiwa itu dalam ‘kebebasan’ berekspresinya kembali. Maka, seseorang yang berada dalam kesadaran penuhnya menjadi bertanggung jawab terhadap segala tingkah lakunya. Ini konsisten dengan pembahasan kita sebelumnya, bahwa yang dimaksud Jiwa adalah kesadaran yang terkait dengan akal. Karena itu, ia bisa naik atau turun kualitasnya, atau bahkan timbul dan tenggelam sesuai dengan kondisi yang menyertainya. Kualitas Jiwa bukan hanya tergantung kepada Ruh melainkan juga tergantung kepada kualitas tubuh. Jika kualitas tubuh menurun, kualitas Jiwa juga akan turun. Meskipun tidak sepenuhnya begitu. Pada orang-orang yang telah mencapai tingkatan tinggi dalam ‘Kesadarannya’ Jiwanya semakin tidak tergantung kepada tubuhnya. Jiwa bergerak ke arah kualitas Ruh. Sebaliknya bagi mereka yang rendah tingkat ‘Kesadarannya’ Jiwanya terjebak oleh kualitas badannya. Ia bergerak menuju unsur material yang bertumpu pada keterbatasan fisiknya. Jadi, dalam konteks ‘memegang Jiwa’ ini, makna yang paling penting adalah betapa Allah memiliki kekuasaan yang mutlak terhadap keluar masuknya Jiwa dalam diri seseorang, tapi DIA memberikan ‘kebebasan yang bertanggung jawab’ kepada manusia ketika berada dalam kondisi kesadarannya. Yang ketiga, dalam ayat tersebut Allah berfirman bahwa semua itu mengandung hikmah dan menjadi pelajaran bagi orang-orang ‘yang mau berpikir’ tentang Kekuasaan Allah. Di satu sisi DIA ingin menegaskan bahwa Allah adalah faktor utama atas berfungsi atau tidaknya kesadaran seseorang. Jika DIA menghendaki mencabut kesadaran itu, maka hilanglah kesadaran kita. Sebaliknya jika DIA menghendaki mengembalikannya, maka tidak ada seseorang yang bisa menghalangi. Di sisi lain, DIA memotivasi kita bahwa di dalam tidur dan kematian itu terdapat pelajaran yang sangat berharga untuk mendekatkan diri kepada Allah. Bahwa, pemahaman tentang Jiwa, bakal menghantarkan kita kepada pengenalan kekuasaan Allah lebih mendalam. Jangan malah sebaliknya, berlindung di balik kata ‘ghaib’ lantas kita tidak mau mengambil pelajaran tentang mekanisme kejiwaan di dalam diri kita. Atau, karena kerancuan dalam memahami ayat di bawah ini kita lantas tidak mau berusaha memahami tentang Jiwa. (QS. Al Israa’ (17) : 85) Dan mereka bertanya kepadamu tentang Ruh. Katakanlah: “Ruh itu termasuk urusan Tuhan ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit”. Dengan apa yang telah diskusikan, saya kira kini Anda telah memperoleh kefahaman yang lebih baik, tentang perbedaan Jiwa dan Ruh. Bahwa yang dimaksud oleh ayat di atas bukanlah Jiwa, melainkan Ruh. Memang kefahaman tentang Ruh jauh lebih rumit. Namun, bukan berarti kita sama sekali tidak boleh mempelajarinya. Kata ‘illa qaliila’ menunjukkan, bahwa meskipun sedikit Allah masih memberikan ilmu tentang Ruh itu kepada manusia. Kalau pun kita bersandar kepada kalimat ‘min amri rabbii’ (urusan Tuhanku), untuk menghindari pembelajaran tentang Ruh, itu juga kurang tepat. Sebab, semua urusan di alam semesta ini memang menjadi urusanNya semata. Mana ada kejadian di alam semesta yang tidak menjadi urusan Allah. Apalagi tentang Ruh yang demikian misterius. Daun jatuh, bunga berkembang, dan tiupan angin pun menjadi urusan Tuhan. Semut terlahir, gajah mencari makanan, dan burung beterbangan di angkasa juga menjadi urusan Tuhan. Apalagi perputaran bermiliar-miliar benda langit di dalam orbitnya, di jagad semesta raya, tentu saja menjadi urusan Allah semata. Dan begitu pula keluar masuknya Jiwa dan Ruh dalam diri miliaran manusia di muka bumi, semuanya menjadi urusan Allah. DIA adalah Tuhan yang senantiasa dalam kesibukan urusanNya. (QS. Ar) Semua yang ada di langit dan di bumi selalu meminta kepada Nya. Setiap waktu Dia dalam kesibukan.
Selasa, 19 Februari 2013
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 comments:
Posting Komentar