Sang Amirul Mukminin dengan suaranya yang berwibawa membaca Surat Al-fatihah dengan penuh khusyu’. Kemudian dilanjutkan dengan Surat An-Nahl atau Yusuf. Namun tak sampai ia menamatkan bacaannya, beberapa tusukan tajam mengenai perutnya. Tak kuasa ia menahan sakit dan kucuran darah, ia terjatuh dan mengisyaratkan Abdur Rahman bin Auf untuk menggantikan posisinya. Shahabat Abdur Rahman bin Auf mengimami dengan sholat yang ringan. Surat Al-Kautsar rokaat pertama dan An-Nashr rokaat kedua. Para jama’ah yang berada di shaf depan mengetahui apa yang terjadi, sedang mereka yang di belakang mengucap Subhanallah mengira sang imam lupa akan bacaannya.
Ketika shalat telah rampung diselesaikan, Sang Amirul Mukminin bertanya kepada shahabat Abdulloh Ibnu Abbas perihal siapa yang menikam, Ibnu Abbas menjawab “Anak Mughiroh”, yang berkinayah Abu lukluah Al-Majusi laknatullohi alaih. Para shahabat dan tabi’in tak pernah merasakan sebuah musibah di kala subuh kecuali waktu itu. Sebagian dari mereka beranggapan Shahabat Umar ridlwanullohi alaih akan baik-baik saja. Sebagian yang lain mengkhawatirkan keaadannya. Kemudian dibawalah Sang Amirul Mukminin ke rumah.
Selepas ia sholat subuh dengan keadaan semampunya, ia disuguhi segelas Nabidz, semacam rendaman air kurma beberapa hari, untuk mengetahui seberapa parah lukanya dan ternyata Nabidz pun mengucur dari perut sang pemimpin umat. Lalu ia meminum susu dan hasilnya sama tetap mengucur dari lambung Sang Amirul Mukmin. Semua orang yang mengetahui perihal tersebut tahu bahwa sang imam tak akan mampu bertahan hidup lama lagi.
Para shahabat lalu memintanya untuk berwasiat, mulai dari kesan persahabatannya dengan Nabi, uang baitul mal, hingga ia menyuruh anaknya Abdulloh bin Umar untuk pergi ke rumah Sayyidah Aisyah, “Katakan kepadanya: Umar menitipkan salam untukmu dan jangan kau sebut aku dengan Amirul Mukminin karena hari ini aku tidak bisa menjadi pemimpin bagi orang-orang mukmin. Dan mintalah izin kepadanya agar aku bisa disemayamkan dengan kedua shahabatku.”
Sayyidah Aisyah menangis tatkala Abdulloh bin Umar mengutarakan apa yang diperintahkan ayahnya sembari menjawab permintaan shahabat suaminya “Sungguh aku sangat menginginkan diriku dikubur bersama ayah dan suamiku kelak, tapi hari ini aku tak menginginkannya kembali.”
Dengan rasa yang penuh kelegaan, bahagia campur sedih Abdulloh melangkahkan kaki pulang. Sesampainya ia di rumah, sang ayah yang sedang berbaring menahan perih meminta untuk didudukan dan bertanya kepada putranya tentang permintaan terakhirnya. “Sesuai apa yang engkau inginkan wahai Amirul Mukminin” ucap sang putra. Alangkah bahagianya shahabat Umar dengan bibir tesungging ia bertahmid, “Segala puji bagi Allah, tak ada sesuatu yang paling penting bagiku ketimbang beristirahat selamanya di samping kedua sahabatku. Ketika datang ajalku, bawalah aku dan kembalilah meminta izin kepadanya (Sayyidah Aisyah). Jika ia mengamini, kuburkan aku bersama dua sahabatku dan jika tidak, bawalah aku ke Baqi’; makam orang-orang mukmin.”
Tiga hari setelah penikaman itu Sang Amirul Mukminin menghadap Tuhan, lantas Abdulloh bin Umar pun melaksanakan wasiat sang ayah untuk meminta izin kedua kalinya kepada Sayyidah Aisyah. Dan akhirnya sang Kholifah yang pertama kali diberi gelar Amirul Mukminin, pencetus pengumpulan Al-Quran untuk dijadikan satu mushaf, mufti yang berfatwa bahwa sholat tarawih 20 rakaat dan berjamaah adalah sebaik-baiknya bid’ah, sang mertua Rosul, sahabat karib Nabi, pemimpin yang penuh kejuhudan dialah Umar Bin Khottob Ra disemayamkan di samping kedua shahabatnya, Nabi Muhammad Saw dan Sayyidina Abu Bakar Ra.
Semoga kami bisa berziarah ke makammu dan kedua sahabatmu, wahai Amirul Mukminin.
Jumat, 24 Februari 2012
Filled Under:
Sang Amirul Mukminin
Posted By:
Akhmad Firdaus
on 07.35
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 comments:
Posting Komentar