Keshalihan Itu Menembus Segala Batas
Suasana di Madinah begitu mencekam. Hari-hari terasa lamban berjalan. Telah lima tahun Rasulullah dan kaumnya tinggal di kota baru itu. Selama masa itu telah benyak peristiwa besar terjadi. Tetapi, hari itu kaum Muslimin menghadapi peristiwa paling genting sepanjang sejarah perjuangan mereka. Menghadapi saat-saat menegangkan, dikepung kafir Quraisy dan Yahudi dari segala penjuru.
Biang dari semua itu adalah Yahudi Bani Nadhir. Para pembesarnya begitu antusias membakar semangat orang-orang kafir Quraisy. Mengajkak mereka menumpas kaum Muslimin. Tidak hanya itu Bani Nadhir juga memprovokasi dan mengajak Yahudi Bani Ghathafan,Bani Fuzarah, dan Bani Murrah yang memang telah punya dendam kesumat kepada kaum Muslimin. Dalam pada itu, tiba-tiba Yahudi Bani Quraidah yang telah terikat perjanjian dengan Rasulullah dan kaum Muslimin juga mmengkhianati. Keguncangan datang berlapis-lapis.
Dengan usulan Salman Al-Farisi, kaum Muslimin menggali parit. Mereka bahu membahu bekerja keras. Tetapi suasana menakutkan tak serta merta hilang. Apalagi orang-orang munafik didalam kota Madinah tidak mau turut bekerja. Siang dan malam silih berganti. Kaum Muslimin tidak bisa kemana-mana. Segalanya begitu menakutkan.
Buku-buku sirah menulis panjang lebar tentang perang yang dikenal dengan Perang Ahzab (sekutu) atau Perang Khandaq (parit) itu. Allah menggambarkan betapa dahsyatnya goncangan yang terjadi saat itu, seperti dalam firman-Nya, “(yaitu) ketika mereka datang kepadamu dari atas dan dari bawahmu, dan ketika tidak tetap lagi penglihatan (mu) dan hatimu naik menyesak sampai ketenggorokan, dan kamu menyangka terhadap Allah dengan bermacam-macam prasangka.” (QS. Al-Ahzab: 10).
Hingga ketika segalanya mencapai puncaknya, Allah SWT mnurunkan karunia dan pertolongan-Nya. Para tentara sekutu itu diobrak-abrik Allah melalui tentaranya dibuni. Dikirimnya angin topan yang dahsyat dan malaikat. Allah SWT mengisahkan, “Hai orang-orang yang beriman, ingatlah akan nikmat Allah (yang telah dikaruniakan) kepadamu, ketika datang kepadamu tentara-tentara, lalu Kami kirimkan kepada mereka angin topan dan tentara yang tidak dapat kamu melihatnya. Dan adalah Allah Maha Melihat akat apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Ahzab: 9)
Begitulah. Akhirnya Rasulullah dan orang-orang beriman itu diselamatkan Allah. Banyak pelajaran penting dari Perang Ahzab. Satu diantaranya , bahwa karunia Allah itu menembus segala batas. Seperti juga angin dan pasir yang menghancurkan tentara sekutu kafir itu, seperti itu pula dalam hidup ini, ada banyak tentara Allah yang bertebaran di muka bumi. Bila Allah berkehendak, mereka bisa diperintahkan menolong kaum Muslimin. Mungkin konteksnya tidak selalu dalam medan jihad perang. Tetapi bisa saja dalam lingkup kehidupan sehari-hari pribadi seorang Mukmin.
Terlalu banyak rahasia hidup yang tidak kita ketahui. Karenanya kita semua sangat berharap kepada karunia Allah, kita memang boleh berhitung. Tentang apa saja. Juga tentang hidup yang berliku-liku. Tetapi, hidup tak selamanya berjalan dalam dalam kalkulasi matematis. Ada ruang lain yang harus kita yakini. Karena diluar diri kita, diluar seluruh makhluk langit dan bumi, ada kekuasaan Allah. Itulah ruang lain itu. Kita semua adalah hamba Allah Yang Maha Kuasa. Karenanya, kita perlu kepada kekuatan, pertolongan, dan dukungan Allah. Tidak ada yang bisa hidup tanpa pertolongan Allah. Allah SWT berfirman, “Jika Allah menolong kamu, maka tak ada orang yang dapat mengalahkan kamu. Dan jika Allah membiarkan kamu (tidak memberikan pertolongan), maka siapa gerangan yang dapat menolong kamu (selain) dari Allah sesudah itu? Karena itu, hendaklah kepada Allah saja orang-orang mukmin bertawakal.” (QS. Ali Imran: 160)
Suka duka hidup ini, sering kali tidak bisa kita tebak. Apa yang menurut kita akan berjalan kearah yang baik, bisa jadi berujung dengan keburukan. Apa yang kita sangka tidak menyenangkan, ternyata akhirnya sangat membahagiakan. Apalagi musibah, bencana, dan malapetaka, seringkali datang dengan sangat tiba-tiba. Lalu, dalam sekejap tatanan hidup secara sosial maupun material yang bertahun-tahun kita bangun menjadi luluh lantak. Nyawa orang-orang yang kita cintai pun melayang.
Tidak semua yang kita rencanakan pasti berhasil. Karena hidup ini bukan lurus tanpa belokan. Terlalu banyak rahasia Allah yang tidak kita ketahui. Kalu untuk sekedar makan atau minum, atau menyambung nyawa, Allah akan memberikannya untuk orang beriman maupun untuk orang kafir. Tetapi soal berkah, pembelaan Allah, karunia, pahala, bimbingan, petunjuk, penghargaan, bahkan janji surga, itu hanya diberikan kepada hamba-hamba-Nya yang mukmin.
Kita tidak sekedar perlu makan dan minum. Bagi seorang mukmin, hidup tidak sekedar mengisi perut dan menyambung nafas. Ada pemaknaan jauh lebih tinggi, terhormat, dan mengantarkan kita pada harga diri kemanusiaan yang paling tinggi: sebagai khalifah. Wakil Allah dimuka bumi, yang tugasnya kepada Allah, memakmurkan bumi, dan menegakkan agama-Nya.
Itu semakin menegaskan, bahwa kita harus mendekat kepada Allah. Dengan beragam amal keshalihan. Agar, dengan amal-amal itu, Allah berkenan menurunkan berkah-berkah-Nya, dalam bentuk apapun, yang menjadi penguat perjalanan hidup kita. Dalam bahasa Islam, mengharapkan berkah dengan mempersembahkan amal keshalihan ini disebut dengan tawassul. Artinya, memohon sesuatu kepada Allah dengan terlebih dahulu mempersembahkan amal keshalihan tertentu, yang amal itu sendiri dibenarkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Allah SWT berfirman, “Hai orang-orang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya supaya kamu mendapat keberuntungan.” (QS. Al-Maidah: 35)
Karunia-karunia ini harus dimohonkan kepada Allah. Dengan cara semaksimal mungkin agar kita menjadi orang yang shalih. Karena berkah-berkah kesalihan itulah yang diharapkan bisa menurunkan karunia tersebut. Itu pun sesungguhnya tidak serta mertasemua karunia Allah murni karena amal kita. Mungkin kebanyakan merupakan kebaikan (ihsan) dari Allah. Kalau sekedar mengandalkan amal kita, kita bisa menghitung. Sudah seberapa kualitas amal kita? Tidak akan sebanding dengan karunia Allah.
Bahkan, kadang apa yang kita nikmati dari karunia hidup ini boleh jadi lantaran berkah dari keshalihan orang lain, seperti para da’i yang tak kenal henti untuk terus berjuang dijalan Allah, mencegah kepada kemungkaran dan menyerukan kepada kebaikan, atau pada orang-orang tertindas yang terus berdoa, taau orang-orang miskin yang tetap menjaga kehormatan dirinya, atau para orang tua kita yang setiap malam menangis kepada Allah meminta agar anak-anaknya, yang juga darah dagingnya jangan sampai menjadi sampah masyarakat.
Alangkah bodohnya kita, bila memandang alur hidup ini sangat individual. Merasa diri segala-galanya. Sejarah sendiri membuktikan, mereka yang mendapatkan karunia dari Allah, adalah mereka yang telah mempersembahkan kepada Allah begitu banyak keshalihan. Kalaupun tidak banyak secara jumlah, mungkin secara mutu dan kualitas amal. Berkah dan karunia itu tidak gratis, kecuali apa yang memang merupakan kebaikan Allah secara Cuma-Cuma untuk makhluk hidup-Nya.
Lihatlah para pejuang dijalan Allah. Mereka mempersembahkan puncak tertinggi dari bentuk amal keshlihannya. Lalu gugur di medan jihad. Maka mereka pun mendapat berkah yang sangat luar biasa, sebagai mana firman Allah SWT., “Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati, bahkan mereka itu hidup disisi Tuhannya dengan mendapat rezeki.” (QS. Ali Imran: 169). Selain itu, orang yang gugur syahid bisa memberi syafaat kepada tujuh puluh orang dari keluarganya. Ia mendapat isteri para bidadari, dan mendapat banyak sekali kemuliaan di surga Allah.
Berkah-berkah keshalihan memang banyak bentuknya. Kadang berupa rezeki yang bermanfaat, anak yang shalih, suami atau isteri yang shalih dan shalihat, atau bentuk-bentuk lainnya yang masih banyak lagi. Seperti kisah Ummu Salamah sebelum menjadi isteri Rasulullah. Ia bertutur, bahwa ketika suaminya, Abu Salamah meninggal, ia sangat sedih. Abu Salamah sendiri seorang sahabat yang terkenal keshalihannya, juga berperan besar dalam hijrah. Sampai-sampai Ummu Salamah berkata, “Aduhai, siapakah lelaki muslim yang lebih baik dari Abu Salamah?”
Tetapi Ummu Salamah berusaha tegar. Ia lantas mengucapkan doa yang diajarkan Rasulullah SAW. “Allahumma ajirni fii musibatii wakhluflii khairan minhaa (ya Allah, anugerahi ganjaran dalam musibahku ini, dan berikanlah aku ganti dengan yang lebih baik). Akhirnya, Ummu Salamah benar-benar mendapat ganti seorang suami, yang tentu lebih baik dari Abu Salamah. Karena suami barunya itu adalah Rasulullah SAW.
Setiap kita bisa mengejar berkah-berkah keshalihan itu. Dari pintu yang bermacam-macam. Karena Allah telah berjanji, dan janji Allah pasti ditepati, bahwa Dia tidak akan menyia-nyiakan siapapun yang beramal shalih. Jalan mengejar berkah keshalihan itu sebanyak jalan menuju amal kebaikan itu sendiri. Dari yang terkecil hingga yang terbesar. Dari yang bobotnya ringan hingga yang bernilai sangat tinggi.
Hidup ini memang memerlukan keberanian. Tetapi, keberanian seorang mukmin terlebih dulu dengan iman dan amalnya, sebelum dengan bentuk-bentuk kekuatan lainnya. Siapa yang mendekat kepada Allah sejengkal, Allah akan mendekat kepadanya sehasta. Siapa yang menuju Allah dengan berjalan, Allah akan mendekat kepadanya dengan berlari. Demikian seterusnya.
Dimalam-malam yang tak lagi ada suara. Ketika segala yang bergerak menjadi diam. Ketika hati jauh dari hiruk pikuk kehidupan yang congkak. Itu adalah saat-saat terindah untuk bersimpuh kepada Allah. Saat yang tepat untuk mendidik jiwa kepuncak kejujurannya, bahwa ternyata kita bukan apa-apa. Bahkan tak bisa memberikan jaminan apap bagi bagi detik-detik kehidupan kita berikutnya. Kini saatnya kia kembali kepada tuntunan Allah, dengan iman dan amal shalih, sebaik dan sebanyak yang kita bisa.[]
***
Majalah Tarbawi, Edisi 38 Hal. 6 Th.4/4 Juli 2002